Program moderasi beragama yang dikumandangkan oleh Kementerian Agama (Kemenag) PERATURAN KEMENTRIAN AGAMA NO 3 2025 kini menjadi salah satu kegiatan yang sedang naik daun, khususnya di kalangan ormas Nahdlatul Ulama (NU). Beda cerita dengan Muhammadiyah yang terkesan lebih "kalem" dalam merespon program ini. Tapi, di balik hingar-bingarnya kegiatan ini, ada beberapa hal yang menggelitik untuk dikritisi.
Pertama, kita perlu bertanya, apa sih esensi dari moderasi beragama ini? Secara ideal, program ini diharapkan bisa menjadi alat untuk menjaga kerukunan antar umat beragama dan mencegah ekstremisme. Namun, kenyataannya, setelah kita amati dan cermati, materi-materi yang disampaikan dalam kegiatan moderasi ini cenderung menunjukkan superioritas agama tertentu, yaitu Islam.Â
Buat apa kita bicara moderasi kalau isinya malah bias dan memperlihatkan satu agama lebih unggul dari yang lain?
Ironisnya, jika kita perhatikan lebih dalam, program ini lebih laku di kalangan ormas NU dibanding Muhammadiyah. Kenapa? Bisa jadi karena pendekatan yang digunakan oleh pemerintah lebih sesuai dengan kultur NU yang lebih "akomodatif" terhadap tradisi lokal, dibandingkan Muhammadiyah yang terkenal dengan pendekatan puritan dan modernis. Bukan berarti Muhammadiyah menolak moderasi, tapi mungkin karena program ini terkesan hanya sekadar memenuhi anggaran dan laporan pertanggungjawaban (LPJ) Kementerian Agama.
Nah, hal kedua yang perlu disorot adalah soal materi dan pemateri. Dalam banyak acara moderasi beragama, seringkali pemateri yang didatangkan adalah orang-orang yang kurang mendalami perbandingan mazhab atau agama. Sehingga, diskusi yang terjadi jadi dangkal dan sekadar formalitas. Apakah benar ini soal "moderasi" atau sekadar proyek biar anggaran tersalurkan? Mengadakan acara moderasi dengan pemateri yang tidak memiliki kompetensi yang mumpuni, apalagi dalam isu sensitif seperti perbandingan mazhab, hanya akan melanggengkan kebingungan di kalangan peserta. Dan jangan lupa, ini juga menjadi celah untuk menciptakan persepsi bahwa pemerintah hanya "sekadar ada acara" tanpa benar-benar mengutamakan kualitas dan dampak jangka panjang.
Kesimpulan yang bisa kita tarik dari kritik ini adalah program moderasi beragama ini terkesan seperti upaya simbolis untuk memenuhi kewajiban LPJ Kementerian Agama, dengan menghabiskan anggaran tanpa memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat. Lebih parah lagi, program ini bisa jadi malah menciptakan segregasi yang lebih dalam antara ormas-ormas keagamaan, karena materi yang terlalu bias pada satu perspektif saja.
Apa yang kita butuhkan sebenarnya bukan sekadar kegiatan formalitas dengan judul "moderasi", tapi pendekatan yang lebih komprehensif, melibatkan para ahli yang benar-benar menguasai perbandingan mazhab dan agama, serta lebih inklusif terhadap semua elemen masyarakat. Kalau program ini hanya menjadi alat politik atau proyek anggaran, maka moderasi beragama akan kehilangan maknanya yang sesungguhnya.
Dan akhirnya, masyarakat kita tidak butuh pencitraan program moderasi beragama yang memihak, tapi butuh dialog yang jujur dan terbuka, yang benar-benar mendorong toleransi tanpa mengorbankan satu pihak untuk kepentingan pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H