"Terima kasih atas kesempatan dan pengalaman dapat andil dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis ODHIV. Sungguh Pengalaman Yang Luar Biasa"
"Teriring doa semoga ODHIV selalu tangguh dan tetap patuh. Semoga tetap saling bersinergi"
Demikian ungkapan rasa syukur para psikolog klinis Indonesia setelah menyelesaikan serangkaian telekonseling Orang dengan HIV (ODHIV) Jawa Timur. Telekonseling ini dinaungi oleh Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia wilayah Jawa Timur, pada semingguan akhir November 2022 kemarin. Telekonseling ini dirasa penting sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan psikologis para ODHIV, sejalan dengan visi misi IPK Indonesia.
Beragam kebermanfaatan yang dapat dirasakan oleh ODHIV melalui telekonseling ini.Â
Pertama, layanan telekonseling mudah, praktis, dan gratis. Siapapun ODHIV dari Jawa Timur yang telah terorganisir dapat mengakses layanan ini.Â
Para Psikolog Klinis dari beragam wilayah di Indonesia juga bisa berkontribusi dalam acara ini, tidak hanya Psikolog Klinis dari wilayah Jawa Timur saja. Layanan ini bermediakan internet --Â online sehingga psikolog klinis dan ODHIV bisa bertatap muka secara daring. Psikolog Klinis yang berasal dari luar Jawa Timur tidak perlu hadir ke Jawa Timur secara langsung (luring).
Kedua, ODHIV mendapatkan penguatan psikologis oleh para ahli tenaga kesehatan mental yakni psikolog klinis. Ada beberapa kriteria persyaratan para psikolog klinis dapat join dalam layanan ini. Harus memiliki STR (Surat Tanda Registrasi) -- SIPPK (Surat Izin Praktik Psikolog Klinis) aktif, memiliki pengalaman melakukan pendampingan psikologis pada ODHIV-ODHA. Pendaftarannya pun terorganisir dalam SIMAK (Sistem Informasi Manajemen Administrasi Keanggotaan) IPK Indonesia. Di sisi lain, dalam proses telekonseling pun tetap mengutamakan prinsip konfidensial / kerahasiaan.
Ketiga, mendapatkan "sahabat". Disamping layanan penguatan psikologis, telekonseling bisa dijadikan sebagai media agar ODHIV tidak merasa sendiri. Ada beragam pihak khususnya psikolog klinis yang ingin merangkul ODHIV agar ODHIV mampu mandiri bertahan menjalani kehidupan sehari -- hari.Â
ODHIV masih saja berhadapan dengan stigma sosial, keluarga, atau bahkan dirinya sendiri. Bisa jadi pula, ada ODHIV yang belum mendapatkan kesetaraan dalam memenuhi hak -- hak hidupnya.
Oleh karenanya, telekonseling ini merupakan wadah penguatan psikologis untuk meminimalisir stigma-menjaga kesetaraan sesama. Setiap insan mendapatkan kesempatan yang sama guna mendapatkan dukungan psikologis dari para tenaga dan atau fasilitas kesehatan mental. Cocok dengan tema Hari AIDS Sedunia tahun 2022 ini : Equalize - Kesetaraan.Â
Mengapa penulis menyebutkan ODHIV bukan ODHA?Â
ODHIV dan ODHA berbeda. ODHIV merupakan Orang Dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus). Dirinya memiliki HIV dalam tubuhnya namun tidak sakit -- berpenyakit, tidak bergejala, karena virus tersebut. Atau dengan kata lain asimptomatik. Kondisi badannya baik, fit.
Dari kepanjangan HIV ini kita bisa cermati bahwa HIV adalah virus yang menghancurkan-menggerogoti-meruntuhkan sistem kekebalan (imun) tubuh manusia. Orang dengan HIV sangat rentan terkena penyakit karena kekebalan tubuhnya lemah sebab terserang oleh HIV.Â
Jika ODHIV ini jarang minum obat ARV (Anti-Retroviral Virus), atau bahkan tidak mau minum obat (Lost Follow Up), tidak menjaga diri baik fisik maupun psikologisnya, tetap berperilaku resiko, maka akan mudah menjadi ODHA-Orang Dengan HIV-AIDS.
ODHA adalah Orang Dengan HIV-AIDS (Aquired Immuno Deficiency Syndrome). Yakni, orang dengan sekumpulan gejala penyakit di tubuh yang disebabkan adanya virus HIV, dirinya bervirus sekaligus kondisinya bergejala-sakit. Sakit yang biasanya dialami oleh ODHA berkenaan dengan sakit di bagian kulit, paru, mata, otak, pencernaan, dsb.Â
Sebagian orang menyebutnya Infeksi Oportunistik. ODHA berarti kondisi imun tubuhnya lemah, sehingga dirinya sakit karena HIV. Mudahnya, ODHIV belum tentu kena AIDS sedangkan ODHA sudah pasti kena HIV.Â
Meneguhkan Patuh -- Menguatkan TangguhÂ
Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV atau baru saja terdiagnosa HIV positif akan mengalami perasaan negatif. Shock, kecewa, marah, jengkel, putus asa, sedih, bosan, bingung, malu, takut, cemas, panik, kesepian, menyangkal, tak percaya, terbebani, dan lain semisalnya. Â Perasaan negatif itu akan memicu perilaku negatif pula. Tidak mau melakukan pengobatan, menyendiri, menyakiti diri, bahkan hingga upaya untuk mengakhiri hidup.
Menurut penjelasan Kubler-Ross, sedikitnya ada lima tahapan reaksi seseorang terhadap peristiwa yang negatif (kesedihan mendalam, traumatis, atau didiagnosa penyakit kronis-ex: HIV). Tahapan tersebut adalah denial (penyangkalan), anger (kemarahan), bargaining (pertukaran), depression (ketidakberdayaan), dan acceptance (penerimaan).
Lima tahapan teori Kubler-Ross bisa saja dialami ODHIV. Awalnya, ODHIV menyangkal terhadap peristiwa yang sudah terjadi. Tidak percaya dengan hasil tes, lalu ia akan mencari fasilitas kesehatan dengan alat tes yang dirasa lebih canggih guna melakukan pemeriksaan ulang. Atau yakin bahwa dirinya baik -- baik saja, sehat seperti orang lain pada umumnya.Â
Selanjutnya, ODHIV mulai marah, frustasi, cemas dengan kenyataan yang ada, bahwa dirinya HIV positif. Mulai menyalahkan siapapun termasuk mungkin Tuhan. Â Lalu, akan memasuki tahapan mencoba bernegosiasi dengan diri, pihak lain, ataupun Tuhan. Tidak sedikit seusai masa bargaining, masuk dalam tahapan ketidakberdayaan (depression).
Keempat tahapan inilah sebenarnya butuh kehadiran psikolog klinis untuk membantu ODHIV memasuki tahapan terakhir yakni Acceptance (penerimaan). Telekonseling ini merupakan salah satu langkah tepat sebagai wujud nyata hadirnya psikolog klinis. Telekonseling berguna untuk meneguhkan kepatuhan ODHIV dalam melanjutkan perawatan, pengobatan, dan menjauhkan diri dari perilaku beresiko.
Di sisi lain, telekonseling ini pun dapat memotivasi ODHIV untuk tetap tangguh menjalani setiap tantangan hidup. "Hidup dengan HIV bukanlah sebuah akhir". Melainkan suatu pijakan awal untuk lebih sehat berkualitas, lebih sadar terhadap diri sepenuhnya, dan yakin bahwa ODHIV mampu meraih masa depan yang gemilang.
Referensi :Â
Aji, Darmawan. (2019). Mindful Life: Seni Menjalani Hidup Bahagia dan Bermakna. Solo : Metagraf
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2018). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi Kelima. Jakarta : Balai Pustaka
Murni, S., Green, C.W., Djauzi, S., Setiyanto, A., Okta, S. (2020). Hidup dengan HIV. Seri Buku HIV-AIDS. Jakarta Pusat : Yayasan Spiritia
Saptandari, E.W., Pramtomoaji, A. Handoyo, R.T., Anjarsari, N.D., Mahambara, Y.G.R. (2022). Layanan Telekonseling: Psychological First Aid Dalam Situasi Pandemi COVID-19. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. Vol. 13, No. 1, 51 -- 71. p-ISSN: 2087-1708; e-ISSN: 2597-9035. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, IndonesiaÂ
Sari, P.A., Ardiyansyah, Larasati, L. (2022). Layanan Konseling Individual Pada Pasien HIV AIDS (Studi Kasus di RSJD Sungai Bangkong Provinsi Kal-Bar). Al-Ittizaan: Jurnal Bimbingan Konseling Islam. ISSN: 2620-3820. Vol. 5, No. 1, 2022, pp. 38-44DOI: 10.24014/ittizaan.v5i1.16507
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H