Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia pernah menjadi contoh dalam hal mengelola ketahanan pangan, khususnya beras. Program swasembada beras yang dicanangkan berhasil membawa Indonesia ke puncak kejayaan pada tahun 1984, saat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memberikan penghargaan atas keberhasilan ini.
Keberhasilan tersebut tidak hanya memberikan inspirasi bagi negara-negara lain, tetapi juga membuka jalan bagi India, Thailand, dan Vietnam untuk belajar dari pengalaman Indonesia.India, Thailand, dan Vietnam adalah tiga negara yang kini dikenal sebagai raja beras dunia. Pada era 1970-an hingga 1980-an, mereka menghadapi tantangan serupa dengan Indonesia: produksi beras yang belum mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Namun, dengan mengadopsi pendekatan teknologi pertanian, mekanisasi, dan kebijakan subsidi "ala Indonesia" waktu itu, sekarang mereka berhasil mengembangkan & melampaui sektor pertanian hingga kini menjadi eksportir beras terbesar. Ironisnya, negara yang dulu belajar dari Indonesia kini menjadi pemasok beras bagi kita.
Setelah era swasembada beras, berbagai tantangan muncul di Indonesia. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, urbanisasi yang masif, dan penurunan minat generasi muda terhadap pertanian menjadi penyebab utama turunnya produktivitas beras.Â
Kebijakan pertanian yang tidak konsisten dari pemerintahan ke pemerintahan juga memperburuk situasi. Akibatnya, Indonesia yang dahulu mampu memenuhi kebutuhan beras sendiri kini menjadi pengimpor beras, bahkan dari negara yang dulunya belajar dari kita.
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan beberapa negara pengekspor beras saat ini yang membatasi ekspornya untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri mereka, Karena situasi global serta perubahan iklim. Tantangan ini menjadi alarm bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah strategis demi mengamankan kebutuhan pangan dalam negeri.Â
Sebenarnya beberapa langkah telah diambil antara lain menggenjot produksi melalui program food estate, penyediaan bibit unggul, dan pengembangan irigasi modern. Namun, diharapkan Pemerintah lebih giat memberikan insentif bagi petani serta mendorong penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas.
Masalah terbesar yang turut memperparah keadaan adalah adanya mafia beras yang memanfaatkan celah dalam sistem distribusi. Harga beras lokal sering kali kalah saing karena harga beras impor yang lebih murah, akibat permainan para tengkulak dan oknum tertentu.Â
Mereka mengendalikan rantai pasokan sehingga petani hanya dapat menjual hasil panennya dengan harga rendah, sementara harga beras di pasaran tetap tinggi. Kondisi ini membuat petani sulit sejahtera, meski mereka adalah garda terdepan dalam ketahanan pangan. Ditambah lagi, harga pupuk yang mahal dan sulitnya mendapatkan pupuk berkualitas dari pemerintah semakin membebani petani kecil.