Surabaya, kota pahlawan, menyimpan satu nama yang terus berkibar di dalam ingatan bangsa: Sutomo, atau yang lebih kita kenal sebagai Bung Tomo. Dalam gejolak sejarah Indonesia, ia bukan sekadar seorang tokoh. Bung Tomo adalah api yang menyala di tengah kegelapan, menggugah semangat perjuangan rakyat Surabaya dan sekitarnya untuk melawan kolonialisme dengan keberanian yang tak tergoyahkan.
Lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920, Bung Tomo tumbuh dengan nilai-nilai kebangsaan yang kuat. Sosoknya mungkin tak besar secara fisik, tetapi ia memiliki senjata yang jauh lebih tajam dari pedang: Suaranya.Â
Suara yang menyihir, menggelorakan semangat, dan menyatukan hati.Â
Pada 10 November 1945, ketika para pemuda dan pejuang di Surabaya berhadapan dengan kekuatan kolonial Inggris yang jauh lebih unggul dalam persenjataan, Bung Tomo hadir di garis depan dengan orasinya yang menggetarkan.
"Merdeka atau Mati!"
teriaknya dengan penuh keyakinan. Bagi Bung Tomo, perjuangan bukan hanya tentang senjata, melainkan tentang keyakinan, keberanian, dan pengorbanan demi martabat bangsa. Ia memahami bahwa jiwa yang tak gentar lebih berharga daripada peluru yang melesat di medan perang.
Namun, perjalanan Bung Tomo tidak selalu mulus. Pasca perjuangan fisik melawan penjajahan, Bung Tomo menghadapi tantangan baru di era kemerdekaan. Sejarah mencatat babak suram dalam kehidupannya. Â Sosok yang dikenal sebagai orator pengobar semangat arek-arek Surabaya ini harus mendekam di penjara karena kritiknya terhadap pemerintahan Orde Baru.Â
Pada tahun 1978, Bung Tomo secara terang-terangan memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang digagas oleh Siti Hartinah (Bu Tien), istri Presiden Soeharto.
Saat itu, Bung Tomo menerima informasi bahwa para pengusaha diminta untuk menyisihkan 10 persen keuntungan mereka demi membiayai proyek TMII. Bung Tomo tidak tinggal diam. Dalam setiap pidatonya, ia menyampaikan kritik tajam, mempertanyakan kebijakan yang dianggap tidak memihak rakyat kecil.Â
Kritik itu pun dianggap subversif. Pada 11 April 1978, Bung Tomo ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Nirbaya, Pondok Gede, tanpa melalui proses pengadilan. Bersamanya, turut ditahan pakar hukum tata negara Ismail Sunny yang juga dikenal kritis terhadap kebijakan Orde Baru.