Mohon tunggu...
Muhammad Zulifan
Muhammad Zulifan Mohon Tunggu... Administrasi - Pengamat Timur Tengah Dan Islam

Pengamat Timur Tengah dan Islam

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama, Negara, dan Kekerasan (?)

11 Juni 2013   16:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:12 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan tanggapan atas seminar "Agama, Negara, dan Kekerasan" seperti terangkum dalam blog berikut.

Tema seminar ini begitu sentimentil, seolah   “framing” bahwa agama itu cenderung pada kekerasan.  Bagi yang berfikir tema tersebut wajar dan biasa saja, saya ajukan padanannya: “Dosen, Mahasiswa dan Kekerasan”. Diawali dengan kata yang baik dan dikaitkan dengan kata akhirnya yang menyeramkan. Kesan dari tiga kosa kata ini adalah adanya budaya kekerasan oleh dosen dan mahasiswa. Serta merta kita akan berfikir kekerasan di kalangan dua objek di belakang kata "kekerasan" itu sudah  jamak terjadi, atau sudah menjadi fenomena. Sama-sama provokatif bukan?

Pertama, saya ingin memastikan apa maksud “agama” dalam seminar ini. Atau, agama apa yang menjadi “tertuduh” melakukan kekerasan dalam seminar  itu. Karena sebagai seorang muslim saya tidak mengakui bahwa semua agama sama. Kalau semua agama itu benar, untuk apa Nabi mendakwahkan Islam? Dan kenapa yg didakwahkan hanya Islam, bukan yang lain?

Terlebih dahulu kita harus fahami bahwa “agama” dalam Islam (lebih tepat disebut dien) sama sekali berbeda dengan “agama” dalam pengertian Barat. Dien mencakup turunan katanya; madaniyah (peradaban), seluruh aktivitas manusia, tidak hanya maslah ritual yang bersifat sacral.

Makna agama (religion) di Barat itu sangat problematik. Konsep Tuhan di Barat kini sudah hampir sepenuhnya rekayasa akal manusia. Bertahun-tahun mereka mencoba mendefinisikan religion tapi gagal. Lebih lanjut: Agama di Barat

SedangAgama Islam telah sempurna sejak diturunkan(Q.S. 5:3). Peran Ulama hanyalah menjelaskannya melalui metodologi ilmiah berdasar wahyu (al-quran) dan perkataan Nabi-Nya (hadits). Maka kita bisa menolak apapun perkataan manusia tentang Dienul Islam sepanjang bertentangandengan kedua hal tersebut.

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna. Kesempurnaan Islam itu mencakup semua aspek kehidupan, baik duniawi dan ukhrawi. Meliputi bidang ibadah, mu’amalah, syari’ah, dan akhlak kemasyarakatan. Tidak ada yang tertinggalkan dalam cakupannya, baik yang besar maupun yang kecil.

Kesalahan Dr. Donny adalah terlalu terburu-buru men-judge agama(Dienul Islam) melalui pisau analisa yang tidak tepat; menggunakan filsuf Barat yang tidak pernah berkorelasi dengan Dienul Islam. Giorgio Agamben, ia  belajar filsafat dan hukum di Universitas Roma, Italia. Sudah jelas background-nya sepeti apa. Ia suka mengkritik agama di sana. Lihat:giorgio-agamben

Perlu diingat bahwa pemikiran Para filsuf itu adalah hasil interaksi dan pengamatan atas agama mereka di Barat yang punya histori penindasan pada ilmuan dan masyarakat. Maka tidak tepat bila kritiknya pada sebuah agama diterapkan pada agama yang berbeda secara histori, teologi dan konsep interaksinya dengan masyarakat.

“Jadi, kekejaman demi kekejaman yang dilakukan oleh Gereja – sebagai penguasa agama dan politik sekaligus – melalui Inquisisi, kemudian menimbulkan trauma dan berujung pada ‘balas dendam’ terhadap insitusi Gereja  di Barat. Struktur Gereja yang memposisikan diri sebagai wakil Tuhan yang ‘infallible’ telah menyebabkan masyarakat Barat kemudian berpikiran praktis: jika agama memasuki wilayah politik maka negara akan rusak dan masyarakat sengsara. Dari sinilah lahir gagasan untuk memisahkan agama dengan politik. Jadi, sikap sekular dalam politik ini sebenarnya merupakan pengalaman sejarah Barat. Jika dikaji dengan cermat perjalanan sejarah Islam, akan tampak dengan jelas, adanya fenomena dan kondisi yang berbeda”

Selengkapnya:  inquisisi noda-hitam-sejarah

Filsuf dan ilmuwan Islam bukanlah lahir dari ketertindasan agama, justruinstitusi agama yang memberikan ruang seluasnya pada ilmuan untuk mengembagkan ilmu dan teknologi. Dalam sejarah Islam, justru institusi agama Islam (kekhalifahan Abbasyiyah) menunjang penelitian mereka denganberbagai fasilitas. Maka tak heran melalui jasa pemerintahan Islam, tercipta kemajuan teknologi dan terbangunnya perpustakanAl Hikmah yang terbesar pada zamannya. kemajuan-sains pada-masa-kekhifahan-islam

Hal berbeda dialami ilmuwan Barat. Dalam Agama Barat itu, banyak ilmuan dihukum mati ataupun bakar hidup-hidup karena hasil temuannya berlawanan dengan isi alkitab. Galileo galilei, satu diantara para ilmuan korban kesewenangan agama di Barat karena teori heliosentris, yang dikembangkan sampai saat ini. lihat: galileo-potret-buram-gereja-dan-alkitab

Karenanya, dienul Islam tidak bisa ditafsirkanoleh mereka yang tidak punya kompetensi metodologi ilmiah hukum Islam, lebih-lebih tidak pernah mempercayai wahyu. Bagaimana mungkin kita menggantungkan penafsiran keyakinan kita ( dienul Islam) ini pada mereka yang seumur hidupnya tidak pernah tersentuh air wudhu sekalipun.Ibarat memintakan tafsir UUD 1945 pada Pengadilan asing. Tentu salah alamat. Dan inilah kesalahan terbesar ahli filsafat di Indonesia dalam memandang agama (Islam) dengan memakai pandangan filsuf Barat yang punya trauma tersendiri pada agama mereka.

Islam punya metodologi tersendiri dalam pentafsiran konsep ajarannya. Hierarki sumber hukum Islam adalah Al-Quran, Hadits , Ijma, dan Qiyas. Dan inilah metodolgi keilmuan dalam Islam. Manusia yang paling mengerti tentang ajaran agama Islam adalah Nabi Muhammad SAW, karenanya, siapa yang paling banyak menghafal hadits, makin faqih orang itu terhadap Agama ini. Sedang para filsuf Barat itu tak satupun hadits yang mereka hafal, bagaimana mungkin kita merujuk kepada mereka?

Disiplin ilmu hadits dikenal sebagai disiplin ilmu yang paling ketat, terutama dalam penyeleksian rawi (periwayat hadits). Karenanya kita kenal hadits Shahih (valid), hasan, dhoif (lemah) maupun maudhu’ (palsu). Di dalam ilmu ini kita mengenal sanad. Sanad adalah rangkaian perawi (periwayat) yang menyampaikan kepada nash hadits. Seorang yang pernah berbohongsedikit saja, sudah pastihaditsnya tidak diterima.

Saking ketatnya ilmu ini, jika diperlakukan metode yang sama pada periwayatan Sejarah Eropa, niscaya semua sejarah Eropayang kita baca sekarang ini tak satupun bisa dipercaya. Karena seorang periwayat hadits harus punya sifatadil,  yakni memenuhi empat syarat : (1). Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat. (2). Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun. (3). Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibtkan penyesalan. (4). Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara.

Dan syarat adil in bisa gugur karena:(1). Diketahui dusta. (2). Tertuduh dusta. (3). Fasik. (4) Tidak dikenal (jahalah) (5). Penganut sekte bidah yang terang terangan dan bersangatan membela paham bidahnya.      Lihat :  hadis

Adakah filsuf atau sejarawan Barat yang punya kulaitas keadilan seperti di atas?

Berikut kritik saya atas beberapa poin:

1. " Kita harus mengakui bahwa agama memiliki potensi kekerasan yang laten."

Potensi kekerasan ada pada setiap individu manusia itu sendiri. Dari sejarah kita belajar, manusia dikenal sebagai makhluk yang mengalirkan darah satu sama lain. Justru kehadiran agama (Islam) mengatur kehidupan manusia agar damai ( sesuai turunan kata Islam; silm yang berarti damai), menjadi pemersatu setelah sebelumnya bangsa Arab terpecah belah dan penuh perbudakan.

Kekerasan yang terjadi disebabkan oleh multi- variable (social budaya, ekonomi, pendidikan, dll) termasuk di dalamnya ketidaktaan pada Majelis Ulama yang jelas-jelas melarang tindak kekerasan pada pengikut aliran sesat sekalipun.

2." Sedari awal, agama adalah gerakan separatisme. Ia memiliki kebiasaan memisah-misahkan antara yang sakral dengan yang profan (yang non-sakral). Contohnya, batas suci di masjid atau holy water dan natural water."

Islam mengenalkata al-furqon (pembeda) yang merupakan nama lain Al-Quran. Al-quran adalah pembeda antara yang haq (true) dan bathil (false). Bukan separatism. Bahwa membunuh, mencuri harta orang lain, berzina semua hal itu dibedakan dengan perilaku terpuji bersedekah, menikah, dan menolong orang lain.

Dalam masyarakat yang tidak memperdulikan potong kuku dan kebersihan badan , Islam hadir memberikan syariat mandi wajib, potong kuku, gosok gigi, memakai parfum, bercelak, menyisir rambut, dst. Airpun di kategorisasikan dari yang layak dan bersih untuk digunakan dan yang berpenyakit. Ajaran kebersihan inilah yang bermanfaat, hingga mau tidak mau seorang muslim akan bersih-bersih diri (bersuci) minimal 5 kali sebelum ibadah sholat 5 waktu . Kitab-kitab fiqh Islam pun senantiasa diawali dengan Bab  Thaharoh (bersuci) sebagai awal pembahasan (bab I) sebelum membahas fiqh lainnya. Tak ayal, hanya agama Islam yang mengatur penggunaan air dan membaginya dalam berbagai kategori mulai  yang bersih (suci) sampai yang kotor (najis).Lihat: Pembagian-dan-jenis-air

3. " Donny Gahral memberikan contoh hal profan yang sangat bertentangan dengan agama, yaitu, perang. Tidak ada satu pun dari 99 nama Tuhan versi Islam yang membenarkan perang. Akan tetapi, mengapa ada the Holy War? Perang yang sangat profan bahkan diputihkan oleh ekspansionisme."

Nampaknya pembicara terlalu terburu-buru memaknai syariat dengan hanya 99 asma'ul husna. Sejak kapan asmaul husna menjadisumber hukum Islam? Syariat tentang perang itu ada dalam Al-Quran dan hadits, terutama bagi mereka yang dijajah. “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yg diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”., (Q.S Al Hajj: 39).

Jika lebih jeli melihat, pada Asmaul husna itu pembicara dapat temukan sifat “ketegasan” seperti kata : (1)Al-Mudzil: ( المذل ) Maha Pemberi kehinaan, yakni kepada musuh-musuh-Nya dan musuh ummat Islam seluruhnya. (2) Adh-Dhaar: ( الضار ) Maha Mendatangkan Mudharat / Maha Pembuat BahayaMaha Pemberi bahaya, yaitu dengan menurunkan sisksa kepada musuh-musuh-Nya

Islam sebagai agama yang kaffah (sempurna) tentu mengatur mengenai semua dimensi kehidupan, tak terkecuali tata cara berperang. Islam satu-satunya agama yang mengatur etika dalam berperang: etika-perang-dalam-islam

Karenanya, pada masa penjajajah Belanda dan Jepang, Umat Islam berada pada garis terdepan dalam mempertahankan merah putih. Hal itu salah satunya karena perintah berperang melawan mereka penjajah yang berlaku dzalim

Itu pula yang menjadikan Ulama Indonesia dahulu kala mengelurkan fatwa jihad waktu perang kemerdekaan yakni Fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama. Bisa dibayangkan jika ajaran ini perangini dicabut, mungkin sampai saat ini kita masih terjajah karena dilarang berperang.

selengkapnya: jasa-ulama-dalam-kemerdekaan-indonesia.

4. " Lalu, apa akibatnya bagi mereka yang menolak ekspansionisme? Ia menjadi musuh Tuhan (the enemy of God). Karena sakralisasi dinilai sebagai God’s project yang dilakukan oleh human-being, siapa pun yang melawan dianggap sebagai musuh Tuhan. ……"

"….Inilah sebab mengapa kekerasan atas nama agama selalu berulang: the enemy of God has to be destroyed. Bukan lagi diajak kembali ke ‘jalan yang benar’, namun ia harus dimusnahkan."

Tidak ada fatwa MUI yang memerintahkan pemusnahan ataupun penyerangan. Kalaupun  terjadi kerusuhan, hal itu seharusnya ditinjau dari analisa multi-perpektif; kurangnya pendidikan, situsai sosial, peran aparat desa, polisi dan Negara.

Mengenai Ahmadiyah, kembali pembicara menggunakan paradigm filsuf Barat yang trauma akan agama mereka untuk menilai Lembaga Agama Islam. Dalam tradisi Barat, agama adalah sesuatu yang private, hanya urusan pribadi dengan Tuhan sang individu, orang lain tidak boleh ikut campur. Karenanya, masyarakat Barat bebas menjadikan sesuatu menjadi agama: sex, science, kata, dst. Hingga jikalau mau, pulpen pun bisa menjadi tuhan mereka.

Islam mengenal kata “jamaah” dan “ulil amri”. Jamaah sebagai entitas kesatuan umat dan ulil amri sebagai entitas pemegang kekuasaan. Meski konteks NKRI kini, kata “ulil amri” sebagai pemutus urusan ummat Islam menjadi absurd karena bercampur dengan system non- Islam. Apakah pemerintah kita layak disebut ulil amri itumasih diperselisihkan.

Seperti yang telah kita ketahui,muslim senantiasa bersandar pada prinsip ahlussunnah wal jamaah. (sesuai sunnah Nabi dan Jamaah). Lebih lanjut baca: Klaim Ahlussunah Wal Jamaah

“La Islam illa bil jamaah” sesungguhnya tidakada (tidak akan terwujud) Islam kecuali dengan berjamaah. Pemahaman tentang agama ( Islam) tidak bisa diobral sesuka hawa nafsu pribadi seperti terjadi di barat. Keputusan krusial agama Islam senantiasa diputuskan melalu mekanisme syuro. Seperti disebur dalam Q.S As Syuro ayat  38: "Wa amruhum syuro bainahum" (perkara “agama” mereka diputuskan berdasarkan syuro/musyawarah). Dari sanalah urgensi adanya Dewan syuro(atau Majelis Syuro) , sebagai institusi yang memutus perkara umat.Dan setiap ormas di Indonesia punya lembaga syuro sebagai pemutus tertinggi persoalan-persoalan ummat (jamaah). Muhammadiyah dengan MajelisTarjih-nya, NU dengan Bahstul Masail-nya, termasuk PKS dengan Majelis Syuronya.

MUI adalah representasi jamaah karena berisi perwakilan dari ormas-ormas Islam di Indonesia. Layaknya Mahkamah Konstitusi, yang berhak memutus UU ataupun institusi mana yang menyalahi UUD 1945, MUI pun punya fungsi yang sama. Tidak semua orang bisa menafsirkan agama ini semaunya, sama seperti tidak semua WNI bisa menafsirkan UUD semau hawa nafsunya. Pendek kata, tidak bisa agama (Islam) ini dileberalkan penafsirannya. Selanjutnya: Metafor Liberal Agama.

Jika kita bisa dibilang salah ketika menuliskan “apotik”, karena yang benar “apotek” oleh lembaga bahasa dan KBBI-nyadengan dalih keaslian dan kebakuan bahasa, apatah lagi masalah sekrusial agama. Mengapa tidak boleh ada instutusi yang menjaga keasliannya?

Jika Negara ini punya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, maka agama Islam punya Al-quran sebagai sumber hukum tertinggi itu.

Jika penafsiran terhadap UUD 1945 itu diamanahkan hanya kepada Mahkamah Konstitusi, maka (berdasar ajaran Islam, bukan agama Barat) penafsiran terhadap Al-Quran itu diamanahkan kepada ulama, karena al ulama warastasul anbiya (ulama dalah pewaris para Nabi.)

Jika ada mekanisme dan persyaratan menjadi hakim konstitusi, maka begitu pula dalam Islam, ada mekanisme dan persyaratan untuk menjadi anggota Majelis Syuro, termasuk menjadi anggota Dewan Fatwa MUI. Tentu keduanya (MK dan MUI) sangat mempertimbangkan latar pendidikan, kepakaran dan track record hakim/ulama yang direkrut.

Jika MK sah dan legal untuk memutus untuk dibubarkannya BP Migas dengan dalil bertentangan dengan UUD 1945 (misalnya), atau memenangkan salah satu calon di Pilkada demi UU, maka (sekali lagi, sesuai ajaran islam, bukan agama Barat), MUI bisa memutus Ahmadiyah, LDII, NII KW IX, dan sekte sejenis sebagai aliran yang bertentagan dengan UUD Islam (Al-Quran dan Hadits).

Jika dalam hal setelah MK memutus calon yang menang Pilkada terjadi kerusuhan, kekerasan dan pembunuhan antar pendukung, hal itu tidak bisa disandarkan pada MK. Atau dikatakan MK ikut andil menganjurkankekerasan dalam Pilkada. Dan serta merta kita buat seminar bertajuk“MK, Kekuasaan dan Kekerasan”, dan kita amini kalimat:“ Kita harus mengakui bahwa MK memiliki potensi kekerasan yang laten?” Tentu hal yang menggelikan.

Maka begitupula Jika MUI memutus salah-tidaknya sebuah ormas berdasarkan sumber hukum tertinggi (Al-Quran). Mengapa hanya hal ini yang dipermasalahkan para filsuf? Bukankah lebih banyak korban akibat kerusuhan di Pilkada yang hampir tiap minggu ada di tanah air?

5. " mereka berambisi membanjiri segala dimensi yang profan dengan sakralitas. Dengan nada bercanda dan diiringi tawa peserta seminar, Donny Gahral berkata, toilet yang profan itu bisa saja dijadikan toilet syariah berdasarkan peraturan daerah. Syariatisasi adalah salah satu bentuk dari sakralisasi, ujarnya."

Term “syariah” dalam konteks penamaan Ekonomi (misalnya) adalah untuk membedakan konsep Kapitalis Barat yang di dalamnya terdapat unsur penindasan (dhulm). Dari sini terlihat justru agama (Islam) sangat anti anti kekerasan dan penindasan.Bisa kita lihat misalnya pada syaratsyariat jual beli yang dilarang yakni karena ada unsur ketidkpastian (gharar) kedaliman (dzulm) dan riba (kelebihan pembayaran).

Seluruh sisi kehidupan diatur oleh Islam, tak terkecuali toilet. Karenanya ada konsep Thaharah yang mencakup kebersihannya, adab ketika berda di dalamnya, termsuk doa sebelum dan sesudah darinya. Sedang penamaan, itu biasanya terkait ijtihad pembedaan dengan konsep ideologi yang bathil. Perbankan Syariah untuk membedkan dengan Perbankan Ribawi Kapitalis.  Dan, tidak semua hal di dunia ini perlu di-ijtihad-kan dengan penamaan "syariah" tadi.  Yang terpenting adalah subtansi  konsep Syariah termanifestasikan.

Saya akhiri tulisan ini dengan mengajak pembaca untuk merenungkan  kata-kata Cak Nun berikut:

Orang-orang non-Muslim, terutama kaum Kristiani dunia, mendapatkan previlese dari Tuhan untuk mempelajari Islam tidak dengan membaca Al-Quran dan menghayati Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, melainkan dengan menilai dari sudut pandang mereka.”

Salam Damai....0_o..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun