Metode ini memberikan kebebasan untuk bereksplorasi dan menemukan keunikan masing-masing siswa dalam seni mendalang.
Uniknya siswa yang menjadi Dalang Cilik di Sanggar Dhemes ini ada seorang anak perempuan, namanya Mbak Prames yang tak lain anaknya Ki Wiji Santoso sendiri. Meskipun seorang anak perempuan tapi piawai dalam memainkan wayang layaknya dalang pada umumnya.
Dengan adanya seorang dalang perempuan ini akan menjadi sejarah baru di dunia perdalangan di tanah air. Bayangkan di sebuah pargelaran wayang kulit, tetapi yang memainkan seorang perempuan. Pasti akan menarik dan memberi nuansa baru saat menonton pertunjukkan wayang kulit.
Sanggar Dhemes bukan hanya tempat belajar, melainkan ruang untuk menumbuhkan cinta terhadap budaya. Di sini, anak-anak tidak hanya diajari tentang teknik, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam seni wayang kulit.
Melalui usaha tanpa henti, Ki Wiji Santoso memastikan bahwa tradisi ini tetap hidup dan berkembang di tangan generasi selanjutnya.
Tak hanya dari Indonesia yang ingin belajar mengenal wayang, ada Mahasiswi asal Jepang yang datang menunjukkan ketertarikan yang mendalam terhadap seni dan budaya Indonesia dengan mengunjungi Sanggar Dhemes, Kunjungan ini menjadi bagian dari upayanya untuk tidak hanya mengenal, tetapi juga mempelajari seni wayang dan karawitan secara langsung.
Kakak Hinami namanya, seorang mahasiswi pertukaran pelajar dan magang mengajar Bahasa Jepang di SMAN 3 Sukoharjo. Setelah mengaggumi kecantikan Kak Hinami. Kita lanjut bagaimana peran Sanggar Dhemes mengajarkan nilai moral kehidupan.
Sanggar Dhemes juga menanamkan nilai-nilai moral melalui materi lakon tertentu, seperti kisah "Jaka Lima." Dalam cerita ini, murid diajarkan pentingnya ketaatan, kerja keras, dan nilai kehidupan melalui tokoh protagonis Pandawa dan antagonis Kurawa.
Pandawa digambarkan sebagai sosok yang tekun belajar, taat pada guru mereka, Begawan Durna, serta menghormati ibunya, Dewi Kunti.Â