Mohon tunggu...
Muh Ilham Akbar Parase
Muh Ilham Akbar Parase Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis

Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Presidential Treshold Kesalahan yang Terus Dipertahankan?

15 September 2020   03:25 Diperbarui: 15 September 2020   03:40 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

7 september, kompas melansir Rizal Ramli mengajukan permohonan uji materi ketentuan ambang batas presiden ( presidential threshold) ke Mahkamah Konstitusi ( MK). Uji materi itu dimohonkan Rizal bersama seorang rekannya bernama Abdulrachim Kresno. Keduanya meminta agar ambang batas presiden dihilangkan dan Mahkamah menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Adapun, Pasal 222 UU Pemilu berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya". Menyatakan Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," bunyi petikan petitum dalam berkas permohonan yang diunggah laman MK RI.

Halusinasi Pembentuk Undang-Undang

Entah apa yang ada dikepala para elite politik kita, pembentuk Undang-Undang yang budiman hingga saat ini tak berniat membuka kerang kebebasan di kontestasi pemilihan presiden (pilpres). Alih-alih menghindari lonjakan calon presiden jika tak diberikan pengetatan terkait syarat pencalonan, malah yang terlihat adalah adanya keinginan menciptakan poros kekuasaan partai yang dominan. Sebab partai politik menghindari kemungkinan figurnya akan kalah. maka dibuatlah sistem yang seolah-olah untuk melakukan seleksi ditingkat pra pencalonan presiden. Namun barang kali kita lupa pilpres di tahun 2004 dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidensial threshold) 15%, melahirkan lima pasangan calon, wiranto-salahudin wahid, Megawati Soekarno putri-Hasyim Muzadi, Amien Rais Siswono-Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf Kalla, Hamzah Haz-Agum Gumelar.  Pilpres saat itu berjalan efektif memunculkan pasangan presiden dan wakil presiden untuk pertama kalinya dipilih langsung oleh rakyat, SBY-JK. Anggapan saat ini yang menyatakan jika  presidensial threshold tidak dinaikan maka akan muncul banyak calon di pilpres. Secara ekstrim Bahkan ada yang memberi ilustrasi kalau presidential threshold tetap seperti saat ini maka dikertas suara pilpres nantinya akan seperti kertas pemilihan legislastif yang calonnya terlalu banyak, menjadikan pemilih kebingungan menentukan pilihannya. ini bagi penulis hanyalah sebuah halusinasi, mengada-ngada dan sama sekali cara berfikir liar tanpa dasar berfikir yang jelas. Anehnya, sebagian kalangan terperangkap dengan cara pandang seperti ini. Cara pandang yang harus diluruskan, kita bisa mengajukan pertanyaan atas pendapat tersebut. Pertama, sejak kapan demokrasi diselenggarakan dengan memberikan batas terhadap warga Negara, kedua fakta apa yang menunjukan bahwa pilpres di Indonesia pernah diselenggarakan dengan calon yang begitu banyak seperti saat pilcaleg.

Kedua pertanyaan tersebut tentu bukan tanpa alasan, sebab tidak ada satupun sejarah demokrasi dan pilpres kita yang menunjukan akibat dihapusnya atau diturunkannya presidential threshold lantas menjadikan pilpres di Indonesia menjadi tidak efektif. Penulis dalam hal ini melihat argumentasi yang dibangun para pembentuk Undang-Undang sekedar rasa takut disertai hasrat mempertahankan legitimasi kekuasaan partai yang dibentuk di DPR selama ini. Partai besar tidak siap menjadi partai kecil, dengan adanya penghapusan presidential threshold maka partai yang besar dapat dikalahkan, sebab partai kecil cenderung mengusung calon alternatif yang tidak memiliki modal namun memiliki citra yang baik dimata publik. tentu berbeda dengan partai besar yang pertimbangannya sangat pragmatis. mempertimbangkan kekuatan finansial sebagai syarat utama untuk diusung, bahkan kader partai sekalipun belum tentu akan diusung. Partai bisa saja memilih calon diluar kadernya, jika akan lebih menguntungkan partai. Sehingga sangat berpotensi menjatuhkan partai besar dan koalisi yang mendominasi kekuasaan di Pemerintahan.    

Mengakhiri Persoalan Presidential Treshold

Abdul gaffar dalam jurnal konstitusi menjelaskan bahwa Dalam Putusan Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 pada pokoknya MK berpendapat bahwa persoalan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden sebagai berikut: Pertama, terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa aturan ambang batas sangat diskriminatif dan mematikan kesempatan untuk diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dan penerapannya menimbulkan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan konstitusi, menurut MK adalah tidak benar. Sebab untuk menentukan Pemohon dapat diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan lebih dahulu ditentukan oleh rakyat dalam Pemilu legislatif yang akan datang, yang berlaku secara sama bagi semua Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden; Kedua, MK melihat bahwa pengaturan ambang batas (Pasal 9 UU 42/2008) merupakan satu norma konkret yang merupakan penjabaran Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Kebijakan syarat perolehan suara 20% (dua puluh perseratus) dari kursi DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR, sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu, merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang menentukan, ”Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”, dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945 yang menentukan, ”Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Ketiga, terhadap pendapat pemohon yang bahwa ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008 berpotensi menyebabkanpresidential threshold dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945.

Alasannya, istilah “sebelum pelaksanaan tidak terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, menurut MK tidak ada korelasi yang logis antara syarat dukungan 20% (dua puluh perseratus) kursi DPR atau 25% (dua puluh lima perseratus) suara sah secara nasional yang harus diperoleh Partai untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilihan umum yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, karena justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan pada rakyat pemilih yang berdaulat. Hal demikian juga untuk membuktikan apakah partai yang mengusulkan Calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat dukungan yang luas dari rakyat pemilih; pemilihan umum” dalam Pasal 6A UUD 1945 merupakan satu tarikan nafas dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang merujuk pada pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan secara serentak dalam satu kontestasi dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga dalam keadaan demikian maka seluruh partai politik berada dalam posisi yang sama, yakni zero % kursi atau zero % suara sah.

Skalipun MK belum pernah membatalkan ketentuan mengenai presidential threshold, dengan alasan bahwa aturan syarat mencalonkan presiden adalah kewenangan pembentuk Undang-Undang, namun MK dalam berbagai pertimbangannya saat mengadili uji materiil presidential threshold jelas sekali tidak sepakat dengan keberadaan presidential threshold yang terlalu tinggi. Selektif tidak menjadi persoalan, jika pertimbangannya adalah untuk menciptakan efisiensi. Namun bukan berarti melahirkan sistem politik yang sifatnya ingin menguasai berdasarkan kepentingan kelompok atau individu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun