Mohon tunggu...
Muh Ilham Akbar Parase
Muh Ilham Akbar Parase Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis

Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konflik Kepentingan dalam RUU MK

30 Agustus 2020   19:01 Diperbarui: 30 Agustus 2020   19:07 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kecurigaan publik akan kabur manakala isu yang dikedepankan atau fokus pembahasan terhadap RUU MK justru berbicara tentang soal hukum acara MK, sistem pengawasan hakim MK yang saat ini dijalankan oleh Majelis Kehormatan MK. Sudah efektif atau tidak dalam berjalannya. Selain itu Juga mengenai Syarat dua persen mengajukan gugatan bagi calon kepala daerah. Selama ini untuk dapat mengajukan gugatan di MK dalam sengketa Pilkada harus selisih dua persen suara hasil pilkada. Arah RUU MK harusnya mengarahkan menegakkan hukum secara subtantif tidak pada persoalan administratif. Yang Harusnya memutus perkara dengan prinsip penegakan hak konstitusional dengan mengdepenkan nilai-nilai HAM.

Pembatasan dua persen secara nyata telah mengeyampingkan pelanggaran hak asasi politik yang biasa terjadi disetiap pilkada. Aturan ini harus dihilangkan atau diberi alternatif, Sehingga kemudian ada alternatif celah hukum untuk mengkaburkan Undang-Undang No. 10 tahun 2016 tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) pasal 158 yang memberi syarat batasan dua persen dalam pengajuan perkara sengketa Pilkada di MK. Caranya dengan memberi pengecualian didalam RUU MK, bahwa hakim MK  dapat menerobos Undang-Undang terkait. sepanjang keyakinan hakim MK terjadi pelanggaran pilkada yang serius dan melanggar hak konstitusional seorang calon kepala daerah secara prinsip. Kemudian persoalan yang tidak kalah penting adalah persoalan legal standing beracara di MK. Selama ini yang terjadi kerap kali MK memutus perkara menolak gugatan pemohon dengan alasan pemohon tidak mampu membuktikan legal standingnya, atau kurang beralasan hukum. sekalipun gugatannya subtantif untuk diperiksa lantas karena formilnya tidak memenuhi atau kurang memenuhi begitu sederhana alasan MK selama ini bahwa gugatan tersebut harus ditolak. persoalan Legal standing harusnya dapat dikesampingkan saat pokok materi gugatan dari sisi pembuktian sangat kuat indikasi pelanggaran konstitusional yang terjadi.

Kalau hal semacam ini yang menjadi fokus pembahasan dalam RUU MK hakikatnya kita sedang membenahi MK agar lebih mencirikan penegak konstitusi, penafsir konstitusi, penegak hak asasi manusia. Sebab hakikat keberadaan MK adalah bentuk pelaksanaan check and balances (saling mengimbangi) Antara pembentuk Undang-Undang dan proses pengawasan yudisial. Agar tidak lahir Undang-Undang yang sewenang-wenang, melainkan Undang-Undang yang merupakan pengejewantahan UUD 1945 sebagai staat fundamental norm (aturan dasar atau tertinggi Negara), agar tercipta tatanan hukum yang saling menguatkan.

Muh. Ilham Akbar

Mahasiswa Magister Hukum  Pascasarjana Universitas Islam Indonesia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun