Kompas.com, selama 2023 paling tidak terdapat 30 kasus tempat pembuangan akhir sampah (TPA) yang terbakar di Indonesia. Tumpukan sampah yang overcapacity mengeluarkan banyak metana (CH4), gas yang mudah terbakar jika terpapar panas yang berlebih.Â
Jika mengikuti pemberitaanKita meninggalkan tahun 2023 dengan duka, harusnya membuat pemerintah dan masyarakat introspeksi diri untuk memperbaiki pengelolaan sampah kita yang masih buruk. Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional KLHK, jumlah timbulan sampah Indonesia pada tahun 2023 lebih dari 17 juta ton per tahun. Dari jumlah sebanyak itu, sekitar 33 persen atau 6 juta ton sampah tidak terkelola.
Sampah-sampah yang tidak terkelola ini sangat berpeluang untuk bocor ke laut atau ke sungai-sungai yang lokasinya berada di dekat tempat pembuangan. Namun dengan bantuan angin dan arus air, sampah-sampah ini bisa menempuh jarak yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Selain itu, 18 persen dari total timbulan sampah Indonesia merupakan limbah plastik, atau sekitar 3 juta ton. Jenis sampah ini jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, apalagi jika dibiarkan bocor ke laut, akan mengakibatkan dampak buruk yang besar ke depannya. Hal itu lantaran plastik adalah material yang terbuat dari fossil fuel dan membutuhkan ratusan tahun untuk terurai secara alami.
Sebuah studi yang terbit di Jurnal Science of The Environment menyebutkan, bahwa mulai dari proses produksinya, plastik sudah menghasilkan CO2, gas rumah kaca penyebab krisis iklim. Plastik kebanyakan terbuat dari gas dan minyak bumi, dan membutuhkan energi bahan bakar fosil saat proses produksinya.Â
Kemudian saat rusak atau terpapar sinar matahari, plastik akan merilis gas metana ke atmosfer. Bahkan di akhir hidupnya, plastik tetap merusak lingkungan. Jika dibakar, tentu plastik kembali mengeluarkan CO2, dan jika ditimbun plastik akan mengkontaminasi lingkungan, mengingat material ini butuh waktu yang lama untuk benar-benar terurai.
Sampah plastik yang dibiarkan berada di lingkungan sekitar atau tertimbun di bawah tanah lama-kelamaan akan rusak dan terpecah-pecah menjadi potongan plastik kecil berukuran 1 mikron hingga 5 milimeter, yang biasa disebut mikroplastik.
Ancaman Mikroplastik Mengintai
Sejauh ini, banyak studi yang sudah membuktikan keberadaan mikroplastik. Material ukuran nano ini sudah ditemukan di lepas pantai, sungai-sungai, udara, bahkan nun jauh di antartika sana. Belum lama ini, Lembaga Kajian Ekologi dan Ecoton menemukan fakta yang mengejutkan, bahwa lima sungai strategis yang berada di lima provinsi Indonesia memiliki tingkat kontaminasi mikroplastik yang sangat tinggi. Kelima provinsi itu adalah Jawa Timur, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Tengah.
Yang lebih mengejutkan lagi, ukuran mikroplastik yang sangat kecil sangat mungkin masuk ke dalam organ tubuh biota-biota air, seperti ikan, udang, dan kepiting. Sebuah studi di Indonesia menunjukkan bahwa, ikan bandeng, udang, dan beberapa produk perikanan di Jawa Tengah mengandung mikroplastik.
Pada studi lain yang dilakukan oleh BRIN, mikroplastik sudah ditemukan di produk makanan dan minuman di Indonesia. Tentu fakta-fakta ini membuat kita berkontemplasi bahwa aktivitas-aktivitas keseharian kita dalam mengkonsumsi lalu memproduksi sampah ternyata telah membawa dampak ekologis yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.Â