Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) merupakan spirit baru bagi lembaga-lembaga Islam untuk turut serta memberikan solusi bagi bangsa terkait pengelolaan SDA.
Sebelumnya, pada tanggal 9-12 Mei 2004, kurang lebih 33 ulama dari berbagai pesantren Nusantara telah berkumpul di Pesantren Lido--Sukabumi dalam "Pertemuan Menggagas Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) oleh Ulama Pesantren". Pertemuan tersebut merekomendasikan 4 (empat) hal:
 1) agar masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, lebih aktif terlibat dalam menyebarluaskan kepedulian terhadap lingkungan, merumuskan kebijakan pengelolaan SDA, dan pengawasan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan;
2) agar para tokoh masyarakat menjadi teladan dalam mewujudkan upaya pelestarian lingkungan;
3) agar pemerintah terus menerus menggalang kerja sama dengan berbagai pihak yang kompeten untuk merancang, melaksanakan, dan mengawasi kegiatan pembangunan, demi kepentingan kelestarian lingkungan; dan
4) agar pemerintah dengan sunguh-sungguh menegakkan hukum di bidang lingkungan hidup[12].
Sejak berdiri (1975) hingga sekarang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga payung berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam telah mengeluarkan beberapa fatwa lingkungan.
Fatwa-fatwa tersebut antara lain: pertambangan ramah lingkungan[13], ijtima'Â ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang pengelolaan SDA (2006)[14], Penebangan Liar dan PertambanganTanpa Izin, Illegal Logging dan Illegal Mining (2014) [15], Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan dan Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem (2014)[16], Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan (2016). Tahun 2010, MUI pun membentuk Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLHSDA) yang bergerak dalam hal pelestarian lingkungan, pemeliharaan satwa liar, dan pelestarian tumbuhan [17].
Beberapa ormas Islam telah mengembangkan wacana Fiqih Lingkungan. Muhammadiyah melalui kitab Himpunan Putusan Tarjih menerbitkan Fikih Air dan Fikih Kebencanaan (2015)[18].
Peran Nahdlatul Ulama (NU) pada kelestarian lingkungan hidup pun cukup besar[19], antara lain: menyusun konsep fiqih sosial atau lingkungan hidup, membahas tema-tema krisis lingkungan hidup dalam bahtsul masail [20] dan membentuk Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI). Bahkan, LPBI NU telah menerbitkan buku Fiqih Penanggulangan Sampah Plastik (2019)[21].
Sejatinya, masih banyak lembaga-lembaga Islam lain yang mengembangkan dan menerapkan Fikih Lingkungan, baik secara tekstual (kajian kitab) maupun kontekstual dalam keseharian, semisal berdakwah sembari bertani, seperti dilakukan para da'i (pegiat dakwah) Hidayatullah.
Bahkan beberapa pesantren telah mengembangkan konsep Ekopesantren, yakni lembaga pendidikan berbasis agama Islam tetapi berkarakter ramah terhadap lingkungan, seperti hasil penelitian disertasi Fachruddin Mangunjaya [22], yakni Pondok pesantren (Ponpes) Buntet-Cirebon, Ponpes  Al Musadadiyah-Garut, dan Ponpes Daar El Qolam-Tangerang.
Dengan demikian, diharapkan agama (Islam) pada akhirnya menjadi solusi atas permasalahan ekologi umat manusia, sehingga benar-benar menjadi rahmatan lil 'alamien (rahmat bagi semesta). "Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS.21/al-Anbiya:107). Syukur dofu-dofu, terimakasih.
 *Bahan materi "Lokakarya Ekoteologi Antar Umat Beragama Kabupaten Halmahera Utara", 18-19 Maret 2020 yang tertunda karena adanya wabah Covid-19