Malam, didetik perpisahan bulan juni
01.41
Ah... Entah kapan torehan ini bertengger kepadamu.
Kucingku barusan datang dek...
Tapi langsung menghilang, ku harap itu bukan kamu.
Aku, Sang Sambudi Setyo Kusumo Diningrat.
Entah kenapa nama itu berayun di kepala, membangunkan, hanya untuk menoreh cerita.
Aku tak tau kau sempat kesal karena aku cuek, percayalah bukan begitu maksudku.
Ya... aku sang Setyo Kusumo Diningrat, melebur asa dalam satuan tekad.
Berdiri, dibanjiri oleh segala gelaan hujaman ekspektasi. Tanpa pernah ditangisi.
Menyandang hari demi hari.
Keputusan yang kadang melebur dihati, bergelut dalam kesenyapan sunyi.
Bersujud, meminta, tapi tak pernah sekalipun mendatangi. Khaliqmu, tuhanmu, juga tuhanku.
Segala ekspektasi. Di otakku mereka hanya menari.
Tanpa diiringi lagupun mereka tetap menari. Membuat gaduh, mengganggu jam terbang untuk tidur.
Dekk...
Aku sang Setyo Kusumo Diningrat, mencantumkan kata ningrat, tanpa keturunan ningrat. Terlahir dari rahim ibunya.
Aku bukan Minke,
Bergelar bangsawan, putra gubernur.
Oh ya satu lagi.Â
Jangan pernah bertanya mana puisi tentangmu.
Aku bukan Dilan, juga bukan Khahlil Ghibran.
Aku juga bukan adipati era 80-an.
Aku. Sang Setyo Kusumo Diningrat.
Aku hanya mau kamu belajar dekk...
Bukan kamu, tapi kita. Belajar berjalan.
Jangan bertanya bagaimana aku menulisnya.
Aku hanya kecanduan. Kecanduan Whiji Thukul sang penoreh cerita.
Juni, 2022
Semoga habis ini mas bisa tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H