Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... Lainnya - Penggiat Sejarah

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tamansiswa: Pengajaran Humanis dari Ki Hajar Dewantara

12 Januari 2025   21:27 Diperbarui: 13 Januari 2025   20:52 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana upacara Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Perguruan Taman Siswa, Yogyakarta (2/5/2018). (Kompas/Ferganata Indra Riatmoko) 

Dalam sejarah pendidikan Indonesia, nama Tamansiswa adalah sebuah jejak yang tak lekang oleh waktu.

Didirikan pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hajar Dewantara, Tamansiswa bukan sekadar lembaga pendidikan; ia adalah perwujudan dari mimpi besar: menciptakan generasi bangsa yang merdeka, baik secara pikiran, jiwa, maupun karakter.

Di tengah penjajahan yang mencekik kebebasan, Taman Siswa hadir sebagai oase yang membebaskan manusia Indonesia dari belenggu sistem pendidikan kolonial yang hanya melayani segelintir elit.

Pada masa penjajahan, sistem pendidikan kolonial dikenal sebagai materialistik, individualistik, dan intelektualistik. Pendidikan kala itu tidak dirancang untuk membangun karakter manusia seutuhnya, melainkan lebih bertujuan mendukung kepentingan politik dan ekonomi penjajah.

Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan nasional, menentang keras pendekatan ini. Baginya, pendidikan harus humanis dan populis, mengedepankan prinsip “memayu hayuning bawana” menjaga harmoni dan kedamaian dunia.

Ki Hajar Dewantara, dengan penuh kelembutan dan kejernihan pandangan, memandang pendidikan sebagai alat pembebasan. Ia percaya bahwa setiap anak adalah pribadi yang unik, yang tumbuh sesuai kodratnya masing-masing.

Prinsip yang ia usung dalam sistem pengajaran Tamansiswa pun sangat humanis: "Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani." 

Metode pengajaran Tamansiswa mengutamakan pendekatan yang selaras dengan kehidupan sehari-hari. Belajar tidak hanya tentang hafalan atau sekadar mengejar nilai akademik, tetapi juga memahami kehidupan, budaya, dan lingkungan.

Dalam suasana yang hangat dan egaliter, murid diajak untuk berdialog, berpikir kritis, dan mengenali potensi diri mereka. Tidak ada jarak yang kaku antara guru dan murid; keduanya saling menghormati sebagai sesama manusia yang belajar.

Nilai-nilai ini menjadi cerminan dari semangat kebangsaan yang melekat dalam pendidikan Tamansiswa.

Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin deras, pesan dari Tamansiswa tetap relevan: pendidikan harus membentuk manusia yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan berbudaya.

Dalam dunia yang penuh tantangan, kita membutuhkan generasi yang mampu berpikir mandiri, memiliki empati, dan berakar kuat pada nilai-nilai luhur bangsa.

Lantas, bagaimana semangat Tamansiswa ini bisa kita terapkan dalam pendidikan Indonesia saat ini? 

Pertama, kita perlu menghidupkan kembali suasana belajar yang penuh dengan dialog dan rasa hormat. Guru tidak lagi sekadar menjadi penyampai materi, melainkan pembimbing yang menginspirasi.

Kedua, kurikulum pendidikan harus lebih fleksibel dan kontekstual, memungkinkan murid untuk belajar dari pengalaman nyata dan mengembangkan kreativitas mereka.

Ketiga, penting bagi kita untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan sebagai inti dari proses pendidikan. 

Gedung Tamansiswa Yogyakarta (sumber: ugm.ac.id)
Gedung Tamansiswa Yogyakarta (sumber: ugm.ac.id)

Tamansiswa menerapkan model among dalam pengajarannya. Metode pendidikannya ini merupakan gabungan perspektif Barat dengan budaya nasional. 

Meski demikian, Taman Siswa tidak mengajarkan kurikulum pemerintah Hindia Belanda. Karena mengusung nasionalisme Indonesia itulah, pemerintah kolonial Belanda berupaya merintangi Tamansiswa dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Namun, Ki Hajar Dewantara gigih memperjuangkan haknya hingga ordonansi itu dicabut.

Metode among ini terinspirasi dari sistem pendidikan Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India.

Kedua sistem tersebut menekankan pentingnya peran guru sebagai panutan dan pembimbing. Montessori, misalnya, mengajarkan pentingnya memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi lingkungan mereka sendiri, dengan bimbingan minimal dari guru.

Dalam konteks ini, guru berperan sebagai fasilitator yang menyediakan alat bantu pembelajaran dan memberikan dorongan saat dibutuhkan. Contohnya, dalam pembelajaran membaca, anak-anak diberikan kartu-kartu huruf dan diajak menyusun kata secara mandiri.

Di sisi lain, Rabindranath Tagore memadukan pendidikan dengan seni dan alam. Sistem ini menekankan pentingnya mengasah kreativitas dan jiwa anak melalui kegiatan seperti melukis, bernyanyi, dan mengamati alam.

Guru dalam sistem ini tidak hanya mengajar di dalam kelas, tetapi juga mengajak siswa belajar di luar ruangan, membangun hubungan langsung dengan lingkungan sekitar.

Sebagai contoh, pelajaran tentang fotosintesis tidak hanya diajarkan melalui buku, tetapi juga dengan mengamati langsung proses tumbuhan yang terkena sinar matahari.

Ki Hajar Dewantara mengadaptasi elemen-elemen ini dan merumuskan tiga prinsip dasar dalam pendidikan: "Ing ngarsa sung tulada" (di depan memberi teladan), "Ing madya mangun karsa" (di tengah membangun semangat), dan "Tut wuri handayani" (di belakang memberikan dorongan).

Prinsip-prinsip ini menempatkan guru sebagai figur sentral yang tidak hanya memberikan instruksi, tetapi juga menginspirasi dan memotivasi siswa melalui tindakan nyata.

Misalnya, dalam kegiatan sosial seperti kerja bakti, guru turut terlibat aktif untuk memberi contoh kepada siswa, sambil mendorong mereka untuk bekerja sama dan menyelesaikan secara bersama-sama.

Prinsip "Tut Wuri Handayani" bahkan diabadikan sebagai semboyan pendidikan nasional Indonesia, mencerminkan pentingnya peran guru dalam mendukung perkembangan siswa secara holistik.

Dengan pendekatan ini, Ki Hajar Dewantara tidak hanya menciptakan sistem pendidikan yang unik dan relevan bagi bangsa Indonesia, tetapi juga meletakkan dasar bagi pendidikan yang lebih humanis dan demokratis.

Ki Hajar Dewantara memperkenalkan sistem pendidikan yang bersifat pamong: mendidik dengan membimbing, bukan memerintah.

Dalam sistem ini, guru berperan sebagai pembimbing yang mengarahkan, memberikan teladan, dan membangun semangat siswa tanpa paksaan atau tekanan.

Ki Hajar Dewantara percaya bahwa hubungan antara guru dan murid haruslah seperti hubungan orang tua dengan anak, penuh kasih sayang dan kepercayaan.

Misalnya, jika seorang siswa kesulitan memahami pelajaran, guru dalam sistem pamong tidak akan memarahi atau menghukum, melainkan akan mendampingi siswa tersebut, mencari metode yang lebih mudah dipahami, dan memberikan dorongan moral agar siswa merasa percaya diri untuk belajar.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran matematika, seorang guru pamong tidak akan sekadar memberikan soal dan menuntut siswa menyelesaikannya tanpa penjelasan. 

Sebaliknya, guru akan memberikan konteks nyata, seperti menggunakan permainan atau cerita yang melibatkan konsep matematika. Jika seorang siswa membuat kesalahan, guru akan membantu mereka memahami letak kesalahan tersebut tanpa mencela, sambil memberikan motivasi untuk mencoba kembali.

Sistem pamong juga diterapkan dalam kegiatan di luar kelas. Misalnya, dalam kegiatan pramuka atau kerja kelompok, guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa untuk berkolaborasi dan menemukan solusi bersama, bukan sebagai pemimpin otoriter yang mendikte langkah-langkah yang harus diambil.

Dengan pendekatan ini, siswa diajarkan untuk bertanggung jawab atas keputusan mereka sendiri dan mampu berpikir secara mandiri.

Pendidikan tidak boleh menjadi mesin yang hanya mencetak pekerja, tetapi harus menjadi jalan untuk menciptakan manusia seutuhnya.

Tamansiswa mengajarkan kita bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Dengan memelihara semangat ini, kita dapat membangun generasi yang tidak hanya mampu bersaing di tingkat global, tetapi juga berkontribusi untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Mari bersama-sama belajar dari Ki Hajar Dewantara: mendidik dengan hati, membimbing dengan teladan, dan membebaskan jiwa-jiwa muda untuk terbang setinggi-tingginya, tanpa kehilangan akar mereka. Inilah warisan Tamansiswa yang tak ternilai, yang akan terus menjadi lentera bagi pendidikan Indonesia.

Tantangan Guru dalam Sistem Pendidikan Modern

Menjadi Guru di Indonesia memang tak mudah. Dalam praktik pendidikan masa kini, sering kali penilaian terhadap guru lebih banyak berfokus pada administrasi, seperti penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Beban administratif ini kerap membuat guru kehilangan fokus pada esensi mengajar. Meski sudah ada RPP Inspiratif, tapi sebagian Guru masih kesulitan atau malah hanya fokus membikin RPP yang bagus saja.

Padahal, keberhasilan pendidikan seharusnya diukur dari kemampuan guru dalam menyampaikan materi dengan cara yang mudah dipahami oleh siswa, bukan sekadar dari kelengkapan dokumen.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membangun karakter, memberikan pemahaman, dan membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis.

Sejalan dengan visi Ki Hajar Dewantara, pendidikan seharusnya mengutamakan bimbingan dan pengembangan potensi setiap individu, bukan hanya sekadar penegakan aturan dan pemberian sanksi.

Dengan demikian, pendidikan di Indonesia dapat benar-benar menjadi sarana untuk menciptakan generasi pemimpin yang cerdas, berbudaya, dan berintegritas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun