Mohon tunggu...
muheminutes
muheminutes Mohon Tunggu... Artivist -

Kesabaran ada batasnya, tapi tidak dengan keculasan. Oleh karenanya, jangan pernah sabar bila berurusan dengan orang culas.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Corporal Punishment: Guru Bebas Mencubit, Murid Balas Menyambit

4 Juli 2016   07:21 Diperbarui: 4 Juli 2016   12:13 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pepatah lama “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” selalu layak dan pantas untuk diperbincangkan kembali terkait fenomena perdebatan hukuman fisik di sekolah yang berujung pada pemidanaan seorang guru yang mencubit muridnya. Supaya lebih update, mungkin pepatah itu bisa kita upgrade ke versi terbaru menjadi “guru bebas mencubit, murid balas menyambit”.

Sebelum membahas perihal corporal punishment atau hukuman fisik, saya perlu mengemukakan sikap terlebih dahulu atas kasus pemidanaan guru yang mencubit muridnya. Saya tidak setuju penerapan hukuman fisik atau psikis, apapun bentuknya. Tidak ada kompromi. Namun,  saya juga merekomendasikan upaya perdamaian antara guru dan orang tua murid. Sekolah dan Komite Sekolah harus mengambil peran, jangan diam saja. Jangan pula melakukan pembelaan atau menunjukkan keberpihakan kepada salah satu dari kedua belah pihak yang sedang berkonflik.

Hukuman fisik, apapun bentuknya harus disingkirkan dari metode pembelajaran dimanapun kita menjadi guru, pelatih, fasilitator atau apapun istilah padanan lainnya. Hukuman fisik, hanya cocok diterapkan untuk polisi dan tentara. Cukup , hanya polisi dan tentara saja yang memilih dan memiliki cara pendisiplinan seperti itu. Institusi pendidikan harus melakukan jihad untuk menghentikan hukuman fisik di sekolah. Hukuman fisik mungkin efektif untuk pendisiplinan dalam jangka pendek, tapi  tidak untuk jangka panjang. Kita lihat saja, institusi mana yang selama ini terbukti paling banyak melakukan kekerasan dan korupsi? Anda pasti tahu persis jawabannya!

Selain itu, sekolah (baik yang umum atau berbasis agama) yang menerapkan hukuman fisik tidak punya dasar teori dan argumentasi sama sekali.

Hukuman fisik  hanya praktek turun temurun dan erat kaitannya dengan karakter guru. Karakter guru sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman yang bersangkutan. Guru yang melakukan hukuman fisik kepada muridnya, bisa dipastikan mempunyai pengetahuan yang terbatas tentang metode pembelajaran dan mungkin pernah menjadi korban perlakuan kekerasan di rumah atau sekolah, atau mungkin keduanya. Jadi, hukuman fisik yang dilakukan oleh guru kepada murid adalah hasil reproduksi kekerasan dari pengalaman guru saat menjadi murid/anak.  

Akar Kekerasan 

Kekerasan terjadi karena ada konflik antara dua orang atau lebih. Kalau kekerasan hanya melibatkan satu orang, kita sering menyebutnya sebagai konflik batin, dan maaf, kita tidak akan membahasnya disini.

Konflik timbul karena ada ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan ini yang kemudian mendorong  adanya aksi dan reaksi. Aksi dan reaksi ini akan sangat beragam pola dan bentuknya. Dari mulai aksi dan reaksi batin, lisan, tulisan sampai reaksi fisik. Namun sayangnya, aksi dan reaksi yang paling populer di masyarakat (dan juga sekolah tentunya) adalah lisan dan fisik. Maka tidak heran, jika di sekolah kemudian populer istilah “guru cerewet” atau “guru killer”. Meskipun dari sekian banyak guru, hanya satu atau dua orang saja yang berhakkewajiban menyandang gelar tersebut. Sebagian besar sisanya, adalah guru-guru dengan gelar-gelar yang baik-baik.

Aksi dan reaksi ini dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dan otoritas (authority). Jika kebetulan lawan konflik kita adalah orang yang lemah, maka kita cenderung melakukan serangan lisan dan fisik. Sementara kalau lawan konflik kita orang yang kuat, maka kecenderungannya kita hanya bisa membatin atau paling tidak membuat tulisan. Mungkin, update status atau unggah kasus di media sosial adalah contoh yang paling pas.

Apakah Negara ini mengenal hukuman fisik. Ya, tentu. Negara kita menerapkan hukuman kurungan, hukuman mati (ditembak) dan terakhir yang bikin heboh yakni hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual berupa kebiri kimiawi dan pemasangan chip. Apakah Negara kita mengatur hukuman fisik di sekolah? Jawabnya tentu tidak! Tak ada satu pun klausul hukum yang mengatur pelaksanaan hukuman fisik di sekolah. Hukuman fisik yang ada saat ini tidak punya dasar hukum sama sekali. Dan tak ada satu sekolah pun yang berani mengeluarkan kebijakan tentang hukum fisik tersebut.

Coba analisa, alasan dan argumen yang dikemukakan oleh pelaku hukuman fisik atau para pendukung hukuman fisik biasanya seragam, yakni perbandingan dengan masa lalu. Seperti yang bisa kita lihat di media sosial, banyak yang mengatakan “Anak sekarang lebay, dicubit dikit lapor orang tua, trus orang tua lapor polisi. Padahal dahulu, saya kalau dipukul guru karena ga hapal butir-butir Pancasila, trus lapor orang tua, malah kena tambahan pukulan dari orang tua”. Atau ungkapan lain “Kalau saja orang tua saya tidak mendidik saya dengan keras, maka saya tidak akan berhasil seperti sekarang ini!”.  

Argumentasi di atas sangat jelas menunjukkan bahwa praktek kekerasan tersebut merupakan reproduksi dan pembenaran atas pengalaman masa lalu. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Fakta ini adalah ironi pendidikan kita. Pendidikan di dalam keluarga dan sekolah adalah pendidikan yang memaklumkan kekerasan, sekaligus meyakininya sebagai sesuatu yang efektif dan terbukti  berhasil menumbuhkan kedisiplinan dan membentuk karakter anak didik. Padahal, sebenarnya kita sedang mereproduksi pelaku-pelaku kekerasan baru.

Hukuman fisik yang diterima seorang murid akan membentuk persepsi anak akan kekerasan. Kekerasan itu diperbolehkan, asal dalam batas-batas tertentu. Begitu biasanya alasan yang dikemukakan oleh pelaku atau para pendukung hukuman fisik. Persoalannya, batasan-batasan tertentu inilah yang tak pernah ditentukan dari jaman bapak kita sampai jaman kita jadi bapak dan mungkin sampai jaman anak-cucu kita kelak jadi bapak-bapak juga. 

Kita harus menolak kukuman fisik di sekolah, apalagi di rumah. Tapi kita juga harus memberikan kesempatan bagi para pendidik untuk menyesuaikan diri dan memperbaiki diri. Tidak perlu sampai penjara kalau memang tingkat kekerasan yang dilakukan guru masih bisa ditoleransi. Selesaikanlah dengan cara kekeluargaan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Agar budaya kekerasan ini bisa diputus bersama oleh para pihak yang bertikai, yakni pelaku, korban dan keluarganya masing-masing.

Peran Sekolah, Komite Sekolah dan Pemerintah

Praktek kekerasan yang terjadi di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab sekolah sebagai institusi pendidikan. Sekolah harus menjamin seluruh warga belajar (guru dan murid) terfasilitasi dengan baik dan bahagia. Selayaknya, konsep sakinah, mawaddah wa rahmah juga diterapkan di sekolah, bukan hanya di rumah.

Kekerasan di sekolah ini sebagai bukti lemahnya peran komite sekolah. Komite Sekolah jangan hanya jadi komite stempel yang perannya cuma sebatas “meng-amin-kan dan meng-aman-kan” proyek di sekolah. Komite Sekolah harus menjadi sarana urun rembug orang tua dan guru serta menjalankan fungsi pengawasan (control) masyarakat sipil.

Pemerintah, selain bertanggungjawab atas peningkatan kualitas SDM, sarana dan prasarana sekolah, juga harus membuat kebijakan pelarangan hukuman fisik & psikis di sekolah. Terminologi “hukuman” harus dihilangkan dari benak para pendidik di sekolah. Seharusnya, sekolah bukan hanya menjamin rasa aman, nyaman dan menyenangkan, tapi sekaligus bikin kangen semua murid!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun