Argumentasi di atas sangat jelas menunjukkan bahwa praktek kekerasan tersebut merupakan reproduksi dan pembenaran atas pengalaman masa lalu. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka. Fakta ini adalah ironi pendidikan kita. Pendidikan di dalam keluarga dan sekolah adalah pendidikan yang memaklumkan kekerasan, sekaligus meyakininya sebagai sesuatu yang efektif dan terbukti berhasil menumbuhkan kedisiplinan dan membentuk karakter anak didik. Padahal, sebenarnya kita sedang mereproduksi pelaku-pelaku kekerasan baru.
Hukuman fisik yang diterima seorang murid akan membentuk persepsi anak akan kekerasan. Kekerasan itu diperbolehkan, asal dalam batas-batas tertentu. Begitu biasanya alasan yang dikemukakan oleh pelaku atau para pendukung hukuman fisik. Persoalannya, batasan-batasan tertentu inilah yang tak pernah ditentukan dari jaman bapak kita sampai jaman kita jadi bapak dan mungkin sampai jaman anak-cucu kita kelak jadi bapak-bapak juga.
Kita harus menolak kukuman fisik di sekolah, apalagi di rumah. Tapi kita juga harus memberikan kesempatan bagi para pendidik untuk menyesuaikan diri dan memperbaiki diri. Tidak perlu sampai penjara kalau memang tingkat kekerasan yang dilakukan guru masih bisa ditoleransi. Selesaikanlah dengan cara kekeluargaan dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Agar budaya kekerasan ini bisa diputus bersama oleh para pihak yang bertikai, yakni pelaku, korban dan keluarganya masing-masing.
Peran Sekolah, Komite Sekolah dan Pemerintah
Praktek kekerasan yang terjadi di sekolah ini tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab sekolah sebagai institusi pendidikan. Sekolah harus menjamin seluruh warga belajar (guru dan murid) terfasilitasi dengan baik dan bahagia. Selayaknya, konsep sakinah, mawaddah wa rahmah juga diterapkan di sekolah, bukan hanya di rumah.
Kekerasan di sekolah ini sebagai bukti lemahnya peran komite sekolah. Komite Sekolah jangan hanya jadi komite stempel yang perannya cuma sebatas “meng-amin-kan dan meng-aman-kan” proyek di sekolah. Komite Sekolah harus menjadi sarana urun rembug orang tua dan guru serta menjalankan fungsi pengawasan (control) masyarakat sipil.
Pemerintah, selain bertanggungjawab atas peningkatan kualitas SDM, sarana dan prasarana sekolah, juga harus membuat kebijakan pelarangan hukuman fisik & psikis di sekolah. Terminologi “hukuman” harus dihilangkan dari benak para pendidik di sekolah. Seharusnya, sekolah bukan hanya menjamin rasa aman, nyaman dan menyenangkan, tapi sekaligus bikin kangen semua murid!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H