Mohon tunggu...
Muhammad Firdaus
Muhammad Firdaus Mohon Tunggu... Guru - Education, Economic and Political Studies

Pembelajar yang terus belajar. Berdetak untuk bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kala Minyak Goreng Langka di Negeri Ladang Sawit

25 April 2022   07:06 Diperbarui: 25 April 2022   07:11 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan terakhir harga minyak goreng yang mulai mengalami kenaikan tepatnya di penghujung 2021 dan kelangkaan pada Februari 2022. Harga Eceran Tertinggi (HET) yang mulai ditetapkan oleh pemerintah membuat harga barang tersebut dipasaran turun. HET yang ditetapkan pemerintah menjadi penanda mulai terjadinya kelangkaan minyak goreng di seluruh wilayah Indonesia.

Pagu harga/harga maksimum (price ceiling) adalah harga tertinggi yang ditetapkan untuk barang atau jasa tertentu. Penjual tidak diizinkan menjual lebih tinggi dari harga itu. 

Pada dasarnya, setiap barang punya kesetimbangan pasar (market equilibrium), yaitu kombinasi harga dan jumlah barang yang bisa diterima baik oleh produsen maupun konsumen. Karena harga maksimum (price ceiling) merusak kesetimbangan (equilibrium). Seperti kurva penawaran-permintaan.

Harga minyak nabati dunia meningkat, peningkatan CPO untuk program biodiesel, dampak pandemi COVID-19, dan perang Rusia-Ukraina. Hal ini membuat harga kesetimbangan minyak goreng meningkat, kita bisa mengambil contoh apabila peningkatan pada harga Rp 24.000/liter

Ini adalah harga yang menarik bagi produsen untuk menjual barangnya dan tidak boleh kurang dari itu. Konsumen juga bersedia untuk membayar kenaikan harga tersebut yang artinya kedua belah pihak sepakat pada harga tersebut. Tetapi lewat Peraturan Kementerian Perdagangan (Permendag) harga ditentukan pada titik harga Rp 14.000/liter yang mengakibatkan kesetimbangan eror.

Pemerintah meminta perusahaan untuk menurunkan harga minyak goreng. Masyarakat tentu senang. Tapi tidak dengan produsen minyak goreng. Permintaan meningkat karena harga yang ditentukan oleh pemerintah pada harga Rp 14.000/liter lebih rendah dari harga yang bersedia dijual produsen Rp 24.000/liter. 

Pada akhirnya suplai menurun karena produsen enggang untuk menjualnya pada tingkat harga Rp 14.000/liter yang lebih rendah dari Rp 24.000. Mengontrol harga ke tingkat yang lebih terjangkau oleh masyarakat agar bisa membeli minyak goreng merupakan niat yang baik. Disaat yang bersamaan hal tersebut  menciptakan konsekuensi lain, yaitu kekurangan/kelangkaan (shortgage) dan pasar gelap.

Membatasi/Kontrol Harga (Price Control) tidak menjadi solusi yang efektif apabila dihadapkan oleh mekanisme pasar dimana teori permintaan dan penawaran menjadi hal yang tak terelakkan terhadap persoalan ekonomi. Justru lebih sering menciptakan masalah baru yaitu kepanikan, penimbunan, dan penyalahgunaan. 

Apabila ada antrian panjang yang terjadi, hal ini menandakan kesetimbangan eror. Salah satu indikator bahwa harga yang terbentuk terlalu murah adalah antrian minyak goreng itu sendiri. 

Permintaan jauh lebih banyak dari penawaran. Ketidak setimbangan harga dalam jangka panjang mengakibatkan harga akan ternormalisasi di harga baru dan akhirnya sulit untuk turun, sehingga beban masyarakat akan meningkat atau daya beli yang menurun karena masyarakat lebih memilih untuk berhemat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun