Satu ramadhan sudah di depan mata. Layaknya tradisi nusantara menjelang puasa bersih-bersih makam kelurga. Setidaknya kegiatan tersebut dilakukan satu tahun sekali nyambangi peristirahatan terakhir keberadaan orang-orang yang sudah mendahului kita. Meskipun setiap hari senantiasa kirim doa khusus untuk para almarhum almarhumah. Â
Selepas dari makam, saya bertemu sanak saudara. Salam, salaman, sapa, dan senyum menghiasi suasana gerimis di desa yang masyhur dengan langgangan banjir itu. Makan kudapan dan buah merah semangka terasa kenyang.Â
Bukan perkara memasukkan makanan ke dalam mulut, namun lebih kepada makna kebersamaan bertemu keluarga besar dari nenek. Hati riang melihat potret kebersamaan kami, rasanya tidak akan mau ditukar dengan segepok uang. Momentum tahunan tersebut akan terpatri sepanjang masa. Mengingat banyak saudara berdomisili di luar kota, sehingga menyempatkan waktu untuk bersua sangatlah dinanti.Â
Di sela-sela gelak tawa sepupu dan para cucu. Terselip perbincangan sepenggal kisah nyata. Heny (nama samaran) berkisah di tahun 2023. Dia seorang ibu miliki tiga anak perempuan.Â
Aktivitas keseharian bergelut bersama anak-anak TK. Sebagai seorang guru, honor yang didapat tidak begitu tinggi. Beruntung sudah menghuni rumah pribadi. Pasangan hidupnya sebut saja Yudi (bukan nama asli) sudah belasan tahun bekerja sebagai pegawai BUMN. Memaknai pekerja BUMN bukanlah perkara rumit. Setidaknya mengantongi fasilitas finansial mulai dari gaji bulanan, tunjangan anak dan istri, bonus tahunan, dan THR (Tunjangan Hari Raya).Â
Hampir 20 tahun pasangan suami istri itu hidup dalam 'kesunyian bunyi receh uang logam'. Ya, sudah menjadi fitrah suami untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Saat lebaran tiba, kebutuhan rumah tangga dibiarkan ndelongop. Dalih sang imam keluarga "Aku tak punya cukup uang untuk belikan baju anak-anak. Pakai gajimu saja". Â Tepat sehari setelah peroleh THR. Miris dan gerah saya mendengar cerita dari Heny.Â
Rengekan si sulung untuk lanjut ke bangku kuliah tidak digubris. Belum lagi anak kedua mau masuk SMA dan si ragil pun nututi pendaftaran ke SMP. Kompleks hitungan kebutuhan pendidikan dan sekunder.Â
Bisa dimaklumi untuk urusan sandang, kita para wanita meskipun ngempet tidak berpakaian baru pun tidak menjadi masalah. Tetapi bagaimana dengan beras, uang saku anak-anak, kebutuhan dapur, sabun mandi dan sabun cuci sudah terkikis. Semuanya Heny yang keluarkan pundi-pundi logamnya.
Ada apa dengan sang suami? Usut punya usut tabiat ini sudah mengakar sejak kecil. Hingga suatu saat keluarga besar Yudi bertandang ke rumah Heny hanya untuk meminta maaf atas kelakuan adiknya itu. "Ngisin-ngisini keluarga awak dewe, nek wis bebrayan iku ya paham butuhe keluarga, duit iku aja digenggemi dewe. Ora bakal barokah uripmu! Bisa-bisa tak dilaporno polisi kelakuanmu iki." (Memalukan keluarga kita, kalau sudah berumah tangga , uang itu jangan dipegang sendiri. Tidak akan barokah hidupmu! Saya laporkan polis perlakuanmu ini.).
Bagai batu kokoh di pegunungan, itulah gambaran perilaku Yudi. Kaku, keras, tidak mudah goyah atas prinsip hidupnya. Anggapannya, jika istrinya sudah punya gaji, suami tidak akan keluarkan uang lebih untuk hal-hal tidak pokok. Baginya, beras sudah tersedia, urusan lauk urusan Heny.Â