Terima Kasih sudah mengklik dan mau membaca artikel blog ini. Kali ini Saya akan bagikan cerita tentang bagaimana para Dalang Cilik belajar mendalang Wayang Kulit serta belajar menabuh gamelan di Sanggar Dhemes, sampai kedatangan Mahasiswi cantik dari Jepang. Simak ulasannya
Sanggar Dhemes, sebuah sanggar seni yang lahir dari kecintaan mendalam seorang dalang, Ki Wiji Santoso, terhadap seni wayang kulit. Perjalanan mendirikan sanggar ini dimulai dari semangat masa kecil Ki Wiji yang sudah terpikat oleh alunan gamelan dan kisah-kisah wayang. Baginya, seni pedalangan bukan sekadar hiburan, tetapi warisan luhur bangsa yang harus terus hidup di tengah arus modernisasi.
Sanggar Dhemes terletak di Perumahan Rejosari Makmur Blok R nomor 14 Rt.04/Rw.01, Kelurahan Rejosari, Â Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo.
Setiap di akhir pekan, para siswa "Dalang Cilik" datang dengan penuh semangat, siap untuk belajar mendalang dan memainkan gamelan. Siswa yang belajar di Sanggar Dhemes usia nya mulai dari usia 5-17 tahun, dengan berbagai latar belakang yang berbeda.
Di awal mereka ingin belajar mendalang, Ki Wiji Santoso memperkenalkan dasar-dasar seni pedalangan. Mulai dari cara memegang wayang, mengenal tokoh-tokoh wayang berikut sifat-sifatnya, hingga mempelajari alat-alat penunjang seperti kepyak, cempolo, dan dhodogan. Materi pengajaran menggunakan naskah sederhana yang ditulis langsung oleh Ki Wiji, dengan lakon-lakon menarik seperti Gathutkaca Jedi, Wahyu Cakraningrat, hingga Srikandhi Meguru Manah.
Setelah memahami dasar-dasarnya, para siswa melangkah ke tahap yang lebih seru: memainkan wayang di kelir. Setiap siswa diberikan naskah sesuai tingkat kemampuannya, dengan durasi pementasan yang sengaja dibuat singkat, antara 25 hingga 60 menit. Pendekatan ini memudahkan anak-anak untuk menghafal dialog dan memahami karakter setiap tokoh.
Salah satu momen berkesan di sanggar ini adalah ketika Ki Wiji mengajak siswa maju ke depan untuk mempresentasikan apa yang telah mereka pelajari. Dalam suasana hangat dan penuh dukungan, mereka membaca naskah, mempraktikkan intonasi, dan mencoba menjiwai tokoh-tokoh wayang yang dimainkan. Dengan sabar, Ki Wiji memberikan masukan dan contoh, memastikan setiap siswa merasa percaya diri untuk terus belajar.
Selain seni mendalang, Sanggar Dhemes juga menawarkan pelatihan karawitan. Para siswa diajarkan memainkan berbagai alat musik gamelan, mulai dari kenong, bonang, kendang, gong, hingga siter dan suling Jawa. Dengan menggunakan laras slendro dan pelog, gamelan ini menjadi pengiring setia dalam pementasan wayang kulit, hingga tari-tarian tradisional. Latihan karawitan untuk mengiringi temannya yang sedang belajar mendalang ini di buat untuk membangun rasa kebersamaan dan keselarasan setiap siswa.
Pembelajaran di Sanggar Dhemes tidak terikat kurikulum formal. Ki Wiji menerapkan pendekatan "merdeka belajar," yang memungkinkan siswa belajar dengan tempo mereka sendiri. Metode ini memberikan kebebasan untuk bereksplorasi dan menemukan keunikan masing-masing siswa dalam seni mendalang.
Uniknya siswa yang menjadi Dalang Cilik di Sanggar Dhemes ini ada seorang anak perempuan, namanya Mbak Prames yang tak lain anaknya Ki Wiji Santoso sendiri. Meskipun seorang anak perempuan tapi piawai dalam memainkan wayang layaknya dalang pada umumnya.
Dengan adanya seorang dalang perempuan ini akan menjadi sejarah baru di dunia perdalangan di tanah air. Bayangkan di sebuah pargelaran wayang kulit, tetapi yang memainkan seorang perempuan. Pasti akan menarik dan memberi nuansa baru saat menonton pertunjukkan wayang kulit.
Sanggar Dhemes bukan hanya tempat belajar, melainkan ruang untuk menumbuhkan cinta terhadap budaya. Di sini, anak-anak tidak hanya diajari tentang teknik, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni wayang kulit. Melalui usaha tanpa henti, Ki Wiji Santoso memastikan bahwa tradisi ini tetap hidup dan berkembang di tangan generasi selanjutnya.
Tak hanya dari Indonesia yang ingin belajar mengenal wayang, ada Mahasiswi asal Jepang yang datang  menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap seni dan budaya Indonesia dengan mengunjungi Sanggar Dhemes, Kunjungan ini menjadi bagian dari upayanya untuk tidak hanya mengenal, tetapi juga mempelajari seni wayang dan karawitan secara langsung.
Kakak Hinami namanya, seorang mahasiswi pertukaran pelajar dan magang mengajar Bahasa Jepang di SMAN 3 Sukoharjo. Setelah mengaggumi kecantikan Kak Hinami. Kita lanjut bagaimana peran Sanggar Dhemes mengajarkan nilai moral kehidupan.
Sanggar Dhemes juga menanamkan nilai-nilai moral melalui materi lakon tertentu, seperti kisah "Jaka Lima." Dalam cerita ini, murid diajarkan pentingnya ketaatan, kerja keras, dan nilai kehidupan melalui tokoh protagonis Pandawa dan antagonis Kurawa. Pandawa digambarkan sebagai sosok yang tekun belajar, taat pada guru mereka, Begawan Durna, serta menghormati ibunya, Dewi Kunti.Â
Sebaliknya, Kurawa sering digambarkan sebagai kelompok yang malas, tidak taat, dan berencana licik untuk menggagalkan Pandawa. Pada ujian akhir, Kurawa gagal karena sifat buruk mereka, sementara Pandawa lulus berkat ketaatan dan perjuangan mereka. Cerita ini mengajarkan murid bahwa keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kecukupan materi, tetapi juga oleh integritas dan sikap moral.
Pembelajaran di Sanggar Dhemes juga mengajarkan bahwa belajar mendalang bukan semata-mata untuk menjadi seorang dalang profesional, tetapi sebagai bekal hidup. Setiap sesi pertemuan dirancang untuk memberikan wawasan baru, baik dalam hal pengetahuan wayang, iringan gamelan, maupun kreativitas dalam mengolah cerita (sanggit). Dengan pendekatan ini, murid tidak hanya belajar seni pertunjukan, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Sanggar Dhemes secara rutin menyelenggarakan pagelaran wayang kulit tahunan setiap tanggal 25 Agustus, yang bertepatan dengan hari lahir sanggar. Selain itu, pagelaran juga diadakan pada momen-momen penting, seperti Hari Wayang Nasional dan Hari Kemerdekaan Indonesia. Kegiatan ini melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo, PEPADI Sukoharjo, serta dosen seni pedalangan dari ISI Surakarta. Pagelaran tersebut juga menjadi kesempatan untuk mengadakan ujian praktik bagi dalang cilik dalam memainkan wayang kulit.
Kegiatan yang dilakukan oleh Sanggar Dhemes tidak hanya berorientasi pada hiburan semata, tetapi juga pada pengembangan potensi seni tradisi. Program-program yang diselenggarakan bertujuan untuk memastikan bahwa tradisi, properti seni, dan regenerasi pelaku seni dapat terus berlanjut ke generasi berikutnya. Sanggar Dhemes merancang dan menjalankan program-programnya, serta mengevaluasi efektivitas kerja sama yang telah dilakukan dalam melestarikan seni wayang kulit di tengah tantangan modernisasi.
Melalui Sanggar Dhemes, Ki Wiji ingin agar anak-anak muda, terutama yang belum mengenal seni wayang, dapat mengapresiasi dan menguasai seni tradisional. Karena di dalam seni dan budaya adalah sebagai cermin dari kehidupan sosial, politik, dan moral suatu bangsa yang relevan hingga saat ini.
Terima kasih sudah membacanya sampai akhir.Â
Terima kasih atensi & kunjungannya. Salam sehat selalu
Galeri foto kegiatan di Sanggar Dhemes Â
                     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H