Mohon tunggu...
Muhammad Zaki Fathullah
Muhammad Zaki Fathullah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Mahasiswa

Bocah Desa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Karam

28 Juni 2023   08:11 Diperbarui: 28 Juni 2023   08:53 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dik Kikim merupakan seorang yang tersohor di kost- an kami. Setelah dua bulan terpilihnya beliau sebagai ketua kelompok organisasi mahasiswa SURAT (Suara Rakyat Tertinggal), banyak mahasiswa asal daerahnya yang datang kepada beliau untuk belajar menjadi seorang singa di tengah forum mahasiswa layaknya beliau.

Tapi setelah beliau memberikan sebuah wejangan kepada Mas Adi beberapa waktu lalu, sekarang Dik Kikim tak seperti biasanya. Dia tampak murung. Tak banyak bicara. Biasanya beliau selalu melibas habis orang yang sok hebat dihadapannya. Ada apa gerangan? Mimpi apa beliau semalam?

Semua teman kost ku menjadi gusar. Melihat pemandangan yang kurang elok ini membuat sebagian Kakak-kakak di kost-an ku mencoba mencari tahu tentang apa yang telah menimpa pimpinan kami itu.

"Dik Kikim kenapa? Kok kayaknya berubah? Apa yang terjadi Dik? Apa Dik kehabisan uang? Atau Dik sedang punya masalah dengan kolega atau keluarga?" tanya Mas Ninto kepada Dik Kikim yang sedang asyik duduk dipojok lapangan futsal kesukaannya.

"Nin, apakah langit akan menangis jika suatu saat matahari yang senantiasa menyinarinya hilang bersamaan datangnya kegelapan? Adakah sesuatu yang dapat mencegah kepergian matahari disore hari, Nin? Ataukah Bulan mampu bersinar lebih terang layaknya matahari diwaktu Dzuhur? Entahlah Nin, sekarang aku merasa bahwa dunia sedang tidak baik-baik saja. Ku rasa hidup sangat kejam. Dia tak pernah melihatku sedikitpun. Aku dah lelah, Nin." Ucapnya kepada Mas Ninto; seorang kakak kelasnya.

"hihihihihihi............... ternyata Dik Kikim lagi berada di fase proses senja. Dik, bulan tidak akan mampu bersinar layaknya matahari disiang trik. Memang tak ada yang bisa mencegah kepergian sang mentari Dik. Dan memang benar bahwa langit sedang bersedih ketika sang surya meninggalkannya. Langit menyampaikan kesedihannya lewat mega-mega merah yang bertebaran dibarat ketika kehadiran Maghrib tak banyak yang suka. Tapi asal Dik Kikim tau bahwa hal itu akan berlalu seiring izin dari sang waktu. Bukankah dengan bulan kita bisa merasakan kesunyian yang dapat mengantarkan kita pada ketenangan jiwa? dan itu sekali lagi tak dimiliki sang surya meski dia memiliki sinar yang begitu terang benderangnya. Berbahagialah orang-orang yang dapat memaksimalkan waktu malamya Dik.

Kehidupan kadang tak sesuai ekspetasi. Tak semulus intuisi. Ingatkah engkau tentang kisah sang pipit yang bekerja keras membangun sarangnya. Ketika pekerjaan hampir selesai, badai angin datang menyapu habis tempat yang akan menjadi rumah baginya. Ditengah kesedihannya, Tuhan mengirim sosok Malaikat untuk menemuinya. Si Malaikat hanya menyampaikan bahwa janganlah bersedih wahai burung pipit. Sesungguhnya nanti akan ada seekor ular kesana. Jika engkau berada disana, maka engkau akan menjadi santapan siang si ular itu. Tak lama kemudian Si Malaikat itu menunjukkan pada si pipit tempat yang rencananya akan dibangun sarangnya itu. Si pipit melihat dengan seksama. Dan benar saja, seekor ular datang menghampiri sisa-sisa reruntuhan sarang yang pipit kumpulkan itu. Kemudian Sang Malaikat berkata kepadanya "apakah engkau Dikih tidak akan bersyukur akan peristiwa ini wahai burung pipit?". Kemudian si pipit mengucapkan kalimat hamdalah bersamaan Malaikat tersebut "Alhamdulillah".

Kadang Dia mengambil orang-orang yang kita cintai bukan karena Dia benci sama kita. Kita diajarkan oleh-Nya untuk tetap bisa berdiri meski tanpa pegangan dan tumpuan. Cukup Dia-lah tempat tumpuan yang Maha Kekal. Yang ke-kekalan-Nya tak kan lekang oleh waktu yang menurut Dik Kikim sangat kejam itu." Kata Ninto sambil merapikan songkok nasional yang menjadi ciri khasnya sejak di pesantren dulu.

"Tapi Mas Nin............" Dik Kikim coba memberi bantahan.

"Tunggu Dik." Sanggah Mas Ninto sebelum adik tingkatnya memberi jawaban yang panjang nantinya. "Aku rasa kau sedang berada dalam suatu perasaan yang nantinya dapat menghantarkanmu ke situasi yang tak semua orang mengetahuinya. Ada tiga hal yang perlu kau perhatikan. Pertama, berdebat. Berdebat merupakan sesuatu yang sangat bodoh untuk dilakukan Dik. Dik Kikim sangat kami akui sangat lihai dalam perdebatan yang telah Dik Kikim lakukan di kancah regional maupun nasional. Tapi jujur saja ya Dik, aku sangat gak suka jika Dik Kikim mendebat setiap hal yang berlalu dalam kehidupan ini. Seperti kemarin Dik Kikim berdebat dengan Budi, hanya karena Budi lupa membawa handuk pas mandi siang. Setelah itu Dik Kikim berdebat dengan Pak Roy Warek III, hanya karena Dik Kikim tidak diizinkan pergi ke Bali untuk menghadiri undangan study tour dari salah organisasi mahasiswa disana, meski aku tau kalau Bali adalah tempat impian Dik Kikim. Dan malamnya sebelum diskusi rutin, Dik Kikim juga mendebat anak kost baru yang bernama Jayadi asal Maluku itu, hanya karena dia tidak suka makanan asal daerah kita.

Sudahlah Dik, jangan mendebat hal-hal yang tak penting. Memang betul bahwa manusia merupakan makhluk yang suka mendebat. Hal tersebut sudah diisyaratkan dalam Kitab Suci aku dan juga Dik dalam QS. Al-Kahfi ayat 54. Tapi yang perlu diingat bahwa, Al-Qur'an juga mensyaratkan bahwa jika berdebat haruslah dengan cara-cara yang baik. Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. An-Nahl ayat 125. Dan aku lihat dari perdebatan yang Dik lakukan kemarin, banyak kata-kata kotor yang menjadi pelajaran buat diperbaiki lagi. Seperti kata-kata toxic yang sempat Dik ucapkan kemarin.

Berdebat boleh saja Dik. Asal sesuai tempat dan keadaan. Perlu diingat Dik, debat itu mengeraskan hati. Jika Dik memerhatikan di layar Tv, orang-orang yang sering debat di layar kaca itu, adakah diantara mereka yang mempunyai hati yang lembut? Jika debat sudah menguasai jiwa, maka siapapun yang memberikan Dikukan, maka akan terpental dengan sepontan. Layaknya pribahasa Madura "padena aing ojhen geggher ka bhelling, nampes". 

Kedua, berjuanglah, tapi jangan lupa beristirahat. Jika Dik Kikim punya keinginan, perjuangkan Dik. Tapi jika Dik merasa lelah, istirahatlah. Jangan paksakan jika sudah lelah. Hal itu bukannya membuat yang Dik Kikim capai, tapi malah bisa membuat semuanya hancur berantakan. Kebugaran tubuh juga diperlukan dalam setiap hal.

Coba renungkan saat Dik Kikim masih SD, SMP dan SMA. Tujuan sekolah selama itu tak lain hanyalah lulus dan ijazah. Meskipun ilmu juga sangat penting daripada dua hal itu. Tapi apakah selama 6 jam Dik sekolah, apakah disekolah Dik Kikim hanya duduk saja belajar tanpa melakukan kegiatan lainnya? Tentunya tidak kan Dik? Dik Kikim juga butuh istirahat, makan, bermain bersama teman yang lain, atau bahkan Dik Kikim sesekali pernah menggoda Fatimah putri bapak Sadrun itu kan. Lain lagi liburan tiap minggunya. Tak mungkin selama satu bulan, satu semester, atau satu tahun Dik Kikim hanya sekolah terus tanpa ada jeda buat istirahat. Itu semuanya merupakan rangkaian hidup Dik. Bekerjalah, tapi jika engkau lelah istirahatlah bukan lalu menyerah.

Tidak Dik, hidup itu tidak kejam. Hidup itu tak sejahat yang Dik Kikim rasakan sekarang. Bisa saja masalah apapun yang Dik Kikim hadapi sekarang adalah suatu rangkaian surprise dari Tuhan Semesta Alam yang telah dipersiapkan. Jika Dik Kikim berhasil melewati ujian-Nya, maka Dik Kikim layak mendapatkan hadiah yang telah Dia persiapkan. Percayalah Dik, Dia adalah Dzat Yang Maha Memberikan Kejutan kepada hamba yang dikehendaki-Nya dan meskipun hamba-Nya kadang tak menduganya Dik.

Ketiga, Kun Anta. Jadilah diri Dik Kikim sendiri. Jangan memaksakan diri menjadi orang lain. Kita kadang sibuk dengan haluan fana kehidupan orang lain yang kita rasa mereka lebih beruntung daripada kita. Coba sesekali tanya kepada orang yang kita anggap lebih beruntung daripada kita; uangmu ada? Siapa yang memberikan orang tuamu uang untuk kau belanjakan sekarang? Apakah orang tuamu sehat? Apakah orang tuamu sedang bekerja dibawah tekanan orang lain? Dan seterusnya. Menjadi diri sendiri penting. Kau lebih leluasa untuk memetik bintang yang jauh disana tanpa ada batasan dari siapapun. Belajar dari orang lain penting. Tapi jadi diri sendiri itu jauh lebih penting.

Kita hanya bisa mengambil ibrah dari orang lain, mengikuti kiat-kiat hidupnya, cara buat sukses seperti mereka, tapi bukan malah menjadi sepertinya. Aku tak bisa menjadi Dik Kikim, dan sebaliknya. Kita mempunyai alis yang sama, tapi model dan lekungan yang berbeda. Tak usah sibukkan diri berpenampilan seperti teman-teman yang lain. Ingat hidup tak selucu itu. Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata:

Jika kau dapat bertemu dengan Jati dirimu meski hanya sekali, 

maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu. 

Wajah dari Yang Maha Tersembunyi, 

yang ada di luar alam semesta ini, 

akan nampak pada cermin persepsimu.

Oh iya Dik, sebelum aku pergi, aku hanya ingin memberitahumu tentang ini" sembari Mas Ninto mengirim pesan berita kepada Dik Kikim yang baru saja ia (Mas Ninto) baca lima menit sebelum menemui Dik Kikim.

"Semoga kau bisa melaluinya dengan cepat. Dan yakinlah, Allah bersama orang-orang yang berusaha. Wassalamualaikum" ucap Mas Ninto sambil lalu hilang dari lapangan futsal.

"Waalaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuh" Sambil  lalu membuka pesan yang Mas Ninto kirimkan itu.

Alangkah terkejutnya Dik Kikim setelah membaca berita itu dengan seksama. Kapal yang telah di-booking-nya lima hari sebelum menemui Pak Roy itu mengalami karam disebelah Timur Laut daerah Asembagus Situbondo. Tak ada korban jiwa dalam peristiwa itu. Sebanyak 280 penumpang dan awak kapal berhasil diselamatkan oleh Tim SAR gabungan tepat Enam jam sebelum itu.

Setelah membaca berita itu, Dik Kikim memejamkan mata dan memperbanyak istighfar. Sesekali dia melafalkan Alhamdulillah 'ala kulli haal, sebelum akhirnya dia meninggalkan lapangan futsal terus mengambil air  wudhu' dan akhirnya sholat Dhuha sebagaimana rutinitasnya selama di Pesantren dulu.

***

28 Juni 2023 (02:00 WIB)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun