Mohon tunggu...
Muhayat AF
Muhayat AF Mohon Tunggu... -

http://1000burungkertas.org/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

KTP (Part 2)

17 Juli 2010   14:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:47 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Mas!” tegur petugas berseragam polisi itu menyadarkanku dari lamunan masa lalu. “Silahkan turun untuk urusan administratif!” Kucoba bangkit dari tempat duduk dengan sisa-sisa tenaga. Menemui petugas lain yang telah menunggu di depan bus.

“Maaf pak, saya tidak punya KTP.” aku mendahului petugas itu memulai obrolan. Saya sengaja tidak menyebutnya sebagai sidang.

Setelah bertanya kota tujuan, alamat asal, dan beberapa pertanyaan pelengkap lainnya petugas itu menasihatiku.

“Sebagai warga negara Indonesia yang baik, Anda harus segera memiliki KTP.”

“Kalau saya ingin menjadi warga negara biasa saja, Pak?”

“Kalau begitu untuk menunjukkan bahwa Anda warga negara Indonesia, meskipun biasa, Anda pun harus memiliki KTP?” saya hanya tersenyum mendengar ucapan petugas itu. Tapi setiap urusan yang melibatkan KTP selalu mengingatkanku pada kenangan masa lalu. Seragam petugas yang ada di hadapanku seolah menghadirkan kembali petugas kecamatan yang pernah kutemui dulu. Luapan emosiku tiba-tiba menyambar petugas ini, tanpa terpikir olehku apa hubungan petugas razia dengan petugas kecamatan waktu itu, sehingga ia harus menerima ucapan kasarku.

“Pak… Tidak ada yang meragukan keaslian saya sebagai warga negara. Dengan mata, rambut, dan warna kulit dan bahasa seperti ini, di negeri ini, hanya orang bodoh yang mengatakan saya bukan warga negara Indonesia. Identitas sebagai warga negara Indonesia sudah melekat dalam diri saya. Sejak saya mbrojol ke dunia ini saya sudah menjadi warga negara Indonesia. Tanpa harus menunjukkan KTP.”

Petugas itu hanya tersenyum. Menyerahkan beberapa berkas yang harus saya tanda-tangani. Saya kembali ke dalam bus, setelah menandatangani berkas-berkas itu dan membayar sejumlah uang kepada petugas di sana. “Denda administratif”, begitu petugas itu membahasakannya.

Bus kembali merangkak melanjutkan perjalanan yang sedikit tersisa. Aku mencoba melepas lelah, mengambil posisi duduk sebaik mungkin, dan memaksa mataku untuk terpejam. Aku tertidur. Dengan KTP “abadi” yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun