Tindak pidana pencucian uang (TPPU) merupakan kejahatan serius yang mengganggu stabilitas ekonomi dan demokrasi. Kompleksitas TPPU membuat penegakannya menjadi tantangan tersendiri.
Salah satu mekanisme yang digunakan untuk mempermudah pembuktian TPPU adalah praduga bersalah (presumption of guilt), yang diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang TPPU.
Pasal ini menyatakan bahwa terdakwa TPPU dapat dibebani kewajiban untuk membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang disangka berasal dari tindak pidana.
Ketentuan ini menimbulkan pro dan kontra, terutama terkait dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Pengertian Presumption of Guilt dalam TPPU
Praduga bersalah dalam TPPU berarti terdakwa diasumsikan bersalah terlebih dahulu jika tidak dapat membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang diduga berasal dari tindak pidana.Mekanisme ini membebankan beban pembuktian terbalik kepada terdakwa, berbeda dengan asas praduga tak bersalah di mana jaksa yang harus membuktikan dakwaannya.
Argumen Pendukung Presumption of Guilt
Pendukung praduga bersalah dalam TPPU berargumen bahwa mekanisme ini diperlukan karena:
- Kompleksitas TPPU: Bukti sering kali disembunyikan atau dikaburkan oleh pelaku, sehingga sulit dilacak oleh aparat penegak hukum. Praduga bersalah membantu meringankan beban pembuktian jaksa.
- Efektivitas Penegakan Hukum: Praduga bersalah dianggap dapat mempercepat proses penyelesaian kasus TPPU dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum.
- Pencegahan TPPU: Mekanisme ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya TPPU di masa depan.
Kekhawatiran terhadap Hak Asasi Manusia
Penerapan praduga bersalah dalam TPPU menimbulkan kekhawatiran terhadap pelanggaran HAM, di antaranya:
- Pelanggaran Asas Praduga Tak Bersalah: Asas praduga tak bersalah merupakan hak fundamental yang dilindungi dalam berbagai instrumen HAM internasional dan nasional. Praduga bersalah dikhawatirkan dapat melemahkan asas ini.
- Stigmatisasi dan Diskriminasi: Terdakwa TPPU yang belum terbukti bersalah berpotensi mengalami stigmatisasi dan diskriminasi dalam masyarakat.
- Potensi Penyalahgunaan Kewenangan: Mekanisme praduga bersalah dapat disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat seseorang tanpa bukti yang cukup.
Mencari Keseimbangan antara Penegakan Hukum dan HAM
Penting untuk mencari keseimbangan antara upaya penegakan hukum TPPU yang efektif dan perlindungan HAM.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Memperkuat Kapasitas Penegak Hukum: Meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum dalam menyelidiki dan membuktikan TPPU tanpa perlu menggunakan praduga bersalah secara berlebihan.
- Memperjelas Ketentuan Hukum: Memperjelas dan mempersempit cakupan penerapan praduga bersalah dalam undang-undang.
- Memperkuat Mekanisme Pengawasan: Membangun mekanisme pengawasan yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan praduga bersalah.
- Meningkatkan Kesadaran HAM: Meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia dan pentingnya penegakan hukum yang adil.
Jadi pada intinya, praduga bersalah dalam TPPU merupakan mekanisme yang kontroversial dengan potensi manfaat dan risiko bagi penegakan hukum dan HAM. Upaya untuk mencari keseimbangan antara keduanya sangatlah penting untuk memastikan penegakan hukum TPPU yang efektif dan adil, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian UangÂ
- Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Putusan Nomor 42/PU/XII/2003 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian UangÂ
- Komnas HAM Republik Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H