Siapa sejatinya manusia?
Disaat kamu berdiri di depan cermin, menatap bayanganmu sendiri, wajah yang mungkin tampak baik-baik saja, rambut yang tertata rapi atau berantakan, dengan pakaian yang kamu suka. Tapi jauh di lubuk hati, pernahkah muncul pertanyaan sederhana namun mengguncang, “Siapa aku? Untuk apa aku ada di sini?”
Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana, tapi jawabannya bisa berputar-putar tanpa ujung. Seperti labirin yang kita tempuh seumur hidup, mencoba menemukan pintu keluar yang disebut “makna.” Siapapun kita muda atau tua, kaya atau miskin, pertanyaan ini mungkin pernah singgah. Dan jawabannya? Bukan teka-teki yang bisa dipecahkan orang lain, melainkan sebuah perjalanan pribadi yang mesti kita jalani sendiri.
Kita, manusia, adalah makhluk yang ajaib sekaligus membingungkan. Kita bukan sekadar tubuh fisik yang tampak di cermin. Ada lebih dari itu rasa yang hanya kita yang tahu. Kadang kita merasa kosong, meski semua di luar terlihat sempurna. Kadang kita tertawa, tapi hati terasa hampa. Itu karena manusia diciptakan bukan hanya dengan logika, tetapi juga hati. Kita bisa merencanakan hidup dengan sempurna, tapi tetap merasa goyah ketika dihadapkan pada ketidakpastian.
Dalam Al-Qur’an, Allah memberikan berbagai perspektif mengenai hakikat manusia, tujuan hidup, dan peran mereka di dunia, manusia tergambar melalui Ayat-ayatnya antara lain. Di QS. Al-Hijr (15): 28-29, Allah mengingatkan kita tentang asal-usul penciptaan manusia:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk lalu Aku meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.”
Manusia diciptakan bukan tanpa tujuan. Dalam QS. Adz-Dzariyat (51): 56, Allah berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Bayangkan itu: kita makhluk yang berasal dari tanah liat diberi kehormatan besar, yaitu roh dan kehidupan. Kita diberi akal untuk berpikir, hati untuk merasa, dan kebebasan untuk memilih. Itulah sebabnya Allah berfirman dalam QS. Al-Kahfi (18): 29:
“Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.”