Baru baru ini diparlemen pusat dihebohkan dengan keresahan yang dialami senator Komeng, bukan tampa dasar senator Komeng mencurahkan kehawatirannya, melainkan atas dasar fashion kepribadian yang dimiliki. Sebagaimana berita yang ditemukan pada laman media massa, telah mengklaster atau masing masing media mengangkat tema mengenai senator Komeng.
Perlu dipahami secara bersama, apa yang disampaikan oleh senator Komeng, saya akan mengutip perkataan senator Komeng yang saya dapat dari platform yotube, “saya ini sebenarnya komitenya ingin di seni budaya, tapi habis dejembutin jadi saya masuk ke komite dua yang saya tidak memahami soal tata pertanian, tadikan pimpinan bilang itu harus mempelajarinya cepat, pimpinan bisa mengarahkan saya saya harus belajar kemana nah itu”. Apakah ada yang aneh dari pernyataan tersebut ?
Secara sederhana tidak ada yang aneh, bahkan pernyataan senator Komeng menjadi hiburan para senator perwakilan kita yang lain. Tetapi beberapa menit setelah pernyataan senator Komeng tersebar, justru ditanggapi serius oleh pengamat politik, peraktisi, simpatisan, akademisi, bahkan rakyat secara umum, yang mengkritisi, menanyakan, meragukan, bahkan menyayangkan, kapasitas, kredibilitas, intelektualitas dari para senator yang terpilih.
Mengapa terjadi dualisme terhadap pernyataan senator Komeng, setalah coba saya ikuti diberbagai media, masyarakat umum dalam hal ini jenjang pendidikan menegah keatas, meragukan keputusan yang ditetapkan oleh para senator yang terpilih, yang ditempatkan bukan pada bidang keahlian dan kompetensi serta ciri khas kepribadian para senator. Dengan demikian, isu-isu mengenai kegagalan sistem pemerintahan ini utamanya terhadap perwakilan rakyat memperoleh menambah stigma negatif dikalangan masyarakat.
Alih alih meperbaiki sistem yang telah dianggap mengalami kegagalan, utamanya terhadap pemberitaan media, yang mengkritisi menekan bahkan melakukan evaluasi terhadap kinerja para senator. Keresahan Komeng justru membuka ruang baru bagi senator untuk diberikan evaluasi yang berkelanjutan. Persepsi standar sebagai masyarakat awam adalah, “masa iyah para dewan tidak ditempatkan pada kualitasnya, apa kata dunia negara bisa mundur” bahkan dari sisi kelompok yang mengklaim pembahasan mengenai senator Komeng, mengangkat dari sisi hadis “apabila suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Dengan demikian, dapat dipahami secara kasat mata bahwa, masyarakat sedang membangun mosi tidak percaya pada kebijakan senator, yang dianggap tidak kopeten dalam menempatkan para senator sesuai dengan kapasitas yang dimiliki.
Strategi yang diperlukan dalam menyikapi respon terhadap senator terpilih
Sebagai masyarakat memiliki sejumlah harapan, yang diwakilkan kepada para senator terpilih agar mampu diimplementasikan sesuai fungsi dan dapat bertanggung jawab. Amanah yang dititipkan rakyat kepada senator terpilih, adalah suatu terobosan baru dalam memenuhi berbagai tuntutan rakyat, meliputi kesejahteraan bersama. Tetapi perlu disadari secara bersama bahwa, kritik saran dan masukan tidak selamanya ditujukan kepada para senator yang menjadi perwakilan kita. Dengan demikian, dibutuhkan strategi khusus bagi masyarakat dalam menyikapi polemik ini, yang bertujuan sebagai pedoman masyarakat dalam menyikapi realita yang ada dilingkungan senator.
Strategi khusus yang saya tawarkan mengadopsi pola pola yang didiskusikan pada mahasiswa dijenjang perguruan tinggi, yaitu; 1. Masyarakat sebagai agen of change, yaitu suatu konsep yang mengedepankan kepada perubahan perubahan yang positif. Masyarakat yang berpikir sebagai agen of change akan memberikan kontribusi yang menarik bagi para senator, seperti ide, gagasan, implementasi, fakta lapangan, serta hak yang diperjungkan. Masyarakat memerlukan pola agen of change ini sebagai bentuk penyeimbang antara kebijakan-kebijakan yang tidak memihak ke rakyat, menjadi memihak dengan ketentuan yang disepakati bersama. Sehingga agen of change secara sederhana dipahami sebagai suatu tindakan positif yang bertujuan melakukan pengawalan terhadap kinerja para senator terpilih.
2. Pola moral of force, diketahui Indonesia sebagai negara yang memiliki keanekaragaman, oleh karena itu keanekaragaman yang ada, diusahakan tetap kondusif dan nyaman ditengah masyarakat. Lantas bagaimana kontribusi masyarakat terhadap senator melalui moral of force, dengan cara memberikan nilai-nilai yang positif dan membangun. Dengan demikian, moral of force terbentuk di lingkungan masyarakat, mampu menjadi role model bagi senator untuk tidak menggunakan hak progratifnya, terhadap nilai-nilai moral yang bertentangan dengan sistem etika dan moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sehingga, masyarakat memiliki persepsi yang sama mengenai batasan-batasan moral serta implementasinya dalam berbangsa dan bernegara.
3. Pola social of control, masyarakat perlu menyadari secara seksama bahwa keputusan tertinggi berada di rakyat. Apabila rakyat telah melakukan tindakan-tindakan yang bersifat massa maka mampu mengoyahkan stabilitas suatu negara. Tetapi poinya bukan pada sejumlah massa yang ada, akan tetapi bagaimana masyarakat menjadi agen atau berkontribusi terhadap kontrol sosial. Kontrol sosial dikalangan senator perlu dilakukan untuk memberikan perbandingan mengenai kinerja, kelakuan, implemntasi serta mengutamakan kemaslahatan. Sehingga masyarakat mampu bergandengan tangan untuk melakukan kontrol yang positif terhadap kinerja para senator, demi pertumbuhan bangsa yang lebih baik
Kesimpulan yang bisa kita tarik pada curhatan senator Komeng adalah, mari berpikir logis, kritis, tampa diskriminasi, demi mencapai tujuan bersama yaitu pemerintahan yang adil dan kompeten. Saran yang saya tawarkan, mari kita bersama mengawal kebijakan, kinerja, dan impact yang dihasilkan para senator pilihan kita, agar mampu mewujudkan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera dimasa mendatang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H