Pertarungan Pilkada Jakarta ini bagaikan babak pemanasan untuk Pilpres 2019. Petarung utamanya masih sama seperti Pilpres 2014 yakni Jokowi versus Prabowo. Representasi dari persekutuan PDIP & Nasdem dengan Gerindra & PKS.
Bagaimana dengan partai lain? Partai politik lain cuma penggembira atau pemandu sorak. Bukan karena mereka tidak punya suara signifikan, tapi karena mereka devisit kader dan calon pemimpin yang berkualitas.
Jika yang menang Pilkada Jakarta 2017 adalah pasangan Ahok-Djarot, maka peluang Ahok menjadi pendamping Jokowi semakin terbuka lebar. Apa yang dikerjakan oleh Ahok di Jakarta bisa dilanjutkan oleh Djarot Saiful Hidayat.
Naiknya Djarot menjadi Gubernur menjadi semacam legitimasi dan supremasi PDIP sebagai pemenang pemilu dan pemilik kursi terbanyak di DPR RI dan DPRD Jakarta. Bisa ditebak, yang menjadi wakil gubernur yang mendampingi Djarot adalah kader dari Nasdem sebagai sekutu terdekat PDIP saat ini.
Pola hubungan transaksional seperti ini juga terjadi sebelumnya, Jokowi-Ahok yang maju di Pilkada Jakarta 2012 didukung oleh PDIP dan Gerindra. Setelah Jokowi jadi Presiden, maka Ahok yang didukung Gerindra naik jagi Gubernur. Posisi wakil gubernur menjadi jatah PDIP, maka kemudian dipilihlah Djarot. Walaupun akhirnya Ahok hengkang dari Gerindra karena berbeda visi soal pilkada langsung atau melalui DPRD.
Sebaliknya, jika yang menang Pilkada Jakarta 2017 adalah pasangan Anies-Sandi, maka peluang Anies menjadi pendamping Prabowo pada Pilpres pun cukup terbuka.
Mengingat Anies adalah orang luar (bukan dari Gerindra atau PKS) maka naiknya Sandiaga Uno sebagai Gubernur juga menjadi legitimasi dan supremasi Gerindra sebagai pemenang ke-3 (Pusat) dan ke-2 (Jakarta) Pemilu 2014 . Dan bisa dipastikan, yang menjadi wakil Gubernur untuk mendampingi Sandiaga adalah kader PKS. Ini juga transaksi politik yang sangat logis, karena PKS juga merupakan sekutu terdekat Gerindra di tingkat nasional dan daerah.
Jika anda bertanya kenapa pasangan Jokowi-Ahok dan Prabowo-Anies yang berpotensi besar maju di Pilpres 2019? Banyak fakta yang bisa kita analisa bersama.
Hingga saat ini, Jokowi merupakan satu-satunya calon yang paling berpeluang maju dan menang di Pilpres 2019. Alasannya, PDIP sebagai pendukung utama Jokowi diperkirakan tetap akan memperoleh kursi DPR yang signifikan. Koalisi PDIP, Nasdem, Hanura juga cukup solid. Ketiga partai tersebut juga belum mempunyai calon tangguh, selain Jokowi.
Bagaimana dengan Golkar? Golkar memang punya suara besar dan menempati urutan kedua pada Pemilu legislatif 2014. Namun apa daya, Golkar miskin dalam hal kader berkualitas dan sempat dilanda konflik internal. Bisa dipastikan, pilihan politik Golkar akan tetap pragmatis.
Jauh-jauh hari, paska terpilihnya Setia Novanto jadi Ketua Umum, Golkar bahkan sudah menyatakan dukungan atas pencalonan Jokowi sebagai Presiden 2019. Namun, sikap Golkar ini akan sangat tergantung dari hasil Pemilu legislatif 2019. Apapun mungkin dilakukan Golkar, selama itu menguntungkan secara politis. Dan yang perlu diingat, kader atau politisi lulusan Golkar masih banyak yang menjadi pejabat saat ini.
Fakta tentang Prabowo juga menarik, karena hingga saat ini, sosok di luar pemerintah yang dianggap bisa bersaing dengan Jokowi, ya cuma Prabowo. Terlepas nanti Anies bakal menang jadi Gubernur atau tidak, sebagai orang Jokowi yang kemudian menyeberang ke Prabowo, beliau punya peran sentimentil di mata kaum konservatif bawah dan menengah.
Sama seperti SBY yang terkesan dizalimi Megawati, Anies Baswedan juga diposisikan sebagai orang yang dizalimi Jokowi. Bedanya, SBY membentuk partai bersama para kolega militer dan sipil. Sementara Anies, tak perlu bersusah payah, dia mengelola ambisi pemanfaatan momentum politik. Beda yang lain adalah, SBY sukses membangun sentiment publik atas ketertindasannya. Sementara Anies, meraup untung besar dari sentimen rasis dan isu agama.
Peran dan posisi sentimentil Anies jika terpilih menjadi Gubernur akan menjadi sangat strategis bagi Prabowo. Maka tak heran kalau Prabowo mengatakan “kalau anda ingin saya jadi Presideh, maka Anies harus jadi Gubernur Jakarta”.
Pun begitu, posisi dan prestasi Anies di Jakarta sampai menjelang Pilpres 2019 akan jadi penentunya. Kalau memuaskan, maka Prabowo akan menjadi lawan tangguh Jokowi, sementara kalau mengecewakan, Anies hanya akan menjadi pelengkap penderita kegagalan Prabowo untuk menjadi Presiden yang kesekian kalinya.
Hal yang paling menarik adalah fakta bahwa Anies yang dulunya orang Jokowi kemudian menyeberang menjadi orang Prabowo berbanding lurus dengan fakta bahwa Ahok yang sebelumnya orang Prabowo sekarang menjadi orang Jokowi. Jika kedua pasangan ini benar-benar bertarung, maka Pilpres 2019 adalah serial lanjutan dari pertarungan sengit di Pilpres 2014 dan Pilkada Jakarta 2017.
Satu hal yang perlu diingat, isu SARA kembali menjadi tema utama dalam dinamika politik Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H