Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mangrove Kao: Kriya Ekoteologi Negeri 1000 Pulau

22 Agustus 2022   10:34 Diperbarui: 22 Agustus 2022   10:38 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Peta Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Kao (Dokpri)

Menurut Dra. Asih Yunani, M.P., Kepala BPDASHL Ake Malamo, PKPM merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat (terdampak PHK/pandemik dan atau berpenghasilan rendah), bersifat produktif berupa penanaman mangrove dengan mengutamakan pemanfaatan sumber daya, tenaga kerja, dan teknologi lokal untuk menambah pendapatan dan meningkatkan daya beli masyarakat[14]. Pelibatan masyarakat dalam kegiatan ini meliputi penyediaan bibit, distribusi dan penanaman bibit. Selain itu, sebagai pendukung kegiatan, di beberapa lokasi penanaman mangrove juga dibuatkan pemecah ombak sederhana dan perlindungan tanaman.

Gambar 2. Penanaman mangrove Kao melibatkan generasi muda dan kaum perempuan (Dokpri)
Gambar 2. Penanaman mangrove Kao melibatkan generasi muda dan kaum perempuan (Dokpri)
Gambar 2. Penanaman mangrove Kao melibatkan generasi muda dan kaum perempuan (Dokpri)
Gambar 2. Penanaman mangrove Kao melibatkan generasi muda dan kaum perempuan (Dokpri)

Sepanjang tahun 2020, melihat berbagai kiprah warga Desa Kao tersebut, dapat dikatakan Desa Kao siap menyongsong program pemerintah terkait TPB/SDGs tersebut. Dari ragam kegiatan, parapihak terlibat, kebijakan-kebijakan pendukung hingga partisipasi warga lintas generasi menandakan Desa Kao telah mengimplementasikan sebagian besar dari 17 target SDGs tersebut. Menurut penulis, target SDGs yang sudah implementatif di Desa Kao tersebut antara lain:

  • mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di manapun (Goal 1);
  • menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan seluruh penduduk semua usia (Goal 3);
  • mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan (Goal 5)
  • meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja yang produktif dan menyeluruh, serta pekerjaan yang layak untuk semua (Goal 8);
  • mengurangi kesenjangan intra-dan antarnegara (Goal 10);
  • mengambil tindakan cepat untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya (Goal 13);
  • melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan berkelanjutan (Goal 14);
  • melindungi, merestorasi dan meningkatkan pemanfaatan berkelanjutan ekosistem daratan, mengelola hutan secara lestari, menghentikan penggurunan, memulihkan (Goal 15);
  • menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan untuk semua, dan membangunan kelembagaan yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan (Goal 16); dan
  • menguatkan sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan (Goal 17).

 

Ekoteologi Mangrove Kao: Monumen SDGs

Menurut Mudhofir Abdullah, ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan[15]. Bagi para pegiat wacana teologi, ekoteologi dapat dijadikan spirit baru karena menyadarkan manusia akan peran kewalian atas bumi (khalifah fil 'ardhi), dalam bahasa Robin Attfield sebagai 'wali planet'[16]. Konsep ekoteologi berdasar tiga aspek/dimensi, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial.

Terkait dengan fenomena Mangrove Kao, penulis berpendapat bahwa Desa Kao relatif mencerminkan dimensi nilai-nilai ekoteologi sekaligus implementasi SDGs tersebut. Dimensi spiritualitas menekankan aspek spiritual, landasan keyakinan dan tujuan hidup (visi) dari para perimba (manusia/subjek pelaku) dalam kegiatan pelestarian Mangrove Kao. Kegiatan pelestarian mangrove di Desa Kao, selain masyarakat setempat juga didukung oleh tokoh-tokoh agama dan adat, di sekitar Desa Kao dan di wilayah Halut pada umumnya. Semisal, kegiatan KEE, selain didukung oleh lembaga pemerintah juga didukung oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara dan tokoh agama, salah satunya Suster Lidya Lenak Gudelia, pegiat Ecolearning Peace sekaligus pendamping kegiatan KBR di Desa Wateto, Kecamatan Kao Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Kegiatan pelestarian Mangrove Kao mampu menyatukan semua warga Desa Kao lintas suku, agama, ras dan golongan (SARA). Dorongan dan nasihat spiritual para agamawan dan tokoh adat kepada warga Desa Kao mampu menumbuhkan kesadaran warga bahwa menanam mangrove dan upaya pelestarian lingkungan lainnya sejatinya bernilai ibadah (devosi) kepada Sang Pencipta Alam Semesta.

Gambar 3. Suster Lidya Lenak Gudelia, pegiat Ecolearning Peace dan kelompok KBR binaan (Dokpri)
Gambar 3. Suster Lidya Lenak Gudelia, pegiat Ecolearning Peace dan kelompok KBR binaan (Dokpri)

Dimensi ekologi menyangkut hubungan warga Desa Kao sebagai perimba dengan ekosistem mangrove sekitarnya, terkait lingkungan fisik (tanah, air, bebatuan, dan sebagainya) dan keanekaragaman hayati (biodiversitas). Ekologi di sini bukan sekadar pohon atau tumbuhan an sich, seperti halnya UU Kehutanan No. 41/1999. Ekologi merujuk pada terminologi Murata (2004) digolongkan sebagai mikrokosmos, komponen manusia, satwa, tumbuhan dan semua sumber daya di muka bumi (tanah, batu, air dan sebagainya)[17]. Penanaman mangrove sebagai wujud upaya rehabilitasi hutan mangrove dan kawasan pesisir dari kerusakan ekosistemnya. 

Dimensi sosial gayut dengan sejarah traumatik konflik horisontal di gugusan kepulauan Halmahera seperti tersebut di awal tulisan ini. Dimensi ini menekankan hubungan perimba dengan sesama dan perimba dengan komunitas/wadah individu (negara, korporat/perusahaan, lembaga/institusi) meliputi aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain. Kegiatan pelestarian mangrove di Desa Kao, baik KEE Kao, KBR Kao hingga PKPM sejatinya selain bentuk upaya rehabilitasi ekologi pun merupakan upaya rehabilitasi sosial warga Desa Kao, dan Pulau Halmahera pada umumnya. Kegiatan penanaman mangrove mampu menyatukan warga lintas latar belakang SARA, sekaligus sebagai terapi sosial untuk melupakan konflik sosial yang pernah terjadi. Dalam artian, pelestarian Mangrove Kao tersebut mampu menumbuhkan kesadaran Toleransi Sebumi, toleransi berbasis ekologi[18].

Dinamika Desa Kao sepanjang tahun 2000, dan hingga sekarang kian berkembang serta menginspirasi wilayah Halmahera Utara lainnya. Terakhir, Pemerintah Kabupaten Halut menjalin kerjasama "Kemitraan untuk Kota yang Berkelanjutan" dengan Pemerintah Kota Gra Kalwaria, Polandia dengan dukungan anggaran Uni Eropa selama 3 (tiga) tahun[19]. Pasar Kao menjadi salah satu sasaran kemitraan ini sebagai pasar perkotaan berkelanjutan, yakni tata kelola pemerintahan kota partisipatif untuk pengelolaan pasar sehat, ramah lingkungan, dan inklusif di Indonesia[20]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun