Mohon tunggu...
muheminutes
muheminutes Mohon Tunggu... Artivist -

Kesabaran ada batasnya, tapi tidak dengan keculasan. Oleh karenanya, jangan pernah sabar bila berurusan dengan orang culas.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilgub DKI 2017 adalah "Karcis" Pilpres 2019

12 Agustus 2016   14:39 Diperbarui: 12 Agustus 2016   18:42 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati Soekarnoputri, Jokowi dan Ahok. (Foto: Kompas.com)

Suasana menjelang Pilgub DKI kian memanas. Berbagai isu silih berganti, datang dan pergi, datang lagi dan pergi lagi. Ada yang bilang Ahok akan dikhianati oleh partai pendukungnya. Ada yang yakin Tri Rismaharini akan ikut tanding di Jakarta. Namun, panasnya politik menjelang Pilgub DKI 2017 bukan sekadar fenomena Ahok dan Risma. Ada persoalan yang jauh lebih penting dan lebih pelik dari sekadar memenangkan kursi Gubernur DKI 2017, yakni strategi Pilpres 2019.

Sedemikian penting dan peliknya Pilgub DKI 2017 membuat para kandidat dan partai pendukung harus mikir tujuh kali keliling Monas. Semua skenario pasangan dipertimbangkan dengan cermat walafiat. Namun, kalau mau dibikin sederhana, sebenarnya Pilgub DKI hanya ditentukan oleh sikap dan relasi antara dua orang, yakni Jokowi dan Megawati. Para politikus lain cuma pemandu sorak (cheerleaders). Mereka baru bisa bersikap setelah kedua orang tersebut menentukan sikap. 

Jokowi adalah Presiden RI, sementara Mega adalah orang yang paling berkuasa atas partai yang mengusung Jokowi menjadi presiden. Hubungan keduanya mengalami pasang-surut dan tarik-ulur. Dari mulai pencalonan kapolri, penggantian menteri sampai Pilgub DKI. Mari kita lihat kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi terkait Pilgub DKI 2017 dan Pilpres 2019 yang melibatkan sikap dan relasi antara Jokowi dan Megawati. 

Pertama, Megawati memutuskan bahwa PDIP mendukung Ahok bersama Nasdem, Hanura dan Golkar dengan mengajukan Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil gubernur. Kenapa Djarot, bukan Risma? Jelas saja, Ahok sejak awal sudah membuka peluang rujuk dengan Djarot jika PDIP memberikan dukungan.

Sementara Risma, pasti tengsin dan lebih memilih tetap jadi wali kota Surabaya ketimbang menjadi wakil Ahok. Sebaliknya juga tidak mungkin kalau Risma yang jadi calon gubernur sementara Ahok jadi wakilnya. Ahok pasti menolak karena dukungan Nasdem, Hanura, dan Golkar sudah cukup sebagai syarat pencalonan melalui jalur partai.

Kemungkinan ini hanya bisa terjadi jikalau Megawati bisa sedikit lebih rendah hati sembari menaikkan ekspektasi tentunya. Ekspektasi apa? Ekspektasi Pemilu dan Pilpres 2019! Jika Ahok-Djarot sukses di Pilgub DKI 2017, harus ada proyeksi Jokowi-Ahok di Pilpres 2019. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Golkar sudah merapat ke Jokowi dan sejak dini sudah menyatakan dukungan pencalonan Jokowi sebagai Capres 2019, dan sekarang mendukung Ahok di Pilgub DKI 2017. Kenapa Ahok yang jadi calon wapres? Ya, dengan demikian Djarot yang merupakan kader PDIP akan otomatis memimpin DKI.

Tapi semua itu tergantung relasi politik antara Jokowi dan Megawati. Jika hubungan memburuk, bukan tidak mungkin Jokowi-Ahok akan maju dengan dukungan Golkar dan kawan-kawan. Kita harus ingat, di belakang Jokowi ada JK, Luhut B. Panjaitan, Surya Paloh, dan Wiranto. Semuanya berdarah Golkar.

Untuk itu, Megawati dan PDIP harus merawat hubungan baik dengan Jokowi dan membangun strategi politik bersama dengan Golkar. JIka koalisi PDIP-Golkar terwujud, akan sangat kuat dan besar sekali. Tapi, sepanjang sejarah republik ini berdiri, PDIP dan Golkar adalah rival.

Kedua, Megawati memutuskan bahwa PDIP mengusung Tri Rismaharini untuk melawan Ahok di Pilgub DKI. Namun, untuk skenario ini, PDIP harus berkoalisi dengan partai nonpendukung Ahok lainnya. Seperti yang sedang dijajaki, saat ini, Koalisi Kekeluargaan yang terdiri dari 7 partai (PDIP, Gerindra, PPP, PAN, PKB, PKS, Demokrat). Pasangan calon yang paling mungkin adalah Tri Rismaharini dan Sandiaga Uno. Itu pun jika Megawati tidak alergi berkoalisi dengan Gerindra dan PKS.

Dengan skenario ini, jika Tri Rismaharini menang, Megawati dan PDIP tinggal menyiapkan calon wakil presiden 2019, bisa Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, atau Puan Maharani juga boleh. Syaratnya, relasi antara Jokowi dan Megawati terjalin dan terjaga dengan baik. Jika tidak, bukan tidak mungkin pada Pilpres 2019 nanti Jokowi berhadapan dengan Tri Rismaharini. Kalau itu yang terjadi dan Tri Rismaharini berhasil jadi presiden, Megawati dan PDIP berhasil mengulang sejarah gemilang seperti yang dilakukan waktu mencalonkan Jokowi jadi gubernur DKI dan selanjutnya jadi presiden RI.

Bagaimana dengan nasib Ahok kalau Risma yang menang? Nasib Ahok akan tergantung oleh sikap politik Jokowi. Jika Jokowi loyal dengan PDIP, Ahok harus berebut kursi cawapres dengan Tri Rismaharini atau kader PDIP lainnya. Jika Jokowi maju bersama Golkar, kemungkinan besar Ahok akan dicalonkan jadi cawapres. Paling tidak, kalau Jokowi kembali menjadi presiden RI 2019, peluang menjadi menteri terbuka lebar.

Ketiga, Megawati memutuskan bahwa PDIP mengusung Tri Rismaharini dan Djarot Saiful Hidayat, keduanya kader internal, tanpa dukungan dari 6 partai politik lain. Jika skenario ini yang dipilih, Pilgub DKI akan diikuti oleh 3 pasangan calon, yakni Ahok, Tri Rismaharini, dan Sandiaga Uno dengan pasangannya masing-masing.  

Kalau skenario ini gagal, dampaknya akan sangat fatal. Tri Rismaharini akan kehilangan jabatan dan kehormatan sebagai calon pemimpin masa depan. Disumpahi warga Surabaya dan dilecehkan orang se-Indonesia Raya. Peran politik Megawati dan posisi PDIP akan semakin buruk jika ternyata gagal mempertahankan Jokowi sebagai kader dan capres 2019. Maka politik Indonesia paska 2019 akan kembali dikuasai oleh Golkar dan kawan-kawannya. 

Berdasarkan uraian di atas, wajar kiranya jika sampai hari ini Megawati belum juga mengumumkan keputusannya. Beliau harus sangat hati-hati, keputusan harus dibuat dengan cara saksama dan dengan kalkulasi politik yang secermat-cermatnya. Karena Pilgub DKI 2017 adalah ‘karcis’ Pilpres 2019.

Kalau ada yang mengatakan bahwa ini adalah pertarungan antara PDIP dan Golkar, secara komprehensif, ada benarnya juga. Ibarat bermain kartu, saat ini yang pegang kartu As adalah PDIP, tapi yang pegang Joker adalah Golkar dan pembagi kartunya adalah Jokowi. Ha ha ha ..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun