Mohon tunggu...
Muhayat AF
Muhayat AF Mohon Tunggu... -

http://1000burungkertas.org/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bunga Pepaya dan Rinduku pada Ibu

16 Juli 2010   09:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:49 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mudik lebaran, sepertinya menjadi tradisi unik yang dimiliki negeri ini. Saya tidak tahu bagaimana di negeri-negeri lain, tapi di negeri ini mudik seperti menjadi ritual wajib bagi sebagian masyarakatnya yang menjadi perantau. Bagi saya pribadi mudik adalah kesempatan untuk meluapkan kerinduan pada keluarga, lebih-lebih mak-ku (mamak, begitulah panggilan untuk ibu bagi masyarakat di kampungku).

Tapi ada cerita menarik saat saya mudik dua tahun lalu (dan tidak setiap tahun saya bisa mudik), yang membuatku menulis catatan ini.

Selain halal bi halal, ada yang selalu mewarnai perayaan idul fitri di kampungku, begitu pun di daerah lain, yaitu hidangan di meja makan dengan aneka ragam menu masakan. Secara pribadi saya menyayangkan kebiasaan berlebih itu, mubadzir. Kita memang layak merayakan hari kemenangan, tapi makna kemenangan akan lebih sempurna bila kita menyalurkan apa yang kita mubadzirkan itu untuk membantu mereka yang belum bisa sepenuhnya merayakan kemenangan. Toh, adanya daging daging di meja makan dengan aneka macam olahan justru membuat saya merindukan masakan sederhana yang menjadi santapan sehari-hari orang kampung. Cukup tahu tempe, sayur-mayur yang dipetik dari pekarangan rumah, dan tak ketinggalan sambel yang menambah selera itu.

Sore hari, sambil membersihkan pekarangan belakang rumah saya melihat pohon pepaya dengan bunganya yang lebat. Ya, pepaya jenis ini memang tidak berbuah, hanya memiliki bunga dengan tangkainya yang menjulur. Papaya laki, begitu biasanya orang di tempatku menyebutnya.

“Kamu doyan bunga pepaya? Petik saja, nanti Mamak masakkan untukmu!” ibukuyang sebelumnya sedang masak di dapur, tiba-tiba sudah berada di belakangku.

Memang tidak banyak yang suka dengan bunga pepaya (di Jawa biasa disebut kembang kates) karena rasanya yangpahit. Tapi dari seorang tetanggaku yang biasa dipanggil datuk, saya pernah diberi tahu kalau bunga papaya, termasuk juga daunnya, memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi. Hmm... tawaran ibu seperti jadi perintah buatku untuk langsung memanjat pohon papaya itu dan memetik bunga-bunganya.

Malam hari bapak dan ibu sudah menunggu di meja makan. Aneka hidangan dengan nuansa lebaran sudah siap dimeja makan. Hanya satu yang beda, tumis bunga pepaya yang baru saya petik tadi sore. Kuah kental dan irisan cabai yang menghiasi tumis papaya begitu menarik perhatian saya. Sejenak membuat saya mengabaikan rendang dan gulai yang juga ada di sana.

Entah resep apa yang dipakai ibuku. Rasa pahit yang melekat pada bunga papaya itu nyaris hilang, tengelam oleh rasa pedas dan aroma bumbu-bumbu hasil racikan ibuku. Nasi dalam piring belum habis ku santap tapi nikmatnya tumis bunga papaya yang baru saya rasakan, mamancing nafsu saya untuk menghabiskan sisa tumis yang masih tersisa. Semuanya masuk dalam piring nasi, tidak ketinggalan tempe goreng dan sesendok sambel delan. Kenikmatan itu pun mengalir melalui keringan yang keluar di dahiku. Kelezatan tumis bunga pepaya membuat saya khilaf atas apa yang baru saja saya pikirkan, agama mengajarkan untuk tidak berbuat berlebih-lebihan, israaf.

“Kamu doyan apa rakus?” tegur bapak yang menyadarkanku.

Ibu menatapku dan hanya memberi senyum. Ibu selalu paham apa yang dirasakan dan disukai anak-anaknya. Mungkin karna itu pula, keesokan harinya selama tiga hari berturut-turut ibu selalu masak bunga pepaya untukku. “Suka memang suka, tapi kalau terus-terusan begini lama-lama bosan juga” candaku yang dibalas tawa kecil ibu.

***

Kemarin, sepulang dari kampus, tiba-tiba pandanganku tertuju pada pohon pepaya yang ada di depan kosku. Pepaya yang tidak berbuah, tapi memiliki bunga yang lebat. Sejenak aku teringat dua tahun lalu, di sore yang sama, saat pertama kali ibuku menyuruhku memetik bunga pepaya di pekarangan rumahku.

Aku mendekat pada pohon pepaya yang tumbuh tidak terlalu tinggi itu. Ku pegang bunganya yang tampak segar. Tapi aku urung memetiknya. Kerinduan menikmati bunga pepaya bisa saja aku obati dengan memasak bunga pepaya ini. Aneka bumbu rempah bisa saja ku beli di pasar. Tapi darimana aku bisa mendapatkan aroma tangan ibuku, yang seperti candu membuatku selalu merindukannya?!

16072010

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun