Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Penggiat Sejarah

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pramoedya Ananta Toer: Jejak Seabad Sang Sastrawan Perlawanan

2 Februari 2025   12:57 Diperbarui: 2 Februari 2025   13:18 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramoedya Ananta Toer (Sumber gambar: Dokumen Pram) 

Mengulas sosok Pramoedya Ananta Toer memiliki kesan tersendiri buku-bukunya menjadi referensi ketika masa kuliah dulu. Banyak karyanya yang mengupas peristiwa sejarah dan menjadi sumber rujukan karena ceritanya yang menarik dan mendalam.

Tahun ini tepat merayakan 100 tahun kelahiran seorang sastrawan sejati. Untuk menghidupkan kembali dengan karya-karyanya, ulasan ini sedikit mengupas perjalanan seorang Pramoedya Ananta Toer beserta resensi buku-buku favorit karya beliau yang pernah saya baca.

Kisah hidup Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab disapa Pram, lahir di Blora, Hindia Belanda, pada 6 Februari 1925. Ia merupakan anak tertua dari M. Toer, seorang tokoh nasionalis yang menjabat sebagai direktur-kepala sekolah "Instituut Boedi Oetomo" (IBO) di Blora, yang kini menjadi SMP 5 Blora. Ayahnya memiliki pengaruh besar dalam bidang politik dan sosial, menggantikan Dr. Soetomo setelah pemindahannya ke Surabaya.

Perjalanan pendidikan Pram tidaklah mulus. Ia menghabiskan sepuluh tahun untuk menyelesaikan sekolah dasar selama tujuh tahun di IBO dan lulus pada tahun 1939. Namun, ketika ingin melanjutkan ke MULO, ayahnya menolak dan justru memerintahkannya mengulang tahun terakhir sekolah dasar. Tak patah semangat, Pram bersama ibunya yang berdagang beras menabung hingga akhirnya pada tahun 1940, ia berangkat ke Surabaya untuk meneruskan sekolah.

Di Surabaya, ia masuk Radiovakschool, sebuah sekolah kejuruan radio, dan berhasil lulus pada akhir tahun 1941 dengan menyelesaikan tiga kelas dalam waktu hanya enam bulan per kelas. Segera setelahnya, ia direkrut menjadi bagian radiotelegraf di Stadswacht (Pertahanan Sipil Kota). Namun, ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda, Pram memilih kembali ke Blora.

Ketika Jepang menduduki Indonesia, Pram harus menjaga keluarganya bersama adiknya selama empat bulan pertama pendudukan. Setelah ibunya meninggal, mereka berdua meninggalkan rumah keluarga dan menetap di Jakarta. Di sana, Pram melanjutkan studi hingga kelas dua Taman Dewasa sembari bekerja di kantor berita Jepang, "Domei". 

Sayangnya, ketika hendak naik ke kelas tiga, sekolah tersebut ditutup oleh pihak Jepang. Sebagai gantinya, kantor tempatnya bekerja membiayai pelatihannya sebagai stenografer di Chuo Sangi-in (sekarang gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta). Pada tahun 1945, ia juga sempat mengikuti perkuliahan di Universitas Islam, yang kini menjadi gedung Imigrasi.

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, Pram sedang berada di Jawa Timur. Setelah mendengar kabar bersejarah tersebut, ia sempat singgah ke Blora sebelum kembali ke Jakarta. Di ibu kota, ia bergabung dengan organisasi paramiliter pemuda dan kemudian masuk ke dalam satuan tentara Divisi Siliwangi Resimen 6 yang beroperasi di Jakarta Timur. 

Dalam masa ini, ia mencapai pangkat Letnan Dua dan memimpin satu seksi yang beranggotakan 60 orang. Namun, ketika pemerintah Republik Indonesia melaksanakan program rasionalisasi militer, ia memilih untuk mengundurkan diri.

Setelah meninggalkan dunia militer, Pram aktif dalam dunia sastra dan kebudayaan. Pada tahun 1958, ia diangkat sebagai anggota Sidang Pleno Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) melalui keputusan Kongres Nasional Pertama di Solo. Setahun kemudian, ia juga menjadi anggota Eksekutif Komite Perdamaian Indonesia setelah keputusan Konferensi Nasional di Bandung. 

Tak hanya itu, ia juga terlibat dalam berbagai organisasi internasional, seperti Konferensi Penulis Afro-Asia serta menjadi editor dan penasihat jurnal "Orient" di Praha. Ia juga turut berkontribusi dalam penyusunan Ensiklopedia Besar Soviet mengenai sastra Indonesia.

Pada tahun 1962 hingga 1965, Pram menjabat sebagai editor "Lentera", sebuah suplemen budaya harian "Bintang Timur". Ia juga menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika Jakarta, turut mendirikan Akademi Sastra "Multatuli" di Jakarta, serta mengajar di Akademi Jurnalistik "Dr. Abdul Rivai". Sepanjang hidupnya, ia terus memperjuangkan kebebasan berekspresi melalui tulisan-tulisannya yang berani dan penuh kritik sosial.

Pramoedya Ananta Toer bersama bukunya (sumber gambar: Dok Pram) 
Pramoedya Ananta Toer bersama bukunya (sumber gambar: Dok Pram) 

Resensi Buku-buku favorit Pramoedya yang pernah saya baca

Pertama, Buku Bumi Manusia

Buku novel ini pasti tidak asing lagi bagi orang awam, Karena diangkat ke layar lebar. Saya pun tertarik membaca buku ini pas ada mata kuliah Sejarah Indonesia Madya sebagai gambaran bagaimana kehidupan kolonial pada masa itu. Apalagi mendengar bahwa novel ini akan diangkat ke layar lebar jadi makin tertarik membacanya supaya dapat spoiler mengenai Film Bumi Manusia.

Sedikit ringkasan Buku Bumi Manusia, Bumi Manusia adalah novel pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Berlatar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, novel ini mengisahkan Minke, seorang pemuda pribumi dari keluarga bangsawan yang berpendidikan di sekolah elite Belanda. Ia berusaha melawan ketidakadilan sistem kolonial yang membatasi hak-hak pribumi.

Minke jatuh cinta pada Annelies Mellema, gadis Indo yang cantik dan lembut, anak dari Nyai Ontosoroh---seorang gundik yang cerdas dan mandiri. Melalui Nyai Ontosoroh, Minke belajar tentang perjuangan dan keteguhan dalam menghadapi penindasan. Konflik utama dalam novel ini adalah diskriminasi hukum kolonial yang merampas hak-hak Annelies dan keluarganya.

Dalam buku ini Pramoedya tersirat menuliskan Kritik sosial yang tajam, Pramoedya menampilkan ketidakadilan hukum kolonial dan perjuangan pribumi dalam sistem yang menindas. Tokoh-tokoh seperti Minke dan Nyai Ontosoroh sangat berkarakter dan menginspirasi. Gaya bahasa yang kaya kuat sehingga narasi deskripsinya mendalam membuat pembaca mudah terbawa suasana. Namun Gaya bahasa lama mungkin sulit dipahami oleh pembaca modern.

Kedua, Buku Sekali Peristiwa di Banten

Sama seperti buku Bumi Manusia, buku ini saya baca waktu mata kuliah Sejarah Indonesia Madya. Buku Sekali Peristiwa di Banten ini adalah kumpulan cerpen yang menggambarkan kehidupan rakyat kecil di Indonesia pada masa kolonial dan awal kemerdekaan. Cerita-cerita dalam buku ini penuh dengan kritik sosial terhadap ketidakadilan, penindasan, dan perjuangan hidup masyarakat.

Salah satu cerpen berjudul Sekali Peristiwa di Banten menceritakan Pemberontakan petani di Banten tahun 1888 melawan pemerintah kolonial Belanda. Kisah ini mengikuti penderitaan rakyat yang hidup di bawah tekanan ekonomi dan sosial akibat kebijakan kolonial yang tidak adil. Dalam cerita ini, tokoh-tokohnya berjuang dengan segala keterbatasan, menunjukkan keteguhan hati mereka dalam menghadapi penindasan.

Buku ini mengulas banyak akan ketahanan dan perjuangan rakyat, banyak ceritanya menampilkan keteguhan hati masyarakat dalam menghadapi berbagai kesulitan. Realitas Sosial di Indonesia, ceritanya menggambarkan kehidupan nyata rakyat kecil yang sering tidak terdengar dalam sejarah resmi.

Bagi yang tertarik dengan sastra realisme sosial dan sejarah perjuangan rakyat, Sekali Peristiwa di Banten adalah bacaan yang sangat direkomendasikan. 

Ketiga, Buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels 

Buku Jalan Raya Pos ini juga saya jadikan referensi saat mata kuliah Sejarah Indonesia Madya, Buku Jalan Daendels adalah esai sejarah yang mengisahkan pembangunan Jalan Raya Pos (Grote Postweg) saat ini dikenal dengan Jalan Pantura, proyek ambisius yang diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, pada tahun 1808. Jalan ini membentang sekitar 1.000 km dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur, dan menjadi salah satu infrastruktur penting di Jawa hingga kini.

Namun, di balik proyek tersebut, ada kisah kelam berupa eksploitasi dan penderitaan rakyat pribumi. Ribuan pekerja rodi dipaksa bekerja tanpa upah, dan banyak di antara mereka mati akibat kelelahan, kelaparan, dan penyakit. Pramoedya mengungkap bagaimana proyek ini bukan sekadar jalan raya, tetapi juga simbol kekejaman kolonialisme di Nusantara.

Selain membahas aspek sejarah pembangunan jalan ini, buku ini juga mengkritik bagaimana warisan kolonial masih berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia modern. Jika membaca buku ini akan paham dan memahami mengapa pemerintahan Indonesia bisa seperti ini. Dari belajar sejarah kita bisa belajar untuk tidak meniru bagaimana keangkuhan, kebodohan dan kesalahan karena dampaknya merugikan bagi banyak orang.

Pesan dari buku ini tersampaikan dengan gamblang, bagaimana Eksploitasi Kolonial  dimana Jalan Raya Pos dibangun dengan pengorbanan rakyat pribumi yang dipaksa bekerja dalam kondisi tidak manusiawi. Sejarah yang dilupakan, Pramoedya menyoroti bagaimana sejarah sering ditulis dari sudut pandang penjajah, sementara penderitaan rakyat kecil terabaikan. Warisan Kolonialisme Buku ini mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang bagaimana warisan kolonial masih memengaruhi infrastruktur dan kebijakan di Indonesia saat ini.

Keempat, Buku Orang Tionghoa di Indonesia: Pembauran atau Pemisahan?

Buku ini membahas sejarah, peran, dan nasib komunitas Tionghoa di Indonesia dari masa kolonial hingga era modern. Pramoedya mengupas bagaimana orang Tionghoa di Indonesia mengalami diskriminasi, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun setelah kemerdekaan.

Dalam buku ini, Pramoedya menyoroti bagaimana kebijakan politik sering memperlakukan orang Tionghoa sebagai kelompok yang terpisah dari pribumi, padahal mereka telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia. Ia juga membahas kontribusi besar komunitas Tionghoa dalam berbagai bidang, seperti perdagangan, pendidikan, dan budaya. Menegaskan bahwa komunitas Tionghoa telah berperan besar dalam sejarah Indonesia, namun sering tidak diakui.

Melalui analisis sejarahnya, Pramoedya mempertanyakan apakah masyarakat Tionghoa di Indonesia akan terus dipisahkan oleh kebijakan dan stigma sosial, ataukah mereka bisa sepenuhnya membaur sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Buku ini mengungkap bagaimana orang Tionghoa sering dijadikan kambing hitam dalam berbagai konflik sosial dan politik. Mendorong pemikiran bahwa semua kelompok etnis di Indonesia seharusnya diperlakukan sama tanpa ada pemisahan sosial dan politik. Bacaan reflektif yang membuka wawasan tentang hubungan antara etnis Tionghoa dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dengan analisis sejarah yang kuat, Pramoedya mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang integrasi dan keadilan sosial di Indonesia.

Kelima, Buku Kronik Revolusi Indonesia 

Buku Kronik Revolusi Indonesia ini terdiri menjadi empat, saya hanya membaca jilid yang pertama saat mata kuliah Sejarah Indonesia Baru, Buku Kronik Revolusi Indonesia adalah kumpulan catatan sejarah yang mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, mulai dari tahun 1945 hingga 1950. Buku ini terjilid yang secara rinci mencatat peristiwa politik, militer, dan sosial yang terjadi selama revolusi.

Sebagai seorang sejarawan dan sastrawan, Pramoedya menyusun buku ini berdasarkan berbagai sumber, seperti arsip, surat kabar, dan catatan sejarah lainnya. Ia mencoba menghadirkan perspektif yang lebih dekat dengan rakyat kecil dan para pejuang di lapangan, bukan hanya sudut pandang elite politik.

Buku ini memberikan gambaran mendalam tentang konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda, diplomasi internasional, serta dinamika sosial yang terjadi di dalam negeri. Dengan gaya penulisan yang khas, Pramoedya menyoroti semangat perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan.

Keenam, Buku Korupsi

Buku ini adalah novel yang saya pada masa ingin tahu bagaimana gambaran akan korupsi bisa terjadi, Novel Korupsi mengisahkan seorang pegawai negeri bernama Bakir, yang awalnya merupakan pria sederhana dan idealis. Namun, setelah mendapat jabatan tinggi di pemerintahan pasca-kemerdekaan, ia tergoda oleh kekuasaan dan kesempatan untuk memperkaya diri.

Bakir mulai melakukan korupsi untuk memenuhi gaya hidup mewah keluarganya, seperti membeli rumah besar dan barang-barang mahal. Seiring waktu, ia semakin tenggelam dalam praktik kotor tersebut, meskipun dihantui oleh perasaan bersalah. Novel ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dan sistem yang korup dapat mengubah seseorang yang awalnya baik menjadi serakah dan tidak bermoral.

Pesan yang bisa diambil dari buku ini :

  • Korupsi sebagai penyakit sosial, Pramoedya menunjukkan bagaimana korupsi bukan hanya masalah individu, tetapi juga sistem yang memungkinkan dan mempermudah kejahatan ini terjadi.
  • Kehancuran moralitas, Kisah Bakir mencerminkan bagaimana manusia bisa kehilangan nilai-nilai moral ketika dihadapkan pada godaan kekuasaan dan kekayaan.
  • Kritik terhadap birokrasi, Novel ini memberikan gambaran tentang bagaimana sistem pemerintahan pasca-kemerdekaan masih diwarnai oleh praktik korupsi, yang menghambat pembangunan negara. Novel yang tajam dalam mengkritik praktik korupsi di Indonesia.

Dengan gaya penulisan yang lugas dan menggugah, Pramoedya memperingatkan bahwa tanpa integritas, seseorang bisa dengan mudah jatuh ke dalam kebiasaan korupsi. Buku ini masih relevan hingga sekarang, mengingat korupsi tetap menjadi masalah besar di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ketujuh, Buku Mereka yang Dilumpuhkan

Buku ini adalah buku paling menohok dan paling serius yang saya baca, baca buku ini saat mata kuliah Sejarah Indonesia Baru. Buku Mereka yang Dilumpuhkan adalah kumpulan tulisan Pramoedya Ananta Toer yang berisi refleksi, kritik sosial, dan pengalaman pribadinya selama menjalani penahanan tanpa pengadilan di Pulau Buru oleh rezim Orde Baru. Buku ini menggambarkan bagaimana kekuasaan otoriter menekan kebebasan berpikir, menindas kaum intelektual, dan membungkam suara-suara kritis.

Dalam buku ini, Pramoedya menceritakan penderitaan para tahanan politik, termasuk dirinya sendiri, yang dipaksa bekerja di bawah kondisi yang tidak manusiawi. Ia juga mengkritik sistem politik yang korup dan represif, yang mengorbankan banyak orang demi mempertahankan kekuasaan.

Buku ini menyoroti bagaimana rezim otoriter menggunakan cara-cara kejam untuk membungkam lawan politiknya, Meskipun ditindas, Pramoedya tetap menulis dan menyuarakan pemikirannya, menunjukkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan. Kritik terhadap Orde Baru, Buku ini memberikan perspektif dari korban langsung kebijakan represif pemerintah saat itu.

Mereka yang Dilumpuhkan adalah buku yang menggugah kesadaran tentang bahaya kekuasaan yang sewenang-wenang. Dengan gaya bahasa yang tajam dan emosional, Pramoedya mengajak pembaca untuk memahami sejarah kelam Indonesia dan pentingnya kebebasan berpikir serta hak asasi manusia.

Sebenarnya ada beberapa buku novel lagi yang saya baca, namun hanya sekadar dibaca tidak saya tulis sebagai catatan ataupun dalam bentuk tugas dulu semasa kuliah. Memang saya belum bisa memiliki buku bacaan ini semuanya, menjadi koleksi buku dirak saya baru Buku Bumi Manusia. Buku yang lain hanya sekadar di Perpustakaan kampus atau punya teman. Semoga bisa membeli buku karya Pramoedya Ananta Toer.

Kesimpulan

Kisah hidup Pramoedya Ananta Toer tidak hanya mencerminkan perjalanan seorang sastrawan, tetapi juga seorang pejuang yang tak kenal lelah dalam mempertahankan idealismenya. Dengan karya-karyanya yang mendunia, ia tetap dikenang sebagai salah satu penulis terbesar yang pernah dimiliki Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer (sumber gambar: Wikipedia) 
Pramoedya Ananta Toer (sumber gambar: Wikipedia) 

Referensi:

Pramoedya, A. T. (1980). Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya, A. T. (1983). Sekali Peristiwa di Banten. Jakarta: Lentera.

Pramoedya, A. T. (1982). Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya, A. T. (1980). Orang Tionghoa di Indonesia: Pembauran atau Pemisahan?. Jakarta: Pustaka Jaya.

Pramoedya, A. T. (1990). Kronik Revolusi Indonesia (Jilid 1). Jakarta: Hasta Mitra.

Pramoedya, A. T. (2002). Korupsi. Jakarta: Lentera.

Pramoedya, A. T. (2001). Mereka yang Dilumpuhkan. Jakarta: Hasta Mitra.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun