Kao dan Negeri 1000 Pulau
Kao merupakan salah satu desa di wilayah administrasi Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Provinsi Maluku Utara (Malut). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Halmahera Utara tahun 2020, jumlah penduduk Desa Kao berkisar 1.836 jiwa[1] (perempuan 900 jiwa, laki-laki 936 jiwa) dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 606 KK. Sebagian besar, masyarakat Kao bermata pencaharian di sektor pertanian, disusul nelayan, jasa, juga karyawan di pemerintah dan perusahan. Secara sosial, masyarakat Kao berlatar belakang suku yang beragam, dari suku asli di wilayah Kao (Suku Kao, Pagu, Modole dan Boeng) hingga suku pendatang seperti Suku Makian, Bugis, Jawa dan lainnya.Â
Desa Kao merupakan desa tertua di Kecamatan Kao, seiring pembentukan Kabupaten Halut tahun 2003. Dalam sejarahnya, masyarakat Kao pun tak luput dari trauma sejarah kelam konflik horisontal di Ambon (Maluku) pada awal Reformasi sehingga melahirkan provinsi baru, Malut (1999). Menurut Thamrin Amal Tomagola, Sosiolog Universitas Indonesia sekaligus putra daerah Halut (Galela), konflik di Maluku -khususnya Malut yakni di sepanjang Pulau Halmahera dan sekitarnya- merupakan kekerasan komunal yang dipicu oleh persoalan perbedaan identitas sosial, perebutan akses sumber daya alam/SDA dan kekuasaan/politik[2].
Sebagai bagian wilayah administrasi terkecil dari Provinsi Malut, sejatinya Desa Kao merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Kepulauan Moloku Kie Raha (nama identitas sosio-kultur Malut). Sebagai wilayah yang secara  geografis berbentuk kepulauan, maka karakteristik DAS Malut adalah DAS Kepulauan yang terbentuk dari beberapa DAS Pulau dengan ekosistem alami DAS masing-masing pulau yang spesifik, baik pulau besar  maupun  pulau-pulau kecil di sekitarnya[3]. Berbekal karakteristik DAS Kepulauan tersebut, sebagian elemen masyarakat Malut sekarang sedang memperjuangkan terbitnya Peraturan Daerah Pengelolaan DAS Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Berdasarkan  hasil  review  penyusunan peta batas DAS skala 1:50.000 tahun 2017, Malut terdapat 3.568 DAS[4]. Desa Kao sendiri berada di DAS Teluk Kao dengan luasan 242,45 Ha. Jumlah DAS yang bermuara di Kabupaten Halut sebanyak 255 DAS dan luas 377.122,84 Ha, dengan DAS terluas adalah DAS Ake Jodoh yaitu seluas 106,715.87 Ha.
Terminologi 'Negeri 1000 Pulau' penulis angkat untuk menggambarkan kondisi wilayah Malut. Dengan luasan wilayah sebesar 3.148.431,35 ha, Malut merupakan  daerah kepulauan  yang terdiri dari 805 buah pulau besar dan kecil, sekitar 82 pulau yang dihuni dan 723 pulau yang belum dihuni[5]. Menurut Wikipedia.org, jumlah pulau sebanyak 1.474 pulau, terdiri dari 89 pulau berpenghuni dan 1.385 pulau tak berpenghuni[6].Â
Â
SDGs dan Mangrove Kao
Berdasarkan data dokumen Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk-RHL DAS) Ekosistem Mangrove dan Sempadan Pantai Wilayah Kerja BPDAS Ake Malamo 2014, Malut punya lahan mangrove dan sempadan pantai sekitar 55.322,61 hektar[7]. Khusus hutan mangrove di Malut, ada 46.259,41 hektar dengan kategori rapat 29.848,83 hektar dan kurang rapat 16.410,58 hektar.Â
Menurut data terbaru Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Ake Malamo[8], Provinsi Malut memiliki potensi mangrove seluas 41.228,7 ha yang tersebar di sepuluh kabupaten/kota[9]. Pada kurun waktu 2010-2017, terjadi penurunan luasan mangrove di Malut sebanyak 5.030,71 ha (10,87 %) dari luasan sebelumnya tahun 2010, yakni 46.259,41 ha. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi mangrove menjadi lahan pertanian dan pemukiman, pembuangan sampah padat dan cair, pencemaran tumpahan minyak dan reklamasi pantai. Tekanan penduduk tinggi berakibat terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove dan degradasi lingkungan pantai, seperti kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan di daerah pantai. Â
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030[10]. Tujuan TPB/SDGs telah menjadi salah satu pengarusutamaan (mainstreaming) dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 -- 2024, sehingga parapihak bisa membuat peta kontribusi dalam upaya pencapaian target-target pada 17 Goals SDGs tersebut.
Menyimak paparan Dr. Ir. Apik Karyana, M.Sc. (Kepala Biro Perencanaan, Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK) dan Prof. Dr. Winarni Monoarfa, M.S. (Staf Ahli Bidang Energi, Kementerian LHK) pada Jum'at, 27 Agustus 2021, sejatinya 17 target TPB/SDGs tersebut dapat diimplementasikan dan diarusutamakan pada semua program pemerintah bidang LHK. Namun, tulisan ini tidak hendak membahas semua hal tersebut, selain kaitannya SDGs dengan salah satu kegiatan bidang LHK di Desa Kao. Menurut penulis, dibanding daerah atau lokasi lain di wilayah Malut, kegiatan bidang LHK khususnya terkait mangrove di Desa Kao relatif lebih banyak pertautannya dengan target SDGs.
Secara geografis, Desa Kao berhadapan dengan Teluk Kao dan masuk dalam kawasan Key Biodiversity Area (KBA) karena menjadi rumah bagi spesies langkah seperti Gosong Maluku (Mamoa/Eulipoa wallacei), penyu (tuturuga) dan 23 jenis burung. Dibantu parapihak terkait, Desa Kao berkembang sebagai Desa Wisata Mangrove, karena memiliki hutan mangrove yang luasnya mencapai 404 hektar[11]. Mangrove ini menjadi rumah bagi berbagai habitat liar di dalamnya, baik spesies burung maupun reptil. Mangrove begitu penting keberadaannya karena ikut mendukung kelangsungan hidup masyarakat Kao, seperti memburu kepiting, udang serta ikan yang hidup di dalam kawasan tersebut. Pemerintah Desa Kao pun telah menyusun Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup guna melindungi ekosistem mangrove dan kawasan pesisir desa tersebut.Â
Selain sebagai Desa Wisata Mangrove, Kao telah ditetapkan menjadi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) berdasar Surat Keputusan Bupati Halmahera Utara Nomor 078/102/HU/2020 Tahun 2020 tanggal 17 Maret 2020 dengan luas 300,92 Ha. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), KEE adalah kawasan bernilai ekosistem penting yang berada di luar KSA, KPA dan Taman Buru yang secara ekologis menunjang kelangsungan kehidupan melalui upaya konservasi keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia yang ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi. KEE merupakan model pengelolaan kawasan yang menitikberatkan kepada fungsi perlindungan potensi kawasan yang ada di dalamnya, dengan melibatkan pengelolaan kolaboratif tanpa menghilangkan/merubah status pada kawasan tersebut.Â
Parapihak yang terlibat dalam pengembangan KEE Kao ini adalah lembaga pemerintah, perguruan tinggi, swasta, organisasi non pemerintah dan tokoh masyarakat. Mereka terhimpun dalam Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Kao, Desa Kao, Kecamatan Kao, Kabupaten Halmahera Barat yang terbentuk berdasar Surat Keputusan Bupati Halmahera Utara Nomor 031/267/HU/2019 tanggal 25 September 2019. Sebelumnya, pada tanggal 16 Desember 2019, parapihak tersebut telah melakukan Konsultasi Publik Deliniasi Hasil dan Penyusunan Nota Kesepahaman Pengusulan KEE Kao.
Setelah penetapan KEE Kao tersebut, pada tanggal 12 April 2021 disusun Rencana Aksi KEE Kao selama lima tahun ke depan, antara lain: 1) penyusunan Rencana Pengelolaan KEE Kao; 2) penetapan peraturan bersama kepala desa sekitar KEE Kao; 3) rehabilitasi mangrove bersama di seluruh desa sekitar Kao; 4) pelatihan di bidang keterampilan; 5) pengembangan produk virgin coconut oil (VCO); 6) pengadaan ternak bergulir; dan 7) pembuatan biogas, papan himbauan tentang tumbuhan dan satwa liar (TSL), jalur tracking lintas mangrove, lokasi penetasan telur penyu, tempat pembibitan mangrove permanen, menara pantau burung dan pusat informasi[12].Â
Perlu diketahui, Desa Kao ditetapkan sebagai KEE karena memiliki daerah mangrove yang cukup luas dan bernilai konservasi tinggi sebagai penahan abrasi laut. Di bawah kendali Kepala Desa Taufick Max, seorang pemuda progresif, Pemerintah Desa Kao telah memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa dan Peraturan Desa (Perdes) Nomor 03/2017 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Perdes tersebut mengatur jelas soal hutan mangrove, pantai, dan sungai. Perdes juga mengatur sanksi pelanggaran berupa ganti rugi dan pemulihan serta denda setiap larangan dalam Perdes.
Beberapa larangan dalam Perdes Desa Kao tersebut, antara lain:
- dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup di wilayah desa Kao;
- dilarang menebar atau menggunakan bahan kimia, bahan beracun, bahan peledak dan setrum listrik untuk menangkap ikan, udang, dan sejenisnya di pantai,sungai, kolam, kali, dan saluran irigasi lainnya di wilayah desa Kao;
- dilarang berburu, menembak, menangkap segala jenis burung di kawasan pantai dan hutan mangrove Desa Kao;
- dilarang menebang dan merusak pohon di kawasan pantai dan hutan mangrove Desa Kao; dan sebagainya[13].Â
Pada tahun 2020, selain sebagai KEE Mangrove, Desa Kao juga mendapat bantuan KLHK melalui BPDASHL Ake Malamo berupa pembangunan Kebun Bibit Rakyat (KBR) mangrove sebanyak 20.000 anakan, jenis rhizopora mucronata. Mekanisme pemberian bantuan tersebut berupa pembuatan bibit secara swakelola oleh kelompok tani Green Kaidati. Selanjutnya, bibit yang telah dibuat tersebut disalurkan kepada anggota kelompok dan masyarakat Desa Kao lainnya untuk dilakukan penanaman dan penghijauan di kawasan mangrove Kao, seluas 25 hektar. Kegiatan KBR ini secara partisipatif melibatkan semua warga Desa Kao yang tergabung dalam Kelompok Pembuatan KBR, termasuk anggota keluarga lainnya khususnya kaum perempuan dan anak-anak. Hal ini berdampak positif bagi peningkatan kesadaran sosial dan ekologi warga Desa Kao, khususnya generasi muda Kao.
Selanjutnya, dalam rangka penanganan dampak Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, Desa Kao juga mendapat bantuan program nasional padat karya tunai (cash for work) berupa Padat Karya Penanaman Mangrove/PKPM seluas 6 (enam) hektar. PKPM di Desa Kao melibatkan tenaga kerja sebanyak 56 orang, terdiri dari 23 laki-laki dan 43 perempuan, juga tergabung dalam Kelompok Tani Green Kaidati. Untuk kondisi Desa Kao, pola yang digunakan adalah pengkayaan dengan jumlah bibit 18.000 batang mangrove jenis rhizopora mucronata.
Menurut Dra. Asih Yunani, M.P., Kepala BPDASHL Ake Malamo, PKPM merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat (terdampak PHK/pandemik dan atau berpenghasilan rendah), bersifat produktif berupa penanaman mangrove dengan mengutamakan pemanfaatan sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi lokal untuk menambah pendapatan dan meningkatkan daya beli masyarakat[14]. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ini meliputi penyediaan bibit, distribusi dan penanaman bibit. Selain itu, sebagai pendukung kegiatan, di beberapa lokasi penanaman mangrove juga dibuatkan pemecah ombak sederhana dan perlindungan tanaman.
Sepanjang tahun 2020, melihat berbagai kiprah warga Desa Kao tersebut, dapat dikatakan Desa Kao siap menyongsong program pemerintah terkait TPB/SDGs tersebut. Dari ragam kegiatan, parapihak terlibat, kebijakan-kebijakan pendukung hingga partisipasi warga lintas generasi menandakan Desa Kao telah mengimplementasikan sebagian besar dari 17 target SDGs tersebut. Menurut penulis, target SDGs yang sudah implementatif di Desa Kao tersebut antara lain:
- mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun (Goal 1);
- menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia (Goal 3);
- mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan (Goal 5)
- meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua (Goal 8);
- mengurangi kesenjangan intra-dan antarnegara (Goal 10);
- mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya (Goal 13);
- melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan (Goal 14);
- melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan (Goal 15);
- menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangunan kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan (Goal 16); dan
- menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan (Goal 17).
Â
Ekoteologi Mangrove Kao: Monumen SDGs
Menurut Mudhofir Abdullah, ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan[15]. Bagi para pegiat wacana teologi, ekoteologi dapat dijadikan spirit baru karena menyadarkan manusia akan peran kewalian atas bumi (khalifah fil 'ardhi), dalam bahasa Robin Attfield sebagai 'wali planet'[16]. Konsep ekoteologi berdasar tiga aspek/dimensi, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial.
Terkait dengan fenomena Mangrove Kao, penulis berpendapat bahwa Desa Kao relatif mencerminkan dimensi nilai-nilai ekoteologi sekaligus implementasi SDGs tersebut. Dimensi spiritualitas menekankan aspek spiritual, landasan keyakinan dan tujuan hidup (visi) dari para perimba (manusia/subjek pelaku) dalam kegiatan pelestarian Mangrove Kao. Kegiatan pelestarian mangrove di Desa Kao, selain masyarakat setempat juga didukung oleh tokoh-tokoh agama dan adat, di sekitar Desa Kao dan di wilayah Halut pada umumnya. Semisal, kegiatan KEE, selain didukung oleh lembaga pemerintah juga didukung oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara dan tokoh agama, salah satunya Suster Lidya Lenak Gudelia, pegiat Ecolearning Peace sekaligus pendamping kegiatan KBR di Desa Wateto, Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Kegiatan pelestarian Mangrove Kao mampu menyatukan semua warga Desa Kao lintas suku, agama, ras dan golongan (SARA). Dorongan dan nasihat spiritual para agamawan dan tokoh adat kepada warga Desa Kao mampu menumbuhkan kesadaran warga bahwa menanam mangrove dan upaya pelestarian lingkungan lainnya sejatinya bernilai ibadah (devosi) kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Dimensi ekologi menyangkut hubungan warga Desa Kao sebagai perimba dengan ekosistem mangrove sekitarnya, terkait lingkungan fisik (tanah, air, bebatuan, dan sebagainya) dan keanekaragaman hayati (biodiversitas). Ekologi di sini bukan sekadar pohon atau tumbuhan an sich, seperti halnya UU Kehutanan No. 41/1999. Ekologi merujuk pada terminologi Murata (2004) digolongkan sebagai mikrokosmos, komponen manusia, satwa, tumbuhan dan semua sumber daya di muka bumi (tanah, batu, air dan sebagainya)[17]. Penanaman mangrove sebagai wujud upaya rehabilitasi hutan mangrove dan kawasan pesisir dari kerusakan ekosistemnya.Â
Dimensi sosial gayut dengan sejarah traumatik konflik horisontal di gugusan kepulauan Halmahera seperti tersebut di awal tulisan ini. Dimensi ini menekankan hubungan perimba dengan sesama dan perimba dengan komunitas/wadah individu (negara, korporat/perusahaan, lembaga/institusi) meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Kegiatan pelestarian mangrove di Desa Kao, baik KEE Kao, KBR Kao hingga PKPM sejatinya selain bentuk upaya rehabilitasi ekologi pun merupakan upaya rehabilitasi sosial warga Desa Kao, dan Pulau Halmahera pada umumnya. Kegiatan penanaman mangrove mampu menyatukan warga lintas latar belakang SARA, sekaligus sebagai terapi sosial untuk melupakan konflik sosial yang pernah terjadi. Dalam artian, pelestarian Mangrove Kao tersebut mampu menumbuhkan kesadaran Toleransi Sebumi, toleransi berbasis ekologi[18].
Dinamika Desa Kao sepanjang tahun 2000, dan hingga sekarang kian berkembang serta menginspirasi wilayah Halmahera Utara lainnya. Terakhir, Pemerintah Kabupaten Halut menjalin kerjasama "Kemitraan untuk Kota yang Berkelanjutan" dengan Pemerintah Kota Gra Kalwaria, Polandia dengan dukungan anggaran Uni Eropa selama 3 (tiga) tahun[19]. Pasar Kao menjadi salah satu sasaran kemitraan ini sebagai pasar perkotaan berkelanjutan, yakni tata kelola pemerintahan kota partisipatif untuk pengelolaan pasar sehat, ramah lingkungan, dan inklusif di Indonesia[20].Â
Melihat untaian prestasi ini, penulis berkesimpulan sejatinya Mangrove Kao adalah karya ekoteologi masyarakat Desa Kao, didukung parapihak lainnya, dalam menyongsong target SDGs. Mangrove Kao merupakan sebuah kriya ekoteologi sekaligus monumen SDGs masyarakat Moloku Kie Raha, Negeri 1000 Pulau.
 Â
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mudhofir, 2010, Al-Quran & Konservasi Lingkungan, Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah, Dian Rakyat, Jakarta.
Anonim, 2017. Laporan Akhir Penyusunan Peta Batas DAS Skala 1:50.000 Tahun 2017. BPDASHL Ake Malamo
------, 2020. Kecamatan Kao Dalam Angka 2020. BPS Kabupaten Halmahera Utara
Attfield, R., 2010, Etika Lingkungan Global, cetakan pertama, Kreasi Wacana, Jogjakarta.
Mahmud, M.A., 2015. Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Pengendalian Ekosistem Hutan Maluku Utara, Jogjakarta: The Phinisi Press.
Murata, Sachiko, 2004, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Cetakan IX, Mizan, Bandung.
SKH Malut Post, 23 Oktober 2018.
Tomagola, T.A., 2006. Republik Kapling, Resist Book, Yogyakarta. Cet. Pertama.
https://bksdamaluku.org/penyusunan-rencana-aksi-kee-kao/
https://halmaherapost.com/2019/09/04/kao-menuju-desa-wisata-mangrove/
https://id.wikipedia.org/wiki/
https://kabarpulau.co.id/7-tahun-mangrove-di-malut-menyusut-5-03071-hektar/
https://poskomalut.com/pemkab-halut-bangun-kemitraan-bersama-pemkot-gora-kalawaria-polandia/
https://www.sdg2030indonesia.org/
https://www.mongabay.co.id/2020/07/25/hutan-mangrove-maluku-utara-kian-terdesak/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H