Mohon tunggu...
Muharningsih
Muharningsih Mohon Tunggu... Guru - Pengurus IGI Kab. Gresik-Pengurus KOMNASDIK KAB. Gresik-Editor Jurnal Pendidikan WAHIDIN

Linguistik-Penelitian-Sastra-Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Seberapa Penting Peringati Hari Ayah: Kisah Anak Disabilitas

12 November 2023   11:05 Diperbarui: 5 Desember 2023   18:44 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Genap 30 tahun usia Marti, demikian sanak saudara memanggilnya. Skenario Allah, Marti terlahir pada tanggal 12 November berbarengan hari ayah nasional. Bukan tentang acara ulang tahunnya diadakan secara sederhana, tidak membahas bagaimana usia 30 masih belum berumah tangga, dan ketika Marti tidak pernah lagi menghirup udara selain ventilasi kamar berukuran 3 X 4 meter itu. 

Marti seorang gadis miliki keterbatasan fisik, lumpuh sejak kecil. Usia 10 tahun bermain di bawah pohon beringin, diantara semak belukar, Marti tidak sengaja menginjak ranting kayu. Hari sudah senja, Marti pulang.  Badannya demam, esok hari seketika kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Segala pengobatan baik medis maupun non medis sudah dilakukan. Konon ada yang bilang jika Marti kualat tanpa sengaja merusak 'mainan anak sang penunggu pohon'. 

Sejak saat itu mobilitasnya terganggu. Jika dia berkeinginan bermain di luar rumah, cukup dalam gendongan emaknya. Sekadar jalan keliling kampung sudah menghasilkan senyum di bibir. Tidak hanya tak sempurna pada kedua kaki, Marti juga kesulitan berbicara. Bocah-bocah kampung sering mengejek "Marti bisu". Seolah roda berhenti pada satu poros. Bertubi-tubi masalah menghampiri, selang satu bulan emaknya meninggal karena sakit. 

Kisah nyata ini sengaja saya tulis pada momentum hari ayah. Unsur latar dan subjek disamarkan. Mengingat banyak sosok ayah tidak pedulikan nasib anaknya, malah dianggap sebagai beban hidup. Saya akan lanjutkan cerita Marti, aspek apa sajakah yang memengaruhi korelasi Marti dengan hari ayah?

Marti tidak punya kakak dan adik. Sepeninggalan emak, dia hidup berdua bersama ayahnya. Beruntung keluarga besar Pak Di (ayah Marti) masih satu kampung di Desa Sukorini, wilayah Jawa Tengah. Keseharian Pak Di bekerja menjadi sopir angkutan. Pekerjaan mulia itu digeluti hampir separuh dari usianya. Juragan angkutan bersimpati agar Pak Di beralih kerja, supaya bisa sesekali jenguk Marti di rumah. Masih dalam lingkup tokonya, sekarang Pak Di menjadi kuli panggul. Letak toko begitu strategis karena hanya berjarak 200 meter dari rumahnya. Hal ini menguntungkan Pak Di sigap terhadap kondisi Marti. 

Istirahat zuhur selepas salat Pak Di pulang ke rumah. Wajah Marti berbunga-bunga melihat ayahnya menghampirinya dengan sebungkus nasi. Mereka makan bersama. Belum usai suapan terakhir, Pak Di dikejutkan warna merah sekitar seprai. Bau amis yang tadinya tidak menyengat, kini terasa di hidung. Pak Di panik dan hela napas panjang. Bingung. Keluar rumah, Pak Di minta bantuan Lek Yeni. Rupanya Marti sudah datang bulan. 

Oleh puskesmes desa, Marti dijadwalkan terapi jalan. Hasilnya masih nihil. Malah gunjingan, cemooh, bully yang didapati. Pak Di dianjurkan menikah lagi oleh salah satu pasien agar Marti ada yang urus. Cuci piring, baju, setrika, nyapu, masak juga ada yang handle. Secara tegas Pak Di menolak menikah. Alasan logisnya, jika istri barunya bisa menerima Marti maka akan jauh lebih baik. Namun jika sebaliknya, apakah Pak Di bisa menjaga senyuman Marti?

Sudah tujuh tahun belakangan kondisi Marti makin membaik. Aktivitas yang berhubungan dengan kamar mandi, lambat laun dapat dilakukan mandiri. Jalan ngesot satu-satunya alternatif yang diajarkan Pak Di kepadanya. Keutuhan kedua tangan difungsikan maksimal oleh Marti. Tidak mudah bangkit dari tumpukan kasur kapuk itu. Sumringah, itulah sikap syukur Pak Di dan Marti hadapi hidup. 

Dari kisah singkat tersebut, berikut perwujudan sosok ayah melalui Pak Di.

Pertama, kematangan emosional

Memiliki anak disabilitas, Pak Di yang tidak pernah merasakan bangku sekolah mampu mematangkan emosi. Menurut Chaplin (2009) mendefinisikan kematangan emosi sebagai satu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional. Pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Hal tersebut dikarenakan Pak Di miliki bekal ajaran agama ketika masa kecil. Setidaknya pola hidup agamis membantu Pak Di dapat ikhlas dan bisa bertahan hidup meskipun cobaan dari Allah sungguh luar biasa. Pak Di jarang sekali marah atau kecewa baik terhadap Tuhan maupun ke Marti, kenapa hidupnya seperti 'neraka'. Kendali emosi dikelola dengan matang oleh Pak Di. Pak Di dapat menjadi sosok ibu dan ayah bagi Marti. Masyarakat sekitar juga sepakat jika Pak Di merupakan insan penyabar dan ringan tangan. Setiap Kamis sore Pak Di akan membersihkan area makam keluarga besarnya. Tanpa pamrih. 

"Daripada dibersihkan orang lain, lebih baik saya yang bersih-bersih, nyapu dan cabut rumput, saya tidak bisa bantu banyak untuk sanak saudara, hanya urun tenaga seperti ini sajalah". 

Kira-kira begitulah pernyataan beliau ketika saya tanya sewaktu jumpa di makam.

Kedua, berikan nafkah keluarga

Walau hanya sebagai kuli panggul dengan penghasilan Rp50.000 sampai Rp100.000 per-hari, Pak Di berkewajiban berikan nafkah kepada Marti. Mencukupi segala kebutuhan  keluarga. Pak Di mengindahkan firman Allah Surat An Nisa ayat 34, 

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."

Pak Di menyakini bahwa Allah telah menjanjikan kelebihan harta untuk setiap sosok ayah. Huznudhon kepada Allah senantiasa tidak terputuskan. Kita berusaha dan meminta maka Allah akan mengabulkan, Allah Maha Pengasih dan Penyayang.

Ketiga, menjadi pelindung bagi anaknya
Pak Di rela merawat dan melindungi anaknya seorang diri, terbukti bahwa Pak Di menolak menikah. Bukan sebab khawatir terhadap perlakukan seseorang ke Marti, namun lebih kepada rasa tanggungjawab seorang ayah kepada anaknya untuk melindungi. Secara fisik, sosok ayah diberikan badan dan otot kuat, jika terjadi serangan terhadap Marti maka Pak Di lah orang pertama sebagai tameng gencatan tersebut. Tidak hanya serangan fisik, perundungan verbal sering dialami. Pernah suatu hari, hal tak terduga dilakukan Pak Di, di tengah musyawarah RT, ayah satu anak tersebut memohon kepada para bapak-bapak lainnya untuk menasihati anggota keluarganya supaya tidak merundung Marti. 

"Ora usah podho ngenyek Marti, nek arep ngece, iki ono bapake, ece aku"! (Tidak perlu merundung Marti, kalau mau menghina, ini ada ayahnya, hinalah aku)  

Kemudian melalui rapat tersebut disepakati bahwa Pak RT akan mengedukasi warga terutama anak-anak dilarang keras ada bullying di lingkungan Desa Sukorini. Begitu gigihnya Pak Di memperjuangkan hak Murti agar dapat diterima layaknya anak normal lainnya.

Keempat, bermain bersama anak

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari sahabat Jabir mengatakan, 

"Saat aku menemui Nabi Muhammad SAW dan aku temui beliau sedang berjalan empat kaki (main kuda-kudaan) dan di atas punggungnya ada Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain dan Rasullah pun bersabda 'sebaik baiknya unta adalah unta kalian berdua (Rasulullah) dan sebaik-baik orang adil adalah kalian berdua". (Al Hadits)

Gambaran bermainnya Nabi dicontoh pula oleh Pak Di, meski tidak bermain kuda-kudaan. Untuk membuat Marti tersenyum, biasanya Pak Di berlagak menjadi monyet sambil melompat-lompat. Atau sekadar main boneka dengan Marti. Sepintas apa yang dilakukan Pak Di sepele, tapi dibalik semua itu kunci keberhasilan senyum Marti sangatlah berharga. Capaian keluarga harmonis tidak harus lengkap ada ayah, ibu, dan anak. Kenyataannya Pak Di dan Marti dapat dibilang keluarga harmonis melalui metode permainan simple Pak Di.

Kelima, mengajarkan pendidikan agama

Keterbatasan Marti tidak mengurungkan niat Pak Di dalam mengajarkan salat. Cara berwudu, berdoa, merawat diri, sampai tata cara mandi wajib. Bekal ilmu dari guru ngajinya dulu, Pak Di selalu mengingatkan Marti untuk salat berjamaah. Pak Di rela tidak jamaah di masjid, rumahnya ibarat masjid dengan seorang makmum bernama Murti. Doa sapu jagat, artinya "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka". Doa tersebut menjadi teman sejati bagi Pak Di dalam limpahan doa-doa lainnya.  

Simpulan kisah Marti dan sosok ayahnya, menjawab judul yang sudah saya lampirkan di atas. Kehadiran ayah sangatlah penting dalam tatanan sosial normal maupun 'istimewa' seperti Marti. Sampai dengan saat ini saya ulas kisahnya, Marti dan Pak Di hidup damai bergelimang  berkah dari Allah. Berkah kecukupan dalam bentuk nominal, diberikan kekuatan cukup bagi mereka untuk saling support dalam mengarungi putaran jarum jam. Berkah Desa Sukorini dalam momong Marti tanpa menghilangkan rasa hormat kepada Pak Di. 

Teruntuk Pak Di "Selamat Hari Ayah 2023", salam sehat dari Muharningsih keponakanmu.

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun