Indonesia hari ini adalah potret sebuah bangsa besar yang sedang menghadapi tantangan zaman. Dalam kebhinnekaannya, negeri ini penuh dengan warna-warna perbedaan mulai dari agama, budaya, suku, hingga ras. Namun, di tengah keindahan keberagaman itu, sering kali kita terjebak dalam jebakan emosi: kebencian yang membuat kita lupa pada keadilan, dan cinta berlebihan yang membuat kita kehilangan nalar.
Lihatlah dalam arena politik, misalnya. Kebencian terhadap sosok atau kelompok tertentu sering kali membuat kita menutup mata terhadap hal baik yang mereka lakukan. Kita begitu sibuk mencari celah untuk menjatuhkan, sehingga lupa menilai secara obyektif. Di sisi lain, cinta berlebihan pada pemimpin atau kelompok favorit sering kali membuat kita membenarkan apa pun yang mereka lakukan, bahkan ketika jelas-jelas salah.
Jangan sampai rasa cinta yang berlebihan pada tokoh atau partai tertentu membuat hubungan keluarga atau persahabatan renggang karena perbedaan pilihan. Ingat, politik seharusnya memperkuat persatuan, bukan memecah belah.
Dalam konteks sosial, hal serupa juga terjadi. Isu-isu seperti pembangunan, lingkungan, atau pendidikan sering kali diperdebatkan dengan emosi yang meluap-luap. Kebencian terhadap satu ide membuat kita menolak tanpa mencoba memahami esensinya. Sementara, kecintaan pada ide lain membuat kita menutup mata terhadap kelemahannya. Akibatnya, solusi yang diambil sering kali tidak berpijak pada kebutuhan nyata rakyat, melainkan pada dorongan perasaan yang sesaat.
Di tengah situasi ini, kalimat "jangan karena kebencian membuatmu berlaku tidak adil, dan jangan karena kecintaan membuatmu sesat pikir" adalah pengingat yang relevan dan mendalam. Sebagai bangsa, kita perlu menjaga rasionalitas di setiap keputusan dan penilaian. Bukan berarti kita harus menjadi dingin tanpa emosi, tetapi kita harus mampu mengendalikan perasaan agar tidak membutakan pandangan.
Sebagai contoh di sebuah diskusi tentang pembangunan ibu kota baru. Ada yang menolak mentah-mentah dengan alasan trauma terhadap kegagalan proyek besar di masa lalu. Di sisi lain, ada yang mendukung sepenuhnya tanpa mempertimbangkan potensi risiko bagi lingkungan dan masyarakat lokal. Keduanya adalah contoh bagaimana kebencian dan cinta bisa membuat seseorang tidak adil dan tidak rasional.
Sebagai sebuah bangsa, seharusnya pemerintah perlu melangkah lebih jauh dari sekadar pro dan kontra. Membutuhkan keberanian untuk menilai secara objektif: Apa manfaatnya? Apa risikonya? Apa langkah mitigasi yang perlu dilakukan? Dengan begitu, kebijakan yang diambil bukan hasil dari tekanan emosi, tetapi buah dari pemikiran yang jernih dan rasional.
Sebagai warga negara biasa, menyikapi dinamika politik Indonesia dengan sikap bijak dan kritis tanpa terjebak dalam ekstrem emosi memerlukan beberapa langkah:
1. Tetap Tenang dan Obyektif
- Jangan terlalu reaktif terhadap isu politik yang muncul. Hindari menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya.
- Evaluasi setiap kebijakan berdasarkan data dan fakta, bukan opini atau rumor yang beredar di media sosial.
2. Aktif Mencari Informasi yang Akurat
- Bacalah berita dari sumber terpercaya dan beragam, sehingga mendapat sudut pandang yang lebih lengkap.
- Pelajari isi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik manfaat maupun risikonya, sebelum berpendapat.