EKOTEOLOGI MOLOKU KIE RAHA :Â
ETIKA LINGKUNGAN EMPAT KESULTANAN MALUKU UTARA*
Potensi Ekoteologi Moloku Kie Raha
Maluku Utara (Malut) merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia yang lahir di era Reformasi tahun 1999. Malut juga dikenal dengan nama Moloku Kie Raha (MKR) sebagai identitas sosial budaya masyarakat. Keterangan lengkap mengenai konsep MKR sebenarnya muncul pertama kali pada buku Fr.Valentijn yang menggambarkan empat kerajaan dalam MKR sebagai satu kesatuan yang terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan[1].Â
Dalam tradisi lisan masyarakat Maluku maupun beberapa sumber Eropa, penyebutan MKR hanya merujuk pada empat wilayah tertentu, yaitu Ternate, Tidore, Moti, dan Makeang. Moti kemudian hijrah ke Jailolo, dan Makeang ke Bacan. Pembagian wilayah ini terjadi mungkin saja untuk meredam "konflik terbuka" yang sering terjadi antara wilayah-wilayah tersebut. Sehingga muncul persekutuan "empat pulau" atau disebut "kie raha"[2].
Menurut Mudhofir Abdullah, ekoteologi (ecotheology) merupakan bentuk teologi konstruktif membahas interrelasi antara agama dan alam, terutama dalam menatap masalah-masalah lingkungan[3]. Dari konsep ekoteologi tersebut, muncul sintensa spirit baru pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya, yakni motif devosi/penghambaan/ibadah, selain motif sosial, ekonomi dan ekologi[4] (Mahmud, 2015). Sebagai sebuah pendekatan, selain mendasarkan tindakan pada empat motif tersebut (devosi, sosial, ekonomi dan ekologi), konsep ekoteologi berdasar tiga aspek/dimensi, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial[5].
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, maka Malut mempunyai tiga potensi ekoteologi. Pertama, spiritualitas. Potensi ini berasal dari nilai-nilai spiritual dari ajaran, keyakinan dan 'kearifan lokal'[6] masyarakat Malut termasuk yang berasal dari tradisi/budaya empat kesultanan tersebut dan dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Kedua, biodiversitas. Potensi biodiversitas atau keanekaragaman hayati baik di darat maupun lautan, tersimpan di 'Negeri Seribu DAS' karena Malut berkarakter DAS Kepulauan yakni terdiri dari 3.568 DAS[7] dengan luas 3.148.431,35 Ha. DAS Kepulauan karena dibentuk oleh beberapa DAS pulau dimana komponen-komponen lingkungannya seperti iklim, air, tanah, topografi, batuan, flora/fauna, penggunaan lahan, dan manusia membentuk "ekosistem alami" DAS masing-masing pulau yang spesifik pula, baik pulau besar maupun pulau-pulau kecil di sekitarnya.Â
Potensi ketiga adalah pluralitas. Potensi kemajemukan sosial (pluralitas) terbangun oleh masyarakat adat/lokal maupun masyarakat pendatang dari berbagai suku Nusantara. Menurut penulis, klasifikasi masyarakat hukum adat di Malut ada 2 (dua), yakni masyarakat adat kesultanan dan masyarakat adat bukan kesultanan[8]. Masyarakat adat kesultanan adalah masyarakat adat yang banyak dipengaruhi oleh budaya (dan ajaran agama) Islam, meliputi empat kesultanan di Malut, yakni Bacan, Jailolo, Tidore, dan Ternate[9].
Ketiga potensi tersebut (nilai-nilai spiritualitas, biodiversitas dan pluralitas sosial) gayut satu sama lain sehingga menimbulkan dinamika tersendiri bagi masyarakat Malut. Tragedi konflik horizontal pada awal Reformasi tak luput dari kelindan tiga faktor/potensi di atas. Menurut Thamrin A. Tomagola, konflik di Maluku -khususnya Malut yakni di sepanjang Pulau Halmahera dan sekitarnya- merupakan kekerasan komunal yang dipicu oleh persoalan perbedaan identitas sosial, perebutan akses sumber daya alam/SDA dan kekuasaan/politik[10].
Â
Relasi Tauhid : Akar Etika Lingkungan Empat Kesultanan Â
Sebagai salah satu potensi ekoteologi MKR, ajaran spiritualitas Islam menjadi akar etika lingkungan empat kesultanan Malut, dikenal sebagai Ekoteologi-Tauhid yang meyakini bahwa Allah sebagai al-Khalik (Pencipta). Allah adalah pusat lingkungan. Alam adalah manifestasiNya yang bersama-sama manusia menjadi unsur pembentuk ekosistem dalam kosmos yang berperadaban dan bersifat teleologis. Ada harmoni relasi antara Tuhan, kosmos/alam dan manusia.
Menurut Murata[11], konsep tawhid mengajarkan bahwa relasi ketiga realitas dasar tersebut (Tuhan-alam-manusia) merupakan relasi aktif, saling satu sama lain. Menurut ajaran Islam, dengan konsep Tawhid-nya yang menjadi landasan pemikiran Murata, Tuhan senantiasa mengurus makhlukNya[12], semua makhluk di muka bumi (hayati dan non hayati) tunduk dan bersujud kepada Tuhan[13], dan manusia diturunkan di bumi untuk beribadah dan menjadi 'wali planet' atau 'khalifah/pemimpin di muka bumi'[14]. Dengan segala potensinya, manusia diberi kewenangan Tuhan untuk mengelola bumi dan tidak berbuat kerusakan atau melakukan ecocide, 'bunuh diri lingkungan'[15].
Menurut Mudhofir Abdullah (2010), terkait pandangan relasi Tuhan-alam-manusia tersebut ada 3 (tiga) model, yakni: reduksionistik, holistik dan tawhid[16]. Relasi model Tawhid (Tauhid) yang beranggapan bahwa relasi Tuhan, kosmos, dan manusia adalah bersifat organik. Dengan ilustrasi segitiga relasi, posisi Tuhan sebagai puncak, alam dan manusia sebagai realitas derivatif (turunan). Menurut Yusuf Qaradhawi[17], sebagaimana dikutip Abdullah, ada tiga tujuan hidup manusia di bumi, yakni: mengabdi kepada Allah (QS.51/Adz-Dzariyat:56); sebagai khalifatullah di bumi[18] (QS.2/Al-Baqarah:30, QS. 35/Fathir:39) dan membangun peradaban yang etis di bumi (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur).Â
Hal tersebut berbeda dengan relasi reduksionistik yang berpandangan bahwa alam semesta sekadar partikel-partikel benda yang bergerak secara otomatis laksana mesin. Pun berbeda dengan relasi holistik menggambarkan manusia dan kosmos sebagai suatu keseluruhan tunggal yang organik, dan manusia bukan pemilik tunggal alam semesta, tetapi sebagai bagian keluarga biotik besar. Meski demikian, relasi holistik berbeda denga relasi Tauhid karena tidak berdasar wahyu, lebih peduli bumi ketimbang kepada Tuhan.
Secara umum, konsep ekoteologi Tauhid diyakini oleh semua kesultanan di Maluku Utara. Pemahaman tauhid di Kesultanan Bacan relatif lebih mengarah ke purifikasi (pemurnian) ajaran agama Islam dari hal-hal bersifat mistis. Menurut Ibnu Tufail Iskandar Alam (Ompu Juru Tulis Raa Kesultanan Bacan), Kesultanan Bacan mencoba melepaskan diri dari cerita mitos 'Tujuh Puteri' (Hikayat Ternate)[19] terkait awal mula berdirinya kesultanan di Malut[20]. Hal ini dibenarkan oleh Hi. Muhdar Salim Arif, selaku Ompu Datuk Alolong (Perdana Menteri Kesultanan Bacan). Lambang Kesultanan Bacan berbeda dengan Kesultanan Ternate dan Jailolo yang identik dengan burung Goheba, yakni bola dunia yang dikelilingi ikan, naga dan burung, serta di bawahnya pita bertuliskan 'Limau Dehe' (penjaga pintu terjauh, pintu Selatan)[21]. Â
Selanjutnya, pada masa Sultan Muhammad Oesman Sjah (Sultan Bacan XVIII, 1889-1935), Kesultanan Bacan melarang beberapa tradisi bernuansa kekerasan, yakni debus dan pembuatan sasi di kebun berupa pemasangan alat seperti mata panah/jerat babi. Debus, di Tidore dikenal dengan sebutan 'ratib taji besi'[22], merupakan tradisi baca doa di wilayah empat kesultanan Malut biasa untuk acara ziarah/mengingat kematian seorang Muslim (tahlilan) diiringi dengan musik dan tarian menusuk badan dengan benda/senjata tajam.
Konsep Tauhid kesultanan di Malut tergambar jelas pada falsafah Jou se Ngofangare. Istilah Jou memiliki arti Gikiamoi (Dia yang Esa), Tuhan dan Ngofangare  adalah hamba[23]. Jou se Ngofangare berarti Tuhan dan hamba, pun bisa berarti Sultan dan rakyatnya. Secara kosmologi, konsep ini dihubungkan dengan hubungan perempuan dan laki-laki, lautan dan daratan, siang dan malam. Falsafah ini disimbolkan dengan Goheba Madopolo Romdidi, yakni burung garuda/elang berkepala dua, berbadan satu dan berhati satu sebagai lambang Kesultanan Ternate (dan Kesultanan Jailolo). Dalam proses realisasi adat se atorang[24] di wilayah Moloku Kie Raha, terutama setelah masuknya Islam dan akulturasi budaya lain, konsep Jou se ngofangare diterjemahkan secara lebih luas, berkaitan dengan sistem pemerintahan, sosial kemasyarakatan dan keagamaan[25]. Falsafah Jou se Ngofangare ini juga diyakini oleh masyarakat di ketiga kesultanan lainnya (Bacan, Jailolo dan Tidore).
Falsafah Jou se Ngofangare adalah ajaran Tauhid yang mengajarkan manusia bahwa Allah SWT itu esa, Maha Pencipta, dan dari Dia pula semua ini berasal, dengan Muhammad merupakan kekasihNya[26]. Kapasitas Jou dalam pandangan orang Ternate adalah Allah SWT dengan Al Qur'an sebagai firmanNya dan Ngofangare adalah Muhammad dengan hadis dan hadis Qudsi sebagai firmannya. Di Kesultanan Ternate, menurut Ofa Nuzuluddin M. Sjah, salah satu putra Sultan Ternate, falsafah tersebut tercermin pada filosofi 'Limau Gapi' yang menjelaskan hubungan antara Tuhan, alam dan manusia[27].Â
Falsafah Jou se Ngofangare tidak bisa dipastikan kapan lahir, bahkan tokoh pencetusnya pun tidak diketahui. Sultan Ternate, almarhum Mudaffar Syah, menyatakan bahwa falsafah Jou se Ngofangare telah ada sejak jaman Momole (sebelum Islam) dan lahir sebagai karya akal budi murni masyarakat Malut secara turun temurun[28]. Menurut penulis, bagi masyarakat tradisional tersebut, Jou adalah Sang Tuan atau 'Realitas Agung' atau Sesuatu yang Agung yang diyakini dan bukan berasal dari agama tetapi dari ajaran adat, budaya nenek moyang yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat saat itu, seperti animisme, dinamisme dan Kejawen (di Jawa)[29]. Hal ini dibenarkan oleh Jogugu Kesultanan Jailolo, Hairudin Saifuddin, sekaligus Camat Jailolo, bahwa semua benda mempunyai 'Tuan' sehingga pada masyarakat tradisional Jailolo dikenal ungkapan: "ruahe kagena afa, barangge se ma madihutu" (jangan otak-atik suatu barang/daerah, karena suatu barang/daerah tersebut ada Tuan-nya)[30].
Masuknya Islam di Ternate (dan tiga kesultanan lainnya), tidak merubah falsafah ini, melainkan memperkuat konsep dasarnya, karena memiliki kesamaan konsep dengan Islam. Dalam penjelasannya, falsafah ini selalu dihubungkan dengan Islam, perkataan Jou berarti "Tuhan" (Allah) sedangkan Ngofangare  berarti "seorang hamba laki-laki" (Muhammad)[31]. Pada masa pra penciptaan atau sebelum terciptanya segala sesuatu, yang ada ketika itu adalah Allah dan Nur Muhammad. Ini adalah bentuk penggambaran tentang awal penciptaan, bahwa alam semesta dan segala isinya termasuk manusia, tercipta melalui Nur Muhammad yang beremanasi dari Allah SWT. Nur Muhammad memiliki dua jalur hubungan, yaitu hubungan dengan alam semesta sebagai asas penciptaan alam, dan hubungan dengan manusia sebagai hakikat manusia atau Insan kamil[32].
Â
Etika Lingkungan Empat Negeri Basudara
Menurut Kusumasumantri, dalam sejarah konservasi di Nusantara, peran Sultan dan Raja pada zaman pemerintah Hindia Belanda (1920--1938) cukup penting dalam penunjukan kawasan konservasi dan pelestarian jenis, selain para ilmuwan naturalis Belanda[33]. Semangat kesadaran pentingnya perlindungan (konservasi) tersebut bertujuan untuk pertimbangan kemaslahatan di bagian-bagian wilayahnya berpotensi tumbuhan dan satwa unik dan langka untuk mendapatkan perlindungan yang lestari. Selanjutnya, penunjukan kawasan konservasi di luar Jawa dalam peraturan perundangan pada waktu itu dikenal dengan istilah "ZB" (Zelfbestuur Besluit) merupakan surat keputusan bersifat otonomi, diterbitkan oleh tingkat pemerintahan, diwakili oleh gubernur dan raja yang diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan dalam menunjuk kawasan konservasi[34].
Menurut data peta Kusumasumantri, wilayah Malut (dan sebagian Indonesia Timur) masuk dalam wilayah ZB tersebut, di bawah Kesultanan Ternate dan Tidore[35]. Dengan demikian, wacana konservasi lingkungan bagi empat kesultanan di Malut bukanlah hal asing. Pada puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN), 10 Agustus 2019, Sultan Tidore ke-37, H. Husain Alting Sjah, menerima apresiasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kategori Mitra Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dalam Penguatan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian ALam (KPA) Unsur Kesultanan yang diusulkan oleh Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL)[35]. Lambang empat kesultanan tersebut pun identik dengan simbol satwa dan anasir alam lainnya (bumi). Goheba Madopolo Romdidi berarti burung elang berkepala dua. Lambang kerajaan ini telah ada sejak terbentuknya kerajaan Moloku Kie Raha tahun 1322[36]. Simbol lambang terdiri dari Gapi/Ternate; Duko/Tidore/Tuanane/Moti dan Kie Besi/Makian.
Kesultanan Ternate memiliki lambang resmi burung Goheba (elang) berkepala dua. Di bagian dadanya terdapat perisai dengan simbol hati terbalik di tengahnya. Di bagian bawah, terdapat pita bertuliskan 'Limau Gapi' (Negeri Gunung)[37]. Kesultanan Jailolo juga berlambang sama dengan Kesultanan Ternate, tetapi tulisan pada pitanya adalah 'Limau Jiko' (Negeri Teluk)[38]. Menurut Ofa Hidayat M. Sjah, salah satu putra Sultan Ternate, Limau Gapi bermakna bahwa di dalam mengelola negara, harus ada kesepahaman, satu hati, antara raja selaku pemerintah, dengan rakyat. Mesti ada tenggang rasa, karena Raja dan rakyat ada di tempat yang sama. Dalam bahasa Ternate berbunyi: 'Toma Ua Hang Moju, Toma Limau Gapi Matubu, Jou se Ngofangare', artinya: 'Pada satu waktu dari masa, pada suatu tempat yang tertinggi, hanya ada Aku dan engkau. Aku Tuhanmu dan kau hambaKu."[39]
Lambang Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan relatif berbeda dengan dua kesultanan lainnya yang identik dengan burung Goheba. Lambang Kesultanan Tidore berupa pedang zulfikar Sayidina Ali dan pita bertuliskan 'Limau Duko' (pulau bergunung api)[40] di dalam perisai berbentuk segi lima. Selanjutnya, seperti tersebut di atas, lambang Kesultanan Bacan berupa bola dunia dikelilingi tiga satwa yang mencerminkan matra laut-darat-udara, yakni alu-alu/ikan poparo/barracuda, naga dan awir/burung elang, serta di bawahnya pita bertuliskan 'Limau Dehe' (penjaga pintu terjauh, pintu Selatan),
Permasalahan lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab Kesultanan Bacan berpindah-pindah (hijrah) dari satu tempat ke tempat lain. Pada periode Sultan Muhammad Baqir (Sultan Bacan I, 1230-1319) menghadapi masalah krisis air bersih sehingga Kesultanan Bacan berpindah dari Pulau Makeang ke Bokimaake (Pulau Muari/Kayoa). Oleh karena terbatasnya makanan pokok (krisis pangan), maka Kesultanan Bacan berpindah lagi ke Pulau Kasiruta yang berlahan luas dan bertahan hingga Sultan Bacan V (Sultan Alauddin I/Katjili Alauddin, 1490-1548). Pada masa Sultan Alauddin I tersebut, konsep konservasi sasi dapat diterapkan karena penduduk masih sedikit dan stok pangan (sagu) cukup/lahan luas. Sasi diberlakukan guna membatasi pengambilan sagu agar tidak berlebihan. Memasuki masa pertengahan pemerintahannya, Sultan Alauddin I memindahkan kesultanan dari Pulau Kasiruta ke Seki (Pulau Bacan) karena faktor keamanan, yakni konflik dengan Kesultanan Ternate.
Sejak kepindahan Kesultanan Bacan di Pulau Bacan, penerapan sasi lebih berkembang dan ditegaskan lagi karena permasalahan lingkungan di Pulau Bacan relatif lebih kompleks. Pada masa awal pemerintahan kesultanan di Pulau Makian, sasi hanya berlaku bagi masyarakat adat tradisional penganut animisme dan dinamisme serta masyarakat Kesultanan pemeluk agama Islam. Namun, sejak kedatangan Portugis di Bacan (1512) yang membawa misionari agama Katolik, maka masyarakat di bawah Kesultanan Bacan kian heterogen, bertambah warga Katolik. Maka Kesultanan Bacan mengangkat 'Sangaji' guna mengkoordinir pelaksanaan sasi di empat komunitas/agama tersebut. Terakhir, diangkat juga 'Sangaji' bagi masyarakat beragama Kristen, pasca pembaiatan pertama di Bacan oleh pendeta dari Ambon pada masa Sultan Muhammad Ali (Sultan Bacan VII). Menurut penulis, sasi di Bacan merupakan benih 'toleransi sebumi' (toleransi berbasis lingkungan)[41] yang berkembang di Ambon (Maluku) hingga sekarang.
Jika Kesultanan Bacan mengenal konsep Sasi dalam perlindungan SDA, maka di ketiga kesultanan lainnya mengenal konsep Boboso. Sasi berkembang di Bacan, Tobelo hingga Maluku (Ambon) dan pulau-pulau di sekitarnya. Selanjutnya, Boboso lebih berkembang di wilayah Kesultanan Ternate, Jailolo dan Tidore yang secara geografis lebih berdekatan, dibanding Kesultanan Bacan sebagai 'negeri terjauh' (Limau Dehe, penguasa tanjung). Menurut Jogugu Kesultanan Jailolo, meski sama-sama bentuk kearifan lokal dalam konservasi alam, boboso berbeda dengan sasi[42]. Boboso merupakan peringatan sebelum adanya kejadian musibah/bencana alam, sedangkan sasi merupakan sumpah/hukuman setelah terjadi pelanggaran lingkungan agar si pelanggar jera dan tidak sampai terulang pelanggaran tersebut. Filosofi boboso tersebut adalah "ruahe kagena afa, barangge se ma madihutu" (jangan otak-atik suatu barang/daerah, karena suatu barang/daerah tersebut ada Tuannya), sehingga dalam masyarakat Jailolo berkembang mitos ancaman/peringatan berupa "afa ngara madihutu setang" (jangan sampai Tuannya marah).
Jojau Kesultanan Tidore, H. M. Faarouk Amin, menjelaskan konsep boboso yang berkembang di masyarakat Tidore[43]. Boboso merupaka suatu sikap menahan diri untuk tidak memakan sesuatu (tumbuhan ataupun hewan) ataupun melakukan suatu perbuatan yang kiranya mengganggu tumbuhan/hewan boboso tersebut. Menurutnya, boboso berlaku per marga, dalam artian tiap marga/keluarga mempunyai boboso berbeda dengan keluarga/marga lain. Biasanya, hewan atau tumbuhan yang menjadi boboso tersebut mempunyai cerita tersendiri bagi masing-masing leluhur marga tersebut. Pelanggaran terhadap boboso tersebut berakibat reaksi tubuh yang menolak makanan, seperti sakit, muntah-muntah, dan sebagainya. Dampak boboso berupa sakit dan akan sembuh setelah mendapatkan doa-doa penawar dari tokoh agama/adat atau tetua marga tersebut.Â
Uniknya, setiap boboso suatu marga tidak berlaku bagi keluarga/marga lain, sehingga meski berkumpul dalam satu meja makan (perjamuan). Seseorang yang mempunyai boboso atas suatu makanan tidak akan melarang orang lain makanan tersebut. Maka, sikap yang ditunjukkan kepada kawan perjamuan berupa ungkapan santun, "Silakan menikmati makanan A, saya boboso makan A!". Sekali lagi, menurut penulis, inilah bentuk 'toleransi sebumi'. Keluarga besar Jojau sendiri (marga Faarouk), hingga sekarang, mempunyai boboso berupa tidak bisa memakan 3 (tiga) hal, yakni ikan udang/lobster, sayur sejenis ketimun berwarna hijau dan berbulu halus, serta ikan kepala timah/sejenis ikan bandeng. Hal ini dikarenakan, leluhur Jojau pada masa dahulu pernah ditolong oleh ikan-ikan lobster, kala perahu yang dinaiki rusak, mengarungi lautan.
Menurut Jojau, beberapa masyarakat di wilayah Kesultanan Tidore di Halmahera juga mempunyai boboso yang berbeda. Semisal, warga Desa Waci (Halmahera Timur) mempunyai boboso kambing, dalam artian tidak makan daging kambing. Hal ini dikarenakan, leluhur warga desa tersebut pernah ditolong kambing dalam sebuah peperangan. Sebagian warga Desa Patani ada yang mempunyai boboso ikan tuna, tidak memakan dan memperdagangkan ikan tuna, karena ikan tuna pernah menjadi penolong leluhur warga Desa Patani. Dengan demikian, sejatinya boboso merupakan suatu ungkapan terimakasih sekaligus upaya manusia menghargai jasa-jasa makhluk hewan dan tumbuhan. Dalam perkembangannya, boboso tidak sekadar mengatur perilaku manusia terhadap tumbuhan dan hewan, tetapi kini berkembang menjadi peraturan sosial, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dikenal dengan nama salaboso.
Menurut Jojau, salaboso atau salah boboso merupakan adanya fenomena/tanda-tanda alam manakala terjadi pelanggaran sosial, etika maupun agama di suatu daerah, semisal pembunuhan, perkosaan, perzinahan, dan sebagainya. Fenomena alam tersebut biasanya berupa gelegar petir, hujan terus menerus, dan sebagainya. Peristiwa tanda alam tersebut akan berhenti/reda jika permasalahan sudah terungkap atau pelaku pelanggaran tertangkap. Selain hal itu, sebagian masyarakat (khususnya tokoh agama/adat) dapat membaca tanda-tanda alam lainnya, seperti gunung bercungkup awan pertanda ada kedukaan (kematian), panas terik dan tiba-tiba hujan pertanda ada peristiwa pernikahan, dan sebagainya.
Jika boboso adalah bentuk penghormatan terhadap makhluk hidup yang nyata (tampak), seperti hewan, tumbuhan dan manusia, maka di Kesultanan Tidore dan kesultanan lainnya juga berlaku penghormatan terhadap makhluk ghaib (kasat mata), seperti jin, arwah leluhur, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan ajaran agama Islam yang mengklasifikasikan makhluk hidup ciptaan Tuhan terdiri dari makhluk nyata (manusia, hewan, tumbuhan) dan makhluk kasat mata, ghaib (jin). Dalam ajaran Islam, manusia dan jin mempunyai kewajiban sama untuk tunduk/devosi/ibadah kepada Allah SWT, sang Khaliq (Pencipta)[44]. Yang membedakan keduanya adalah tanggung jawab perwalian di muka bumi (khalifah fil ardhi) hanya diberikan kepada manusia[45]. Dengan demikian, yang dinamakan 'ekosistem' dalam Islam adalah seluruh makhluk hidup dan tak hidup, nyata dan tidak nyata (ghaib).
Secara umum, masyarakat di empat kesultanan mengakui keberadaan tempat-tempat makhluk ghaib tinggal, baik di laut, gunung, sungai, telaga/ mata air maupun tempat karamat di daratan lainnya seperti makam/jere (Ternate, Tidore, Jailolo, Bacan) dan goya (Tidore). Penghormatan terhadap tempat-tempat karamat tersebut biasa dilakukan dalam setiap upacara adat pergantian Sultan, tolak bala'/bencana, Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), dan kegiatan sosial-budaya bersifat hiburan (pariwisata), seperti Legu Gam (Perayaan Ulang Tahun Sultan Mudaffar Sjah) di Ternate dan Festival Teluk Jailolo (FTJ) di Kabupaten Halmahera Barat. Semisal, di Kesultanan Bacan dikenal adanya tradisi Arungi Nusa (keliling pulau dengan perahu) saat pergantian Sultan Bacan. Tradisi ini mirip dengan tradisi Kololi Kie (keliling gunung) di Kesultanan Ternate setiap 1 Muharram (Tahun Baru Islam), dan Kololi Jiko (keliling teluk) di Kesultanan Jailolo, yakni mengelilingi pulau/gunung dengan perahu.
Menurut Jogugu Hairudin Saifuddin, Kololi Jiko merupakan tradisi ziarah Kesultanan Jailolo diawali dari Pulau Babua yang terdapat tempat keramat/jere menuju Tanjung Naga (terdapat karamat koma di Desa Tuada), lanjut ke Jailolo (keramat /jere Porniti) dan berakhir di Kedaton Kesultanan Jailolo untuk babaca (mengaji Qur'an)[46]. Kegiatan kololi jiko tersebut kini menjadi salah satu rangkaian acara Festival Teluk Jailolo (FTJ) di Halmahera Barat, dan sebelumnya juga diawali kegiatan Singofi Ngolo (membersih laut), yakni doa untuk para penguasa (depe Tuan) di laut.
Menurut Jojau M. Faarouk Amin, Kesultanan Tidore juga mengenal tradisi Lufu Kie (ron gunung), yakni keliling gunung dengan arah gerak seperti thawaf (berlawanan arah jarum jam)  sembari berziarah (tagi jere) ke tempat-tempat keramat, seperti makam para sultan, makam wali/tokoh agama dan goya[47]. Jika menemui makam/jere para sultan dan wali tersebut, mereka melakukan baca doa/tahlil yang dipimpin per marga (sesuai dengan marga wali yang diziarahi). Jika dalam lufu kie tersebut mereka menemui tempat bersejarah, maka akan dibacakan doa selamat/syukur. Namun, jika mereka menemui goya (tempat tinggal jin/makhluk halus) maka tidak dibacakan doa tetapi hanya diberikan sesaji, misal sirih-pinang, di sekitar goya tersebut.
Selain penghormatan terhadap manusia, hewan, tumbuhan bahkan makhluk ghaib (jin, arwah leluhur/nenek moyang), secara umum masyarakat di empat Kesultanan MKR sangat menjaga kelestarian SDA lainnya, seperti hutan, air, dan tanah. Adanya sasi, boboso dan upacara adat lainnya sejatinya dalam rangka menjaga kelestarian ekosistem sebuah tempat/daerah. Jika pengertian ekosistem hutan bagi pakar lingkungan, semisal Awang (2006), sebagai sinergi antara flora, fauna, manusia dan lingkungan secara utuh, bukan terpisah-pisah antar komponen-komponen ontologisnya[48], maka bagi masyarakat Kesultanan, ekosistem hutan adalah lebih dari sekadar pengertian tersebut. Sesuai ajaran Islam, masyarakat Kesultanan menganggap selain makhluk yang tampak, seperti dalam pengertian tersebut, ekosistem hutan dan sumber daya alam lainnya pun mencakup adanya makhluk tak tampak mata (ghaib). Maka, dalam beberapa upacara adat terkait penjagaan alam ataupun hubungan dengan fenomena alam (bencana, panen, bersih desa, fenomena lainnya), selain membangun komunikasi dengan sesama manusia, pemimpin upacara tersebut pun akan berkomunikasi dengan makhluk kasat mata (ghaib) yang berada di sekitar tempat upacara tersebut.Â
Terkait penguasaan tanah, secara umum empat kesultanan MKR memiliki Aha Kolano, yakni tanah milik Sultan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan Sultan sekaligus kesejahteraan masyarakat adat, di bawah kuasa kesultanan. Hakikatnya, seluruh tanah merupakan Aha Kolano, yaitu tanah Kolano (Sultan), tetapi penguasaan Aha Kolano oleh Sultan hanya bersifat publik. Sultan tidak mempunyai tanah secara pribadi. Hal ini ditegaskan pula oleh Ofa Nuzuluddin M. Sjah, Aha Kolano meski tanah Sultan (Kolano), tetapi tidak dapat dimiliki ahli waris, termasuk Aha Cocatu dan tanah-tanah lainnya[49]. Di Kesultanan Jailolo, menurut Jogugu Hairudin Saifuddin, dikenal dengan nama Aha Kie Sekolano untuk menyebut tanah negara yang dimiliki Kesultanan[50].
Menurut Hi. Ahmad Dano Nasir, Imam Ngofa Masjid Kesultanan Ternate, Kesultanan Ternate membagi tanah menjadi 5 (lima) jenis hak tanah, yakni Aha Kolano (dusun jaga), Raki Kolano (tanah yang dizinkan untuk digarap warga, biasa tanami sagu dan bambu), Aha Soa (tanah yang diberikan kepada soa/marga), Aha Cucatu (tanah yang diberikan kepada warga masyarakat, baik perorangan, badan hukum ataupun instansi pemerintah), dan Gura Gam (kebun desa, diberikan kepada desa dan hasil tanaman untuk kepentingan desa yang bersangkutan) [51].Â
Menurut Faarouk Amin, masalah tanah di kesultanan Tidore pun diklasifikasikan menjadi 5 (lima), yakni Hale Aha Kolano (Tanah kebun raja), Hale Eto se Daera (Tanah jelajah), Hale Cocatu (Tanah pemberian sultan), dan Hale Joram (Tanah pemberian untuk perkebunan/ pertanian) dan Hale Gubu (Tanah pekarangan rumah)[52]. Selanjutnya, Kesultanan Tidore memiliki tanah adat bernama Jojoko (jelajah) sejak zaman para Momole (pra Islam), pun pernyataan sumpah, bernama 'Bobeto' yang sangat sakral. Bobeto digunakan dalam rangka penyelesaian masalah antarwarga termasuk masalah konflik tanah/pengelolaan SDA. Jika tidak ada kesepakatan para pihak yang bersengketa, maka keputusan terakhir dibuat perjanjian mengikat kedua belah pihak, yakni Boso Banari (Belanga Kebenaran) yang pada gilirannya kedua belah pihak menerima resiko 'kematian'. "Bobeto dan Boso Banari sangat berpengaruh kepada masyarakat hukum adat di Kesultanan Tidore", pungkasnya[53].
Bagi Kesultanan Bacan, menurut Ibnu Tufail, Aha Kolano ibarat gudang logistik atau lumbung masyarakat, merupakan sebuah kawasan yang berisikan tanaman pangan (sagu), hasil hutan (kayu), hasil ikutan (rotan, damar) hingga hasil sampingan (buah-buahan)[54]. Sasi merupakan kebijakan Sultan Bacan untuk menjaga kelestarian sumber daya Aha Kolano tersebut, dan tanah-tanah masyarakat adat lainnya.Â
Selanjutnya, menurut Hairudin Saifuddin, selain Aha Kie Sekolano yang diurus oleh seorang penjaga tanah/perawat bernama pertada, Kesultanan Jailolo juga mengenal Aha bubula, Aha Cocatu dan Aha Soa. Aha Bubula merupakan tanah pemberian kesultanan kepada seseorang yang berjasa, Aha Cocatu diberikan kepada individu untuk dikelola dan tidak merusak, sedangkan Aha Soa diberikan kepada 'Soa' (desa) untuk mengelola/memelihara. Selain pertada, Aha Kie Sekolano boleh dinikmati/ kelola warga dengan atas seijin pertada, sejenis kewang (penjaga sasi di Maluku).
Â
Upacara-Pesta-Sastra : Sebuah Ikhtiar Menjaga
Seperti tersebut di atas, hubungan masyarakat empat kesultanan Malut dengan Tuhan, Sang Pencipta, sesama manusia dan alam terjaga melalui upacara/ritual, baik terkait pemerintahan (pergantian Sultan), kehidupan sosial-agama (pernikahan, kedukaan, kelahiran, masuk rumah), maupun pelestarian lingkungan (musibah/bencana alam, syukuran panen). Upacara adat merupakan sebuah tradisi yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat tersebut. Semisal, di Kesultanan Tidore terdapat banyak upacara adat berkaitan dengan pengelolaan SDA, dari pemanfaatan hasil-hasil hutan sebagai bahan upacara mandi adat (Hogo Jako dan Cako Seruko), menginjak tanah (Joko Hale[55]), pelestarian lokasi tempat pemujaan (Paca Goya[56]), syukuran lingkungan dan lembah (Legu Duo), dan sebagainya[57].
Menurut Hairudin Saifuddin, masyarakat Kesultanan Jailolo mengekspresikan hubungannya dengan alam dan Tuhan dalam bentuk gerakan (tari) dan perbuatan (ziarah). Setiap gerakan (tari) ada simbol/makna, semisal Tari Legu sebagai bentuk kritik bala (rakyat) kepada Sultan. Ziarah dilakukan dalam hajatan besar, seperti sigofi ngolo, maupun dalam perayaan keagamaan Islam, seperti kololi jiko. Sigofi ngolo selain wujud kegiatan 'bebersih laut' juga menyiratkan makna sebagai bentuk permintaan ijin (siloloa) kepada leluhur, sehingga jika tidak dilakukan sigofi ngolo, maka sebuah hajatan bisa gagal atau ada hambatan[58].
Adanya wabah atau bencana alam menjadi salah satu faktor penting penyelenggaraan upacara adat tersebut. Menurut Jo Mayor Iskandar Dano Abdullah, jika ada wabah (insidentil) maka akan diadakan ritual Sigafi Gam, berjalan keliling kampung/thawaf sembari dzikir dan berhenti di satu titik untuk berdoa. Selanjutnya, menurut Jo Mayor (kerabat Sultan Jailolo sekaligus pengawal pribadi), kegiatan sigafi gam biasanya dirangkaikan dengan kerja bakti dan doa. Bagi masyarakat kesultanan, wabah atau bencana alam muncul dikarenakan ada pelanggaran boboso (Ternate, Jailolo, Tidore) ataupun sasi (Bacan) sehingga perlu upacara berupa doa tolak bala. Guna mencegah bencana alam, menurut Ofa Nuzuluddin M.Sjah, Kesultanan Ternate pun menyelanggarakan upacara adat berupa fere kie (naik gunung), kololi kie (keliling gunung lewat laut maupun darat) dan ziarah karamat (jere) dengan membaca doa/wirid penjagaan alam[59].Â
Selain upacara adat secara sederhana oleh kesultanan maupun masyarakat adat, seiring perkembangan zaman, beberapa acara adat tersebut dikemas dalam sebuah pesta atau festival atau program pemerintah. Terlebih, di era otonomi daerah, keberadaan empat kesultanan Malut mulai didukung pemerintah daerah (Pemda) dengan mengakomodasi upacara dan tradisi adat kesultanan sebagai bagian promosi pariwisata daerah. Semisal, pemda Halmahera Barat mulai mengangkat tradisi gerak (tari) dan upacara adat jikofi ngolo sebagai salah satu rangkaian Festival Teluk Jailolo. Kesultanan Ternate pun mulai menyelenggarakan pesta rakyat Legu Gam yang salah satu rangkaian acaranya kololi kie dengan dukungan Pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara. Peringatan Hari Jadi Tidore, bukan pembentukan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, pun melibatkan Kesultanan Tidore. Tahun 2013, Kota Ternate mendapatkan Adipura[60] dari Presiden, salah satunya dari program pemuliaan/penyelamatan air sebagai bagian tradisi Kesultanan Ternate[61]. Menurut Ofa Nuzuluddin M.Sjah, air bukan sekadar penunjang kehidupan tetapi sumber kemuliaan[62]. Â
Sejatinya, adanya upacara adat maupun pesta/festival tersebut merupakan bentuk upaya empat kesultanan tersebut menjaga kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya atau etika lingkungan kesultanan. Setiap upacara dan pesta adat tak lepas dari doa (wicara hati-lisan), isyarat maupun gerak (individu maupun komunal), bertujuan menjaga harmoni hubungan organis antara Tuhan ataupun Realitas Agung, manusia dan alam. Meski  dalam upaya penjagaan tersebut, masih menyisakan dilema (masalah) bagi kesultanan, seperti di Kesultanan Jailolo. Menurut Jo Mayor Iskandar D. Abdullah, meski di satu sisi FTJ mengangkat beberapa tradisi kesultanan, seperti jikofi ngolo, tapi di sisi lain FTJ membenturkan adat kesultanan dengan budaya kontemporer. Beberapa gerakan (tarian kontemporer) yang ditampilkan pada FTJ menimbulkan kontradiksi antara seni dan syariat (ajaran agama Islam), karena keyakinan masyarakat kesultanan bahwa 'setiap gerakan ada simbol/makna'[63].
Selanjutnya, menurut Ibnu Tufail Iskandar Alam, Kesultanan Bacan dalam menerapkan sasi sebagai bentuk etika lingkungan, pun mengalami kendala empat hal[64]. Pertama, kian meningkatnya heterogenitas/kemajemukan masyarakat di bawah Kesultanan Bacan terutama adanya masyarakat pendatang dan tidak paham konsep sasi. Kedua, makna sasi hampir tergerus di satu tempat/wilayah dikarenakan kondisi wilayah tersebut yang jauh dari pusat/ kesultanan. Ketiga, sasi masih harus berhadapan dengan aturan-aturan pemerintah yang belum memberikan keleluasaan peran masyarakat untuk berusaha di kawasan ulayat (hutan adat). Keempat, adanya cara pandang (gaya hidup) generasi muda setempat yang menuntut pendidikan tinggi, dan tanpa filter sehingga mulai meninggalkan nilai-nilai sasi. Â
Namun, selain upacara dan pesta tersebut, satu upaya pelestarian etika lingkungan menurut empat kesultanan di Maluku Utara adalah melalui sastra lisan ataupun sekadar ungkapan/pepatah lisan disampaikan kepada anak-cucu, generasi muda. Semisal, pada masyarakat Jailolo, ketika seorang anak akan mandi di sungai, maka orang tua berpesan tentang adanya mitos/boboso di sungai tersebut, sehingga sang anak akan berlaku sopan dan minta ijin (siloloa) kepada 'Tuan/Penunggu' sungai tersebut. Hal ini pun berlaku bagi masyarakat di wilayah kesultanan Bacan, Jailolo dan Ternate.
Bahkan, di Kesultanan Ternate ada sebuah tradisi sastra lisan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian ajaran-ajaran nenek moyang, termasuk kearifan lokal Kesultanan, yakni Dola Bololo/Dorobololo, Dalil Tifa, Dalil Moro, Rorasa (Bobaso se Rasai), dan sebagainya[65]. Dola Bololo atau Dorobololo adalah sepotong ungkapan terdiri dari dua bait, pernyataan perasaan dan pendapat seseorang dalam bentuk sindiran dan tamsilan. Dalil Tifa berbentuk peribahasa, merupakan pernyataan pendapat umum (warisan leluhur) bersifat petunjuk dan nasihat, diungkapkan dalam bentuk dalil yang isinya bersifat keagamaan (nilai religius). Dalil Moro hampir sama dengan Dalil Tifa, hanya kandungan/isinya bernilai nasihat kehidupan duniawi.Â
Selanjutnya, Rorasa (Bobaso se Rasai) bentuk lisan berfungsi dalam kehidupan masyarakat, syair berbentuk pernyataan perasaan, nasihat serta petunjuk. Penyajiannya dilakukan pada acara/upacara seremonial tertentu, terutama upacara adat. Rorasa merupakan prakata pada upacara adat, dan penyajiannya harus disampaikan oleh pemuka adat atau agama. Rorasa dilakukan pada acara/upacara seperti: pelantikan sultan, sidego/sinonako, penerimaan tamu agung/Joko Kaha, upacara perkawinan, jamuan makan adat, upacara penguburan sultan, dan upacara adat lainya[66].
Terkait sastra lisan tersebut, riset Syahyunan Pora, menyebutkan bahwa kearifan lingkungan hampir sebagian besar terwujud dalam sastra lisan Ternate yang merepresentasi alam (tumbuh-tumbuhan, buah-buahan ataupun lautan) sebagai simbol kehidupan yang erat dengan kehidupan masyarakat Ternate sehari-hari[67]. Bahkan sastra lisan yang berdimensi kearifan politik disimbolkan melalui alam, dimana pemimpin diibaratkan 'bunga' dan rakyat diibaratkan 'alang-alang' (kusu / kano-kano)[68]. Tradisi kelisanan Ternate mempunyai peranan tersendiri dalam kebudayaan yang dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam.Â
Dengan demikian, menurut simpulan penulis, sejatinya upacara, pesta dan sastra merupakan salah satu ikhtiar empat kesultanan di Maluku Utara dalam menjaga praktik dan pendidikan etika lingkungan kesultanan. Ajaran-ajaran kearifan lokal secara simultan senantiasa diselipkan di setiap aktivitas-aktivitas tersebut, baik secara lisan bernilai sastra, secara giat budaya (tarian) maupun melalui gerakan seremonial (pesta dan upacara). Kandungan nilai-nilai pendidikan etika lingkungan tersebut pun tak jauh dari hubungan manusia dengan sesamanya, alam dan Tuhan, Sang Pencipta, sesuai ajaran agama Islam (Tauhid).
Maka, kehidupan masyarakat di empat kesultanan tersebut, termasuk Etika Lingkungan Negeri Moloku Kie Raha, diatur dalam satu kesatuan yang tidak terlepas dari yang namanya: "adat matoto agama, agama matoto kitabullah, kitabullah matoto Jou ta'ala" atau adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab Allah, kitab Allah bersendikan Allah SWT [69].Â
Â
* Hasil Liputan Mendalam program Fellowship Environmental Citizen Journalist Program (ECJP) 2020: "Hutan dan Manusia di Timur Indonesia"
DAFTAR PUSTAKA
-----, 2009. Al-'Aliem, Al-Qur'an dan Terjemahannya Edisi Ilmu Pengetahuan, Bandung: Al-Mizan Publishing House, PT. Mizan Pustaka, cetakan ke-2.
------, 2017. Laporan Akhir Penyusunan Batas DAS Skala 1:50.000 Tahun 2017, Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Ake Malamo.
Abdullah, Mudhofir, 2010. Al Qur'an dan Konservasi Lingkungan, Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah, Jakarta : Dian Rakyat.
Attfield, Robin, 2010. Etika Lingkungan Global. Jogjakarta: Kreasi Wacana, Cet. Pertama.
Faaroek, M. Amin, 2016. "Adat dan Budaya dalam Menjaga Keserasian Sumber Daya Alam dan Lingkungan" (Makalah).
Jurnal Academica, Vol.1, No.2, hal. 222-247.
Jurnal ETNOHISTORI, Vol. III, No. 1, Tahun 2016
Jurnal SASDAYA, Gadjah Mada Journal of Humanities,Vol. 1, No. 2 (May 2017)
Jurnal STADIUM, Vol. 1., No. 1 (2016), IAIN Ternate.
Jurnal UNIERAÂ Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Mahmud, M.A., 2015 1). Ekoteologi Moloku Kie Raha, Gagasan Pengendalian Ekosistem Hutan Maluku Utara, Yogyakarta : The Phinisi Press
------, 2015 (2). Gender dan Kehutanan Masyarakat (Kajian Implementasi Pengarusutamaan Gender di Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan), Penerbit Deepublish, Yogyakarta.
Malut Post, 21 September 2016.
Murata, Sachiko, 2004, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Cetakan IX, Mizan, Bandung
Tomagola, T.A., 2006. Republik Kapling, Resist Book, Yogyakarta. Cet. Pertama.
http://busranto.blogspot.com/ 2007/11/mengenal-sastera-lisan-ternate_03.html
http://digilib.uin-suka.ac.id/19736/1/10510002_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf.
https://id.wikipedia.org/wiki/Adipura
https://jelajah.kompas.id/terumbu-karang/baca/maluku-kie-raha-dari-negeri-teluk/
https://medium.com/visual-herald/tidore-negeri-seribu-kearifan-5b879fd91e2c
https://mengenalternate.wordpress.com/2014/08/02/lambang-kesultanan-ternate/
https://www.mongabay.co.id/2016/10/09/begini-tradisi-masyarakat-kalaodi-menjaga-alam/
http://pika.ksdae.menlhk.go.id/index.php/beranda/viewberita/70
https://properti.kompas.com/read/2019/01/14/173000121/daftar-lengkap-peraih-adipura-2017-2018
https://www.infobudaya.net/2018/03/)
https://www.kompasiana.com/muharbainmahmud/5e766234d541df6abf6aa5b3/ekoteologi-akejira?page=all
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/2299
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H