Saya menemukan analisis yang sangat bagus bagaimana tragedi Mina 2015 ini terjadi yang ditulis sesorang, dapat dilihat di referensi [13] atau ini linknya:
https://nafanakhun.wordpress.com/2015/09/27/analisa-tragedi-mina-2015/
B. MASUKAN DARI PEMBACA [14}
Karena saya menulis note pada tanggal 27 September 2015, dan apa yang saya tulis berdasarkan apa yang saya alami tahun 2006, saya belum membaca Majalah Detik yang terbit pada tanggal 28 September 2015. Di Majalah ini, sejak tragedi Mina 2006, di mana tragedi ini selalu berulang, disebutkan bahwa Pemerintah Arab Saudi mengundang Anders Johansson, Mahasiswa muslim yang sedang menuntaskan program doktoral di Universitas Teknologi Dresden dan dosennya pembimbingnya, Dirk Helbing, menganalisis bagaimana tragedi di Mina terus berulang. Helbing punya keahlian yang agak langka, yakni memahami dinamika kerumunan besar, seperti yang terjadi di Mekah saat musim haji. Mekah dan Mina saat musim haji, kata Helbing, merupakan masalah pejalan kaki paling rumit di dunia. Ada jutaan orang dari lebih 100 negara, dari remaja hingga lanjut usia, dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda, berjalan kaki dalam waktu hampir bersamaan menuju satu tempat.
Setelah dilakukan simulasi luaran dari penelitian ini adalah diaturnya jadwal dan rute tertentu untuk jama’ah haji yang akan melempar ke jamarat. Dilengkapi juga dengan aplikasi CrowdVision yang terpasang di pusat kendali, menurut Fiona Stern, pendiri perusahaan pembuat aplikasi tersebut, akan menganalisis rekaman video dan memberi peringatan jika konsentrasi jemaah sudah kelewat padat dan mendekati kondisi berbahaya.
Komentar saya:
Kerajaan Arab Saudi sudah melakukan terobosan yang luar biasa untuk sistem pengamanan prosesi pelemparan Jamarat. Dari tahun 2007-2014 tidak ada insiden yang berarti di Jamarat. Pertanyaannya justru mengapa di tahun 2015 ini terjadi tragedi di Jamarat yang mungkin menjadi tragedi yang terbesar sepanjang sejarah jika mengacu pada jumlah jama’ah yang wafat. Kalau saya boleh menilai, pengamanan yang disediakan sekarang ini baru level 2, saya berharap semoga tidak lama lagi ditingkatkan ke level 3. Apa yang dilakukan olah para pakar dari Universitas Teknologi Dresden, luarannya baru berupa perbaikan kinerja dari sisi pengubahan struktur yang berupa perangkat lunak (pengaturan rute dan jadwal, dan juga peringatan bahaya, tapi tidak real time di Jamarat). Seperti saya tulis di note saya yang pertama, seharusnya sistem pencegahan di Jamarat tidak hanya berhenti sampai perbaikan dari sisi struktur perangkat lunak. Kalau hanya pengaturan rute dan jadwal, pengamatan dari pusat kendali, sangat rentan jika tiba-tiba ada perilaku jama’ah yang berubah atau yang lebih penting jika ada gangguan lingkungan yang tidak diprediksi. Oleh karena itu pengembangan sistem pencegahan ini harus ditingkatkan ke level pengamanan yang ke 3, yaitu dengan perangkat keras. Jadi di setiap rute sejak di awal rute dan di jarak-jarak tertentu sampai akhir rute sudah terpasang sensor otomatis yang dapat menghitung kepadatan. Jadi misal kepadatan sudah mencapai batas ambang maksimal, otomatis ada palang yang menutup pintu. Palang ini harus ada pada jarak-jarak tertentu, untuk menghindari terjadinya proses berhenti mendadak. Dalam bayangan saya, kalau sistem pencegahan otomatis sudah berjalan, ketika para Askar memerintahkan jama’ah untuk berbelok ke rute 204, sistem secara otomatis menutup rute dengan palang tertentu dan terdapat tulisan berjalan/ suara yang menyatakan “Rute ini sedang penuh, silahkan bersabar untuk menunggu kepadatan menjadi normal”. Jadi untuk meningkatkan keamanan di jamarat ini penggunaan teknologi mendesak untuk diterapkan.
C. BAGI KERAJAAN ARAB SAUDI ANGKA MAKSIMAL ADALAH 769 [15]
- Menurut pemerintah Arab Saudi dan juga beberapa media Mesir menyebutkan jumlah yang wafat dalam tragedi Mina 2015 adalah 769. Tetapi kalau dihitung tidak pas. Salah satu sumber berita yang menyebutkan jumlah yang wafat 769, tetapi rincian per negaranya sebagai berikut: Iran, 464 orang; Mesir, 75 orang; Nigeria, 64 orang; Mali, 60 orang; Indonesia, 57 orang; Pakistan, 46 orang; India, 45 orang; Niger, 22 orang; Kamerun, 20 orang; dan Pantai Gading, 14 orang, Chad, 11 orang; Aljazair, 11 orang; Senegal, 10 orang; Maroko, 10 orang; Somalia, 8 orang; Libya, 4 orang; Tanzania, 4 orang; Kenya, 3 orang; Tunisia, 2 orang; Burkina Faso, 1 orang, Burundi, 1 orang; dan Belanda, 1 orang. Kalau ditotal dari rincian setiap negara tersebut jumlah yang wafat adalah: 932, di mana jumlah jama’ah dari Indonesia masih 57.
- Ketika jumlah jama;ah yang wafat dari Mesir bertambah dari 75 orang menjadi 124, jumlah total yang wafat tetap 769.
- Ketika jumlah jama’ah Nigeria yang wafat bertambah menjadi 74 (sebelumnya 64) dan dinyatakan 244 hilang, jumlah total tetap 769.
Tentunya menjadi pertanyaan besar bagi saya dan mungkin juga para pembaca, mengapa jumlah yang wafat dari hari ke hari tetap 769, padahal jumlahnya seharusnya terus bertambah. Kalau alasan dari Kerajaan bahwa kemungkinan tidak semuanya berasal dari tragedi Mina, kurang masuk akal. Kalau bukan karena tragedi Mina, biasanya bisa ditelusuri wafatnya di mana, dan biasanya sudah terdata. Contohnya yang dari Indonesia, yang dilaporkan hilang, akhirnya memang mayoritas adalah yang wafat di tragedi Mina, walaupun ada juga akhirnya setelah beberapa hari hilang, kembali ke pemondokanya, tapi sangat kecil jumlahnya. ADA APA SEBENARNYA, APA KHAWATIR KALAU JUMLAHNYA TERLIHAT SANGAT BESAR?