"Zahra, kamu kelihatan beda pagi ini?" Pak Majid buyarkan lamunanku. Aku sedikit bergumam, em..rasanya tidak ada yang beda di diriku.
"Beda apanya, pak?" timpalku. " Beda tapi keren lo, kenapa kamu pakai kebaya?" Begitulah perhatian Pak Majid kepadaku. "Oh, iya Pak, hari ini hari pahlawan para murid disuruh pakai baju daerah."Â
Pak Majid manggut-manggut sambil tersenyum, "Kau tahu, dulu waktu kecil Bapak merasakan zaman peperangan". Antusiasku makin tumbuh ketika Pak Majid menceritakan dengan gamblang masa kecilnya dulu. Sekali lagi untuk memeastikan bahwa pak majid benar-benar mengalaminya, aku bertanya dengan wajah serius, "Perang merebut kemerdekaan Indonesia?" Dengan penuh percaya diri Pak Majid berseru, "Betul sekali, waktu itu umur Bapak masih 10 tahun. Dulu tidak ada sekolah seperti saat ini. Jadi kamu harus selalu bersyukur. Lihat bekas luka bapak ini (sambil menunjukkan lengan kanannya), waktu itu Bapak jatuh ketika mau ambil kayu bakar di hutan. Di luar hutan suara tembakan penjajah makin menjadi, mereka mencari para penduduk desa. Bapak lari sekencang mungkin, berharap penjajah tidak menemukan bapak".
Seru juga nih dapat cerita dari Pak Majid. "terus-terus, Pak, gimana kelanjutannya? jadi ketangkep gak?"
Pak Majid tersenyum mendengar ocehanku, sambil berkata "Jika ketangkep, tidak mungkin sekarang ini Bapak duduk di sebelahmu". "He,he,he iya-ya Pak, ah saya ini kok gak jelas banget!" Sepanjang rute perjalanan kami, Pak Majid masih saja enjoy dengan cerita kemerdekaannya.Â
Tak terasa, kami sudah tiba di sekolah. "Alhamdulillah, sampai juga kita di sekolah, terima kasih banyak Pak sudah mengantar dan hati-hati di jalan ya!".
"Sama-sama Zahra, belajarlah yang rajin, jangan melawan guru dan patuhilah mereka!"Â
Kondisi kelas sangatlah riuh. Para murid ribet dan ribut dengan baju daerahnya. Bu Nisa guru PKn mulai membuka pelajaran. "Anak-anak, perhatikan gambar yang telah Ibu bawa". Ku pandang sosok wanita di gambar itu. Bu Nisa melempar pertanyaan, "Siapa yang mengetahui gambar siapakah ini?" Serempak anak-anak merespon"R.A Kartini, Bu". "Wah, benar sekali anak-anak, semaunya sudah mengenal para pahlawan." Selanjutnya guru tersebut menginstruksikan kepada ketua kelas untuk emmbagikan selembar kertas pada masing-masing murid. Tugas tanggal 10 November itu diperintahkan untuk menuliskan sosok pahlawan versi setiap murid.
Mulailah jemariku menulis.Â
Aku mulai mengerti, sejak beberapa tahun silam sampai saat ini aku bisa belajar di sekolah swasta favorit. Jika musim hujan datang, aku tidak pernah membawa payung. Aku terselamatkan dari hujan setidaknya selama perjalanan dari rumah ke sekolah. Saat kemarau tiba, aku pun tidak merasakan kepanasan.Â
Bukan permasalahan kecukupan sarana bagiku, tapi perhatian yang tulus layaknya seorang ibu, ayah, kakak, bahkan kakek, ku dapatkan dari seseorang yang hampir setiap hari aku temui. Â Bukan permasalahan jenis pekerjaannya, melainkan begitu berharganya profesinya itu.Â