Di awal kemerdekaan, Indonesia berdiri dengan penuh harapan, tetapi juga dengan banyak keterbatasan. Kas negara nyaris kosong atau bahkan nol. Pada saat itu, Indonesia adalah negara muda yang sedang mencari pijakan di tengah berbagai ancaman, baik dari dalam maupun luar negeri. Infrastruktur hancur akibat perang, pelayanan publik hampir tidak ada, dan rakyat hidup dalam kemiskinan. Banyak yang tidak bisa mengakses pendidikan dan kesehatan karena pemerintah tidak memiliki cukup dana untuk membangun layanan ini.
Namun, bangsa ini memiliki satu kekuatan besar: solidaritas rakyatnya. Rakyat Aceh, contohnya, mengumpulkan emas untuk membantu membeli pesawat pertama Indonesia, Dakota RI-001 Seulawah, agar negara kita memiliki alat transportasi udara yang bisa digunakan untuk kepentingan nasional. Bahkan, untuk membangun Monumen Nasional (Monas) sebagai simbol kemerdekaan, emas yang menghias puncaknya juga berasal dari sumbangan rakyat Aceh.
Di masa itu, Kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Kasultanan Yogyakarta, Kesultanan Siak dan Kerajaan lainnya ikut menyumbangkan harta sampai sumber daya alamnya agar negeri ini punya modal untuk kuat berdiri menjadi negara besar, yang mampu melindungi, menjadi rumah serta mencari nafkah untuk rakyatnya. Di awal berdirinya negeri ini juga, para pengusaha-pengusaha, hingga rakyat biasa, ikut bahu-membahu menyumbangkankan apa yang ia punya untuk membantu negara. Mereka menyumbang bukan karena mereka kaya, melainkan karena cinta pada tanah air dan harapan bahwa Indonesia bisa bangkit dan berdiri di atas kakinya sendiri. Mereka percaya, apa yang mereka berikan untuk negara adalah investasi bagi masa depan anak cucu mereka.
Bayangkan, di tengah keterbatasan seperti itu, mereka tetap memberikan apa yang mereka miliki meski hidup sendiri sudah sulit. Ibu-ibu rela menjual perhiasan, petani memberikan sebagian hasil panennya, dan rakyat dari berbagai lapisan mendukung negara dengan segala yang bisa mereka berikan. Semua ini dilakukan dengan keyakinan bahwa negara akan memperjuangkan kesejahteraan mereka suatu hari nanti.
Relevansi dengan Keadaan Sekarang
Hari ini, Indonesia telah jauh berkembang dibandingkan masa itu. Kita punya infrastruktur yang lebih baik, akses pendidikan, dan layanan kesehatan yang mulai merata. Namun, tantangannya tetap sama: bagaimana memastikan bahwa setiap rupiah yang dikumpulkan dari rakyat melalui pajak benar-benar kembali untuk kesejahteraan rakyat.
Rakyat membayar pajak dari hasil kerja keras. Ada yang bekerja siang malam, ada yang berjualan kecil-kecilan, dan ada yang mengorbankan kebutuhan pribadi untuk memenuhi kewajiban pajak mereka. Mereka berharap bahwa pajak tersebut digunakan untuk membangun jalan yang baik, rumah sakit yang layak, sekolah yang terjangkau, dan memastikan semua orang mendapatkan pelayanan yang adil. Namun, sering kali rakyat merasa apa yang mereka terima tidak sepadan dengan yang mereka berikan.
Korupsi menjadi salah satu alasan utama mengapa harapan ini belum sepenuhnya terwujud. Ketika dana yang seharusnya untuk rakyat bocor di tengah jalan, perjuangan rakyat menjadi sia-sia. Lebih parah lagi, mereka merasa dikhianati oleh pemimpin yang seharusnya melindungi mereka.
Pesan untuk Pemimpin di Negeri ini
Negara harus belajar dari sejarah. Saat kas negara kosong, rakyatlah yang menyelamatkan Indonesia. Mereka memberi dengan harapan besar bahwa negara ini akan melindungi dan menyejahterakan mereka. Maka, negara punya kewajiban besar untuk memastikan bahwa setiap pajak yang dibayar rakyat digunakan sebaik-baiknya. Tidak ada lagi ruang untuk korupsi. Jika ada yang berani korupsi, hukuman berat harus diberikan, karena tindakan itu sama saja dengan mencuri masa depan bangsa.
Sebagai gantinya, negara harus menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada rakyat. Berikan pelayanan publik yang layak, jamin akses pendidikan dan kesehatan untuk semua, dan tegakkan hukum seadil-adilnya. Dengan begitu, rakyat akan merasa dihargai, dan hubungan antara pemerintah dan rakyat akan semakin kuat.