Kopi, minuman yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, memiliki sejarah panjang yang dalam perjalanannya terjadinya eksploitasi, revolusi, dan lahirnya ide-ide besar. Salah satu kisah yang menarik adalah bagaimana "Java," nama pulau di Indonesia, menjadi sinonim atau slang dari kata "coffe" atau kopi. Perjalanan ini tak lepas dari peran kolonialisme, penderitaan rakyat, dan semangat pembaruan yang mengguncang dunia.
Sejarah kopi hingga masuk ke Nusantara
Sejarah kopi diyakini bermula dari Abyssinia, wilayah yang kini mencakup Ethiopia dan Eritrea. Orang Arab menamai kopi "Qahwa" karena khasiatnya yang memberi energi. Mereka juga menjadi yang pertama membawa kopi keluar dari Abyssinia ke Yaman, sekaligus memonopoli perdagangannya. Pelabuhan Mocha di Yaman menjadi pusat utama perdagangan kopi, sehingga orang Eropa menyebut kopi sebagai "mocha." Namun, tanah Arab bukan satu-satunya ladang subur bagi kopi. Pada abad ke-17, bangsa Eropa mulai mencoba menanam kopi sendiri, tetapi usaha mereka gagal karena iklim Eropa tidak cocok.
Pada akhir abad ke-17, Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) mencari cara untuk memperkuat ekonominya. Mereka mendapatkan bibit kopi dari Mocha dan membawanya ke Nusantara. Pulau Jawa, dengan iklim tropisnya, dipilih sebagai tempat budidaya pertama. Kopi mulai ditanam di Priangan atau Parahyangan (Jawa Barat), dan hasil dari kopinya luar biasa. Kopi dari Jawa ini segera menjadi salah satu komoditas unggulan VOC dan mendapat reputasi tinggi di Eropa. Di sana, kopi Jawa dikenal sebagai "Java Coffee," yang kemudian populer dengan sebutan "a cup of Java." Di Perkebunan kopi di Indonesia, terutama pulau Jawa jenis kopi yang di tanam 80 persen ditanami Robusta, sekitar 17 persen ditanami Arabika, sebagian kecil sisanya ditanami Liberika dan Excelsa.
Dari Kopi muncul Pemikiran Revolusi dan Merdeka
Pada abad ke-18, kedai kopi menjadi pusat kehidupan intelektual di Eropa. Tempat ini bukan hanya sekadar tempat untuk minum kopi, tetapi juga ruang diskusi yang subur bagi ide-ide baru, mulai dari filsafat, seni, hingga politik. Kedai kopi menciptakan suasana yang kondusif bagi pertemuan para pemikir dan cendekiawan, yang haus akan pengetahuan serta pembaruan. Kopi dianggap sebagai minuman yang membangkitkan kesadaran, semangat, dan kejernihan berpikir. Para tokoh besar seperti Voltaire, Rousseau, dan Diderot sering kali menghabiskan waktu di kedai kopi untuk mendiskusikan konsep-konsep yang kelak mengguncang fondasi monarki Eropa dan melahirkan revolusi pemikiran.
Kopi dari Jawa menjadi komoditas kopi di Eropa sama seperti kopi dari daerah kolonial lain. Kopi Jawa, dengan cita rasa dan aroma khasnya, menjadi favorit di kalangan elit dan intelektual Eropa. "A cup of Java" bukan hanya sekadar minuman, melainkan simbol dari semangat pencerahan, kebebasan berpikir, dan keberanian untuk menghadapi perubahan. Di Prancis, kedai kopi seperti Caf de Procope tidak hanya dikenal sebagai tempat bersantai, tetapi juga menjadi pusat gerakan intelektual dan revolusioner. Ide-ide besar tentang kebebasan, persamaan, dan persaudaraan sering kali lahir di tengah perbincangan yang diselingi oleh aroma kuat kopi Jawa. Tidak mengherankan jika kedai kopi disebut-sebut sebagai "mesin pemikir" yang menggerakkan perubahan besar di Eropa, termasuk Revolusi Prancis.
Namun, di balik kejayaan kopi Jawa yang mendunia, tersimpan kisah kelam dari tanah Nusantara. Pada awal abad ke-19, karena krisis keuangan akibat Perang Jawa. Pemerintah kolonial Belanda melihat kopi masih menjadi komoditas utama, akhirnya memberlakukan sistem Cultuurstelsel atau tanam paksa, yang memaksa petani pribumi untuk menanam tanaman komersial seperti kopi, gula, dan nila di lahan mereka sendiri. Sistem ini menjadi beban berat bagi rakyat, yang sering kali dipaksa menyerahkan hasil panennya tanpa mendapatkan imbalan yang layak. Kelaparan dan kemiskinan menjadi kenyataan sehari-hari di banyak daerah, terutama di Priangan, yang menjadi pusat produksi kopi.
Di tengah penderitaan tersebut, muncul cerita unik tentang "kopi luwak" Karena larangan memetik biji kopi langsung dari pohon, para petani mulai mengumpulkan biji kopi yang telah dimakan dan dikeluarkan kembali oleh luwak, sejenis musang. Proses alami ini menghasilkan biji kopi yang difermentasi di dalam perut luwak, menciptakan rasa yang sangat khas dan halus. Siapa sangka, kopi yang dulunya dianggap sebagai alternatif bagi petani untuk menyiasati aturan kolonial, kini menjadi salah satu kopi termahal dan paling diminati di dunia. Kopi luwak menjadi simbol ketahanan dan kreativitas petani Jawa.