Setelah melalui dinamika yang panjang, konflik Ukraina-Rusia seakan menemui titik terangnya, dimana pada awal Maret kemarin, putaran pertama negosiasi dilakukan oleh delegasi dari kedua belah pihak (CNBC Indonesia, 2022). Belakangan, negosiasi untuk mencapai kesepakatan damai, dilakukan pada 29 Maret kemarin di Istanbul, dengan Turki sebagai mediator kedua negara yang tengah berkonflik tersebut.Â
Hasil negosiasi sementara tersebut berisikan Rusia yang berjanji menghentikan operasi militer demi membangun rasa kepercayaan dan prakondisi bagi negoisasi mendatang antara Putin dan Zelensky, sedangkan di pihak Ukraina sendiri  tidak akan bergabung dengan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Dalam pandangan umum, konflik yang meletus antara kedua negara tersebut, dipicu oleh Ukraina yang ingin masuk kedalam aliansi NATO, agar bisa terbebas dari kungkungan Kremlin.
Namun, keinginan kuat bergabungnya Ukraina kedalam NATO, sejatinya bukanlah denominator tunggal dari pecahnya invasi Rusia ke Ukraina, melainkan dia adalah sebuah rentetan konflik yang panjang, dari masa ke masa sebelum saat ini.Â
Secara historis, dapat dilacak ada keterlibatan pihak Barat dan Uni Eropa pasca perang dingin, yang bertujuan untuk melemahkan pengaruh Rusia di negara-negara Eropa Tengah dan Timur.Â
Beberapa aktivitas tersebut pertama, negara Barat dan Uni Eropa yang dengan sigap mengamankan negara-negara Uni Soviet seperti Latvia, Estonia, dan Lithuania ke pelukan mereka, yang mengakibatkan beberapa negara bekas satelit Uni Soviet seperti Polandia, Rumania, Hungaria, Bulgaria, Czeko, hingga Slovakia, juga ikut bergabung (Muhammad, 2015). Yang kedua adalah intervensi NATO di Kosovo untuk membantu memukul mundur Serbia. Alasan NATO yang dilatarbelakangi oleh dasar kemanusiaan karena 300.000 warga Kosovo mengungsi di hutan akibat perang dengan Serbia.Â
Bagi Rusia, hal tersebut adalah sebuah pukulan berarti, karena Serbia secara tradisional adalah kerabat dekat dan setia Rusia. Terakhir, penanaman anti rudal di Eropa Timur oleh AS, dimana AS berdalih bahwa hal tersebut dilakukan untuk mencegah rudal yang bisa saja diluncurukan Iran.Â
Bagi Rusia, kondisi tersebut mengkhawatirkan, sebab kondisi kemanan Rusia akan semakin rentan. Jenderal Senior Rusia, Nikoai Makarov mengancam AS bahwa jika rencana tersebut tetap dilanjutkan, maka Rusia tidak akan segan-segan menyerang instalasi militer Barat di Polandia dan Rumania.
Konflik demi konflik berlalu, dan konsekuensi logis atas hal tersebut memunculkan unjuk rasa masyarakat Ukraina tahun 2014, agar Rusia tidak ikut campur dalam urusan negara Ukraina. Hal tersebut dinilai dari kedekatan Presiden Ukraina, Viktor Yanukovych dengan Putin yang dianggap mengembalikan Ukraina kedalam jajaran Uni Soviet.Â
Akibat dari hal tersebut, terjadi pelengseran kekuasaan Yanukovych oleh masyarakat Ukraina, dengan fenomena yang disebut Revolusi Ukraina (CNN Indonesia, 2022). Tidak lama kemudian, setelah kekuasaan kosong dan Petro Poroshenko diangkat menjadi Presiden Ukraina, Rusia melihat kemesraan diantara Ukraina, Uni Eropa, dan NATO dimana hal tersebut berpotensi mengancam keamanan Rusia karena kemungkinan pendirian pangkalan militer NATO yang dibangun di perbatasan Ukraina-Rusia.Â
Setelah Poroshenko turun dari jabatannya, kepemimpinan Ukraina dilanjut oleh Volodymyr Zelensky yang terus menerus melanjutkan lobi ke Uni Eropa untuk bergabung kedalam NATO. Hal tersebut segera diketahui Rusia dan pada 2021 berhembus isu-isu invasi Rusia jika memang benar Ukraina akan menggabungkan diri ke NATO.Â
Akhirnya, isu tersebut menjadi kenyataan dimana pada 24 Februari 2022 silam, Rusia melancarkan operasi militernya ke Ukraina. Namun, belakangan, konflik Ukraina menemukan titik terangnya dimana beberapa hari kemarin telah terlaksana beberapa kali negosiasi untuk mencapai kesepakatan damai antara Ukraina-Rusia.
Berdasarkan hal tersebut, kita bisa mengetahui bagaimana kepentingan Rusia terhadap Ukraina berdasarkan konsistensi alasan Putin menyerang Ukraina, yakni permasalahan ancaman keamanan. Fenomena yang menunjukan pada hari ini antara Ukraina-Rusia telah melakukan beberapa kali negosiasi, tidak terlepad dari bagaimana lobby-lobby yang dilakukan Putin, serta taktik negosiasi yang dilakukan delegasi Rusia.Â
Lobby, sejatinya merupakan sebuah cara yang digunakan individu atau kelompok untuk mempengaruhi pihak lain agar berbagai kepentingan yang dimiliki Lobbyist dapat terakomodir. A.B Susanto, melihat bahwa melobi pada dasarnya merupakan usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak yang menjadi sasaran, agar terbentuk sudut pandang positif terhadap topik lobi.Â
Putin telah memperingati agar Ukraina tidak masuk kedalam jajaran NATO, karena berpotensi mengancam keamanan strategis Rusia. Bagaimana tidak, Rusia sudah lama mempunyai pangkalan militer angkatan laut di Sevastopol, Krimea yang disewa Rusia dari Ukraina sampai 2042. Pangkalan tersebut dinilai sangat strategis bagi Rusia karena pangkalan tersebut berada di Laut Hitam sehingga kapal-kapal perang Rusia bisa terus beroprasi di musim dingin karena lautannya yang tidak beku (Muhammad, 2015).
Ketika mendapati Ukraina bermesraan dengan NATO dan Uni Eropa, segera Putin mengeksekusi tindakan selanjutnya karena dianggap lobby tidak berhasil, yakni framing media untuk mendapatkan sentimen masyarakat dunia.Â
Secara konsisten, Putin selalu menggaungkan masalah keamanan berulang kali kepada media, terkait aktivitas operasi militer Rusia ke Ukraina. Menurut Dedy Rudianto selaku Founder Pemantauan dan Analisis Big Data Evello, menjelaskan bahwa di Indonesia, sebagian besar netizen menyatakan dukungan terjadap Rusia, dimana Tiktok 95 persen dan Instagram sebesar 73 persen, setelah Zelensky menyatakan Ukraina ditinggal oleh NATO dan negara-negara Barat (Dwiastono, 2022).Â
Setelah 3 pekan melangsungkan operasi militer, nampak bahwa Rusia tidak dapat menguasai Ukraina sepenuhnya dengan Zelensky yang menyatakan bahwa dirinya dan masyarakat Ukraina akan mempertahankan kedaulatan negaranya. Akhirnya, ruang-ruang negoisasi dibuka pada awal Maret 2022 kemarin, dan nampah bahwa Rusia masih kekeuh mempermasalahkan konflik keamanan negaranya.Â
Negosiasi yang digunakan oleh Rusia tergambar seperti bentuk negosiasi Hard Bargaining yang dinyatakan oleh Dur dan Mateo (2008). Hard bargaining, merupakan salah satu bentuk dari negosiasi yang terkarakterisasi oleh konfliktual atau taktik yang agresif.Â
Dalam hard bargaining, negosiator membuat komitmen yang kuat untuk publik, tanpa menghiarukan penambahan masalah dalam agenda negosiasi. Dalam negosiasi antar pemerintah, salah satu cara untuk membuat komitmen publik semacam itu adalah dengan menekankan "kepentingan nasional" yang dipertaruhkan.
Penulis
Muhammad Faiz Akbar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H