Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Penggiat Sejarah

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bung Tomo: Orator Pertempuran Surabaya yang Di Penjara Soeharto

21 Januari 2025   13:12 Diperbarui: 21 Januari 2025   13:21 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Tomo  (sumber: Gramedia)

Surabaya, kota pahlawan, menyimpan satu nama yang terus berkibar di dalam ingatan bangsa: Sutomo, atau yang lebih kita kenal sebagai Bung Tomo. Dalam gejolak sejarah Indonesia, ia bukan sekadar seorang tokoh. Bung Tomo adalah api yang menyala di tengah kegelapan, menggugah semangat perjuangan rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk melawan kolonialisme dengan keberanian yang tak tergoyahkan.

Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920, Bung Tomo tumbuh dengan nilai-nilai kebangsaan yang kuat. Sosoknya mungkin tak besar secara fisik, tetapi ia memiliki senjata yang jauh lebih tajam dari pedang: Suaranya. 

Suara yang menyihir, menggelorakan semangat, dan menyatukan hati. 

Pada 10 November 1945, ketika para pemuda dan pejuang di Surabaya berhadapan dengan kekuatan kolonial Inggris yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, Bung Tomo hadir di garis depan dengan orasinya yang menggetarkan.

"Merdeka atau Mati!"

teriaknya dengan penuh keyakinan. Bagi Bung Tomo, perjuangan bukan hanya tentang senjata, melainkan tentang keyakinan, keberanian, dan pengorbanan demi martabat bangsa. Ia memahami bahwa jiwa yang tak gentar lebih berharga daripada peluru yang melesat di medan perang.

Namun, perjalanan Bung Tomo tidak selalu mulus. Pasca perjuangan fisik melawan penjajahan, Bung Tomo menghadapi tantangan baru di era kemerdekaan. Sejarah mencatat babak suram dalam kehidupannya.  Sosok yang dikenal sebagai orator pengobar semangat arek-arek Surabaya ini harus mendekam di penjara karena kritiknya terhadap pemerintahan Orde Baru. 

Pada tahun 1978, Bung Tomo secara terang-terangan memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Siti Hartinah (Bu Tien), istri Presiden Soeharto.

Saat itu, Bung Tomo menerima informasi bahwa para pengusaha diminta untuk menyisihkan 10 persen keuntungan mereka demi membiayai proyek TMII. Bung Tomo tidak tinggal diam. Dalam setiap pidatonya, ia menyampaikan kritik tajam, mempertanyakan kebijakan yang dianggap tidak memihak rakyat kecil. 

Kritik itu pun dianggap subversif. Pada 11 April 1978, Bung Tomo ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Nirbaya, Pondok Gede, tanpa melalui proses pengadilan. Bersamanya, turut ditahan pakar hukum tata negara Ismail Sunny yang juga dikenal kritis terhadap kebijakan Orde Baru.

Namun, kritik Bung Tomo tidak berhenti pada isu TMII. Sebelumnya, ia juga lantang mengkritik peran asisten pribadi Presiden Soeharto, seperti Ali Moertopo dan Sudjono Humardani, yang dianggap memberikan ruang besar bagi praktik nepotisme dan "cukongisme" melalui dominasi ekonomi oleh para pengusaha nonpribumi. 

Pada tahun 1972, Bung Tomo dalam sebuah wawancara dengan Majalah Panji Masyarakat, dengan judul "Bung Tomo Menggugat": "Pengorbanan Pahlawan Kemerdekaan dan Semangat 10 November 1945 telah dikhianati".

Kritiknya menyasar Presiden Soeharto, Gubernur Ali Sadikin, dan Bulog yang dianggap menganakemaskan etnis tertentu, menciptakan kesenjangan yang semakin lebar.

Akibat keberaniannya menyuarakan kebenaran, Bung Tomo harus mendekam di tahanan selama satu tahun, dari 1978 hingga 1979. Ironisnya, seorang pahlawan yang telah berjuang mengorbankan jiwa dan raganya demi bangsa justru harus dipenjara di negara yang ia bela.

Meski demikian, Bung Tomo tetap menjadi simbol keberanian dan suara hati nurani bangsa. Ia wafat pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, saat menunaikan ibadah haji. Sebuah akhir yang khidmat bagi seorang pejuang yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk tanah air dan keyakinannya.

Pesan untuk Pemerintah Saat Ini

Bung Tomo mengingatkan kita bahwa kekuatan bangsa terletak pada keberanian para pemimpinnya untuk mendengarkan rakyat dan menegakkan keadilan. Pemerintah saat ini perlu belajar dari keberanian Bung Tomo: memprioritaskan kepentingan rakyat, menjauhkan diri dari praktik nepotisme, dan menjaga amanah kekuasaan.

Jangan biarkan jerih payah para pahlawan menjadi sia-sia. Kritik dan perbedaan pandangan seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai pengingat untuk terus berpihak pada keadilan. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar berjuang untuk rakyat, dan siapa yang hanya mementingkan dirinya sendiri.

Bung Tomo mengajarkan bahwa suara kebenaran tidak akan pernah padam, meski dihadapkan pada rintangan sebesar apa pun. Saat ini, kita memikul tanggung jawab untuk menjaga api semangat itu tetap menyala, demi Indonesia yang lebih adil dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun