Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Penggiat Sejarah

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Renungan dari Gajah Jawa

29 Januari 2025   14:50 Diperbarui: 30 Januari 2025   09:36 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulau Jawa, dengan segala keindahannya, menyimpan jejak sejarah yang memukau. Salah satu kisah menarik dari masa lalu adalah keberadaan Gajah Jawa, makhluk megah yang kini hanya menjadi cerita. 

Gajah yang pernah melintasi dataran subur dan hutan lebat Jawa ini merupakan bagian dari spesies Elephas maximus yang menyebar luas di Asia. Namun, seiring berjalannya waktu, keberadaan mereka perlahan menghilang, menyisakan pertanyaan mendalam tentang nasib mereka.

Asal-Usul dan Perjalanan Gajah di Jawa

Gajah jawa dipercaya merupakan hasil dari migrasi gajah dari daratan Asia ke daratan Sundaland sekarang menjadi kepulauan Indonesia.

Melalui jembatan daratan yang menghubungkan Sumatra, Jawa, dan Kalimantan pada masa Pleistosen, gajah-gajah ini menjelajahi wilayah baru. Mereka beradaptasi dengan lingkungan lokal, hingga menjadi subspesies unik yang menghuni Jawa.

Penemuan fosil gajah purba di Sragen dan gading-gading yang tersimpan di museum menjadi bukti nyata bahwa gajah purba juga pernah hidup di tanah Jawa, meskipun mereka berasal dari keluarga yang berbeda dengan gajah modern.

Kehadiran gajah di Jawa mulai berkurang drastis dan punah setelah zaman kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan Mataram. 

Perubahan iklim, perluasan lahan pertanian, dan perburuan intensif menjadi faktor utama yang memengaruhi populasi mereka. Pada akhirnya, gajah-gajah ini punah, meninggalkan jejak fosil dan cerita lisan yang menjadi bukti keberadaan mereka.

Gajah Pigmy Kalimantan leluhurnya di kabarkan dari Gajah Jawa (Bernard DUPONT CC BY-SA 2.0 /mongabay.co.id)
Gajah Pigmy Kalimantan leluhurnya di kabarkan dari Gajah Jawa (Bernard DUPONT CC BY-SA 2.0 /mongabay.co.id)

Mengapa Tak Ada Gajah Liar di Jawa Saat Ini?

Pulau Jawa dikenal sebagai salah satu wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi di dunia. Sejak zaman dulu, manusia telah memanfaatkan lahan untuk pertanian dan pemukiman. 

Hutan yang menjadi habitat alami gajah terus menyusut, memaksa mereka mencari tempat baru bahkan punah karena kehilangan sumber daya. Perburuan gajah untuk diambil gadingnya dan dijadikan simbol status pun turut mempercepat hilangnya spesies ini dari Jawa.

Bukti Gajah pernah hidup liar di tanah Jawa, tergambar dari lukisan ekspedisi Cornelis de Houtman dan diberi judul Dieren van Java (Hewan dari Jawa). Di lukisannya terdapat hewan-hewan yang hidup berdampingan dengan Gajah, seperti badak bercula satu, trenggiling, buaya dan juga bulus.

 Lukisan Dieren van Java (sumber gambar: wikimedia)
 Lukisan Dieren van Java (sumber gambar: wikimedia)

Dikatakan dari berbagai sumber, sebenarnya jejak gajah jawa tidak sepenuhnya hilang dari Nusantara. Gajah pigmy Kalimantan, yang kini hidup di Kalimantan bagian utara, disebut-sebut memiliki hubungan dengan gajah-gajah yang dulu ada di Jawa. Gajah ini merupakan hadiah kepada Raja Sulu, yang kemudian hidup dan berkembang di Kalimantan.

Namun, ironisnya keberadaan Gajah di Kalimantan ini jumlah tergerus karena habitat alaminya terus berkurang. Jumlahnya sekarang hanya sekitar 1.500 ekor dan keberadaannya tersebar di Kalimantan utara dan Sabah Malaysia.

Anak Gajah Pigmy Kalimantan (Sumber gambar: WWF – A.Christy WILLIAMS/mongabay.co.id)
Anak Gajah Pigmy Kalimantan (Sumber gambar: WWF – A.Christy WILLIAMS/mongabay.co.id)

Kehadiran Gajah Kalimantan mengingatkan kita akan pentingnya melestarikan spesies ini agar tidak bernasib seperti gajah jawa. Kasihan gajah pigmy nan lucu ini harus punah dari Indonesia.

Gajah sebagai Simbol Keagungan Raja-Raja Jawa

Gajah memiliki tempat istimewa dalam tradisi kerajaan Jawa. Mereka menjadi lambang kekuatan, kemewahan, dan kebijaksanaan raja.

Dalam berbagai catatan sejarah, gajah sering dijadikan kendaraan atau pendamping raja saat parade dan upacara kerajaan. Keberadaan gajah di istana menegaskan status kerajaan sebagai pusat kekuasaan yang tak tertandingi.

Lukisan Gajah sebagai kendaraan perang Kerajaan di Jawa (sumber gambar: Perpustakaan Pura Pakualaman/Mongabay.co.id)
Lukisan Gajah sebagai kendaraan perang Kerajaan di Jawa (sumber gambar: Perpustakaan Pura Pakualaman/Mongabay.co.id)

Pada masa Mataram Kuno (Medang) hingga Mataram Islam, gajah dipelihara oleh kerajaan-kerajaan besar. Bahkan, Keraton Yogyakarta hingga kini masih memelihara gajah meskipun sekarang gajahnya sudah tidak ada lagi di alun-alun kidul Yogyakarta. Gajah masih sebagai simbol keagungan, meskipun bukan gajah jawa lagi.

 Gajah turut andil pada Grebeg Besar Kesultanan Yogyakarta (sumber gambar: VIVA/Daru Waskita)
 Gajah turut andil pada Grebeg Besar Kesultanan Yogyakarta (sumber gambar: VIVA/Daru Waskita)

Relief-relief pada Candi Borobudur juga menggambarkan gajah, menunjukkan bahwa makhluk besar ini pernah menjadi bagian dari kehidupan di tanah Jawa.

Relief Candi Borobudur Gajah menjadi tunggangan Raja Medang (sumber gambar: N.J. Krom/mongabay.co.id)
Relief Candi Borobudur Gajah menjadi tunggangan Raja Medang (sumber gambar: N.J. Krom/mongabay.co.id)

Apakah Gajah Membantu Pembangunan Candi Borobudur?

Candi Borobudur, mahakarya arsitektur dunia, dibangun pada masa Dinasti Syailendra sekitar abad ke-8 hingga ke-9. Meski tidak ada bukti langsung bahwa gajah digunakan dalam pembangunan candi ini, keberadaan mereka di Jawa pada masa itu membuka kemungkinan bahwa gajah membantu mengangkut batu-batu besar. 

Mengingat kekuatan dan ketahanan gajah, mereka mungkin memainkan peran penting dalam proyek monumental seperti Borobudur, meskipun rincian pastinya belum terungkap.

Pesan dari Jejak Gajah Jawa

Hilangnya gajah dari Pulau Jawa mengajarkan kita pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan manusia dan kelestarian alam. Gajah adalah simbol keharmonisan, kekuatan, dan kebijaksanaan. Ketidakhadiran mereka di tanah Jawa mengingatkan kita akan tanggung jawab besar terhadap spesies lain dan lingkungan.

Hari ini, Gajah sumatra terus menghadapi ancaman yang sama: kehilangan habitat, konflik dengan manusia, dan perburuan. Jangan sampai nasib mereka mengikuti jejak gajah jawa yang kini hanya menjadi cerita masa lalu. Konservasi bukan sekadar menyelamatkan spesies, tetapi juga menjaga warisan budaya dan ekosistem.

Seperti yang pernah di liput oleh NatGeo Indonesia di kanal Youtube nya


Gajah Jawa yang kini hanya dapat kita temukan dalam catatan sejarah dan ilustrasi masa lalu menjadi pengingat bahwa tanpa upaya perlindungan yang serius, nasib serupa dapat menimpa gajah-gajah lain di Indonesia. 

Dahulu, Gajah Jawa hidup berdampingan dengan manusia, menjelajahi hutan-hutan lebat di Jawa, namun kini wujudnya hanya tersisa dalam buku dan lukisan. 

Kehilangannya bukan sekadar lenyapnya satu spesies, melainkan juga hilangnya keseimbangan ekosistem yang telah terbentuk selama berabad-abad. 

Jika kita tidak segera bertindak untuk melindungi gajah Sumatera dan Kalimantan dari perburuan liar serta perusakan habitat, maka generasi mendatang hanya akan mengenal mereka sebagai kisah masa lalu, tanpa pernah melihat keagungan mereka secara langsung. 

Oleh karena itu, mari kita jadikan sejarah Gajah Jawa sebagai pelajaran berharga agar tidak ada lagi spesies yang hanya bisa dikenang dalam gambar dan tulisan, melainkan tetap hidup sebagai bagian dari kekayaan alam Indonesia. 

Jika kita tidak berubah, gajah liar yang kini hidup di hutan Indonesia saat ini mungkin hanya akan menjadi cerita Sejarah dan dongeng bagi generasi mendatang.

Mari kita jaga dan lindungi gajah, bukan hanya sebagai simbol keagungan masa lalu, tetapi sebagai bagian penting dari masa depan kita bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun