Adanya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) membuat sejumlah mahasiswa keki. Bagaimana tidak, mahasiswa yang dinyatakan lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) mau tidak mau harus mengambil kesempatan emas itu. Harus registrasi ulang. Jika tidak diambil, mereka tidak akan memiliki kesempatan untuk masuk perguruan tinggi melalui jalur selanjutnya, Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT). Sebab mereka yang tidak mengambil penerimaan di SNBP, tidak akan bisa mendaftar di jalur SNBT. Akan tetapi, pilihan maju SNBP pun terbentur dengan kenaikan biaya UKT yang melambung tinggi.
Di bulan April 2024, video aksi unjuk rasa mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang menentang kebijakan kampusnya sendiri ramai di media sosial. Slogan-slogan bertebaran. "Orang Miskin Dilarang Sarjana", "UKT Tinggi Tapi Fasilitas Dikorupsi", "UKT Jahat, Kebijakan Gagal Merakyat." Tentu saja masih banyak yang lainnya.
Tidak lama berselang, aksi unjuk rasa di beberapa perguruan tinggi lainnya muncul ke permukaan. Bahkan, di Riau mahasiswa yang mengkritisi UKT sampai dimasukkan ke dalam bui.
Permasalahan itu muncul tak lama setelah hasil (SNBP) 2024 diumumkan. Saat calon mahasiswa akan registrasi ulang, ternyata tagihannya selangit. Banyak yang menyayangkan, kenapa kenaikan harga UKT itu dikeluarkan setelah siswa diterima SNBP? Bagaimana itu bisa terjadi?
Dengan adanya Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yang disahkan oleh Nadiem Makarim , PTN bisa menaikkan UKTnya sendiri dengan batasan-batasan tertentu. Tentu, mungkin di situ ada indikasi, pendidikan dijadikan bisnis!
Kuliah Tidak Wajib, Tapi Syarat Kualifikasi Kerja Adalah S-1
Tjitjik Sri Tjahjandarie, Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, menyatakan bahwa "Pendidikan tinggi adalah pendidikan tersier. Bukan wajib belajar. Masuk perguruan tinggi sifatnya pilihan." Pendeknya, "Kuliah Tidak Wajib."
Apakah memang sarjana itu hanya dikhususkan untuk golongan berduit saja? Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, setidaknya hanya ada 10% masyarakat Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi. Tentu ini amat mengkhawatirkan jika dibanding dengan negara-negara lain, jumlah 10% ini amatlah kecil.
Memang sudah ada beberapa program beasiswa untuk perguruan tinggi, tapi sepertinya tidak sesuai dengan kondisi ekonomi para penerima di lapangan. Misalnya, anak pejabat yang seharusnya membayar kuliah secara reguler, malah menerima program beasiswa, dan tidak bayar kuliah sama sekali.
Mahalnya biaya kuliah, dan sulitnya mendapat beasiswa memupuskan harapan mereka yang kesulitan ekonomi untuk mendapatkan sarjana pendidikan tinggi.
Menariknya, perusahaan-perusahaan di Indonesia banyak sekali yang membuka lowongan kerja dengan persyaratan minimal S-1. Makin merana saja keluarga yang ekonominya menengah ke bawah. Kuliah tak sanggup, bekerja pun tak layak.
Ketika pendidikan masih dipolitisi, masih dijadikan bisnis, jual beli gelar S-1 sampai S-3 masih terjadi, calo skripsi, tesis, dan disertasi merajalela. Pendidikan yang adiluhung itu sulit tercapai. Manusia yang unggul sulit tergapai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H