Mohon tunggu...
Muhammad Zainuddin Badollahi
Muhammad Zainuddin Badollahi Mohon Tunggu... Peneliti muda -

Mahasiswa UNHAS jurusan Antropologi, Program Master ilmu Sosial Politik jurusan Antropologi di UNHAS. Hobi : Membaca, Nulis, Fotografi, Traveling, Diskusi. Menjadi Konsultan adalah salah satu cita-cita ku. Menjadi seseorang dengan penuh tantangan dan menjadi seorang penelitian adalah hal yang menarik buat ku.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Desa Bebas Asap Rokok

31 Oktober 2014   02:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:06 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bone-Bone, desa yang berada dalam wilayah Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang terletak pada ketinggian ±1400 meter dari permukaan laut.Desa ini sebenarnya relatif terpencil karena berada pada ujung jalan desa yang sempit di lereng-lereng gunung yang membentang dari desa Malua ke kaki gunung Latimojong. Namum demikian, nama desa Bone-Bone kemudian begitu dikenal khalayak, dan bahkan kemudian mengglobal karena keunikan masyarakatnya yang berani menabuh genderang perang melawan kebiasaan merokok dan memenangkannya.

Letaknya yang berada pada ketinggian lereng gunung, dengan lingkungan alam yang asri serta udara pegunungan yang dingin, menyebabkan predikat sebagai desa sehat yang bebas  asap rokok, bukan suatu usapan jempul. Bahkan kedepan, desa Bone-Bone  dapat men kadi desa ekowisata, karena ekosistem hutannya yang relatif masih utuh, dan selama ini, desa Bone-Bone menjadi salah satu perlintasan bagi para pendaki gunung yang akan melakukan pendakian ke gunung latimojong.
Berkunjung ke desa Bone-Bone, memang harus dicapai melalui jalur wisata Tana Toraja yang jaraknya ±60 km dari Cakke. Kota kecil yang menjadi tempat pembelokan ke kearah Baraka, melalui jalan-jalan beraspal yang agak rusak di telan usia.
Perjalanan menuju desa Bone-Bone, setelah Baraka masih harus diteruskan melalui desa Malua. Dari desa Malua ke desa Bone-Bone yang berjarak ±15 km. sebenarnya dapat di tempuh dengan kendaraan  beroda empat, hanya saja karena jalanan yang sempit di lereng-lereng gunung dengan jurang yang dalam, menyebabkan nyali untuk menggunakan mobil menjadi ciut. Nampaknya, lebih aman dan sensasional menggunakan sepeda motor. Untuk mencapai desa Bone-Bone di perlukan waktu tempuh lebih dari satu jam, melintasi jalan-jalan sempit di desa Tirowali, desa Salukanan dan desa Kendenan. Menghadapi limba desa tahun 2012, infrastruktur berupa jalan desa menuju desa Bone-Bone sementara diperbaiki. Bahkan di desa Salukanan, sudah terdapat  jalan beton sepanjang beberapa kilometer. Yang membentang pada lereng-lereng gunung dan perbukitan. Letaknya yang terpencil diketinggian, menyebabkan akses kedesa ini masih relatife sulit. Jalan-jalan desa selebihnya relatif sempit yang sebagian masih berupa jalan Tanah atau jalan yang telah dikeraskan dengan sirtu, harus dilalui dengan hati-hati.
Pada masa lalu, perjalanan dari Baraka ke Bone-Bone yang berjarak  ±24 km, hanya dapat di tempuh dengan berjalan kaki atau  kuda tunggangan, serta kuda beban selama ±4 jam. Namun demikian perjalanan yang memerlukan waktu  cukup lama, disebabkan karena perjalanan harus dilakukan menyusuri lereng-lereng gunung yang terjal pada jalur sempit dan meliuk-liuk dengan medan pendakian dan penurunan. Perjalanan pada medan dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi menimbulkan sensasi tersendiri , terutama bagi mereka yang baru mengunjungi desa Bone-Bone.
Saat ini dengan menggunakan sepeda motor, perjalanan yang tadinya lebih lama, dapat ditempuh lebih cepat dengan waktu tempuh  ±1 jam. Sebenarnya, dengan perbaikan jalan yang di jumpai di desa Salukanan  dengan kondisi jalan beton beberapa kilo meter, kendaraan roda empat pun biasa melaluinya. Tetapi pada kondisi jalan sirtu, gerak yang sempit dengan kondisi jalan yang rawan lonsor, kendaraan roda empat sangat beresiko. Diperlukan sopir terlatih yang sudah punya pengalaman melalui kondisi jalan seperti itu. Melihat jalur jalan yang sempit meliuk-liuk di lereng-lereng perbukitan dan gunung-gunung serta jurang yang menganga disisi lain, memjadikan suasana perjalanan sangat mencekam mendebarkan. Walaupun demikian, perjalanan yang sensasional selama dalam perjalanan, terasa sirnah oleh hembusan angin pegunungan yang sejuk dengan fenomena alam yang menarik. Pada lembah-lembah yang telah dijadikan persawahan bersusun, (trasering) sehingga tampak begitu indah dan menabjubkan. Semantara itu suasanya perjalanan begitu hening dan hanya terganggu oleh suara mesin sepeda motor, yang terkadang berpapasan, menyebabkan pengendara harus saling memberi jalan agar perjalanan dapat lebih mampu sampai ditempat tujuan. Di desa Salukanan, hamparan sawah-sawahnya bertingkat, tampak begitu luas di desa inilah dihasilkan beras pulut merah yang begitu terkenal kelezatan dan aromanya. Menyebabkan beras pulut merah ini menjadi komoditas khas yang dicari-cari oleh pengunjung yang datang ke Baraka bahkan jenis beras ini menjadi sajian khas para tamu Bupati yang sesekali datang ke Enrekang.
Memasuki desa Kendenan, perjalanan terganggu oleh kondisi jalan yang rusak. Namun demikian, sensasi perjalanan tetap dirasakan oleh suasana alam pegunungan yang senyap dengan tiupan udara dingin serta fanorama alam yang indah. Menjadi hiburan tersendiri manakala melintasi kesenyapan alam sesekali memasang telinga untuk mendengar suara gemercak air yang jatuh dan mengalir diselokan sisi jalan, sambil mengamati burung-burung yang terbang bebas di atas lembah.
Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu jam yang melelahkan, pengujungpun tiba di desa Bone-Bone sebuah desa di kaki gunung latimojong. Desa ini berpenduduk 793 jiwa, dengan rincian laki-laki berjumlah 431 orang (54,35%), dan perempuan 362 orang (45,65%). Pada umumnya penduduk desa adalah petani (62,67%) atau 497 orang. Lainya kecil pegawai, yakni guru-guru dan petugas pustu terdapat 120 orang (15,13%) adalah pedagang lokal.
Banyaknya petani dan pedagang, boleh jadi karena pada umumnya mata pencaharian penduduk adalah petani padi yang mengolah lahan seluas ±252 ha (48,55%) dan ±205 ha (39,49%) lahan untuk tanaman kopi. Luas lahan untuk tanaman cengkeh relatif kecil atau ±47 ha (9,06%) dan cengkeh pada luas lahan ±7 ha (1,35%).
Kopi adalah tanaman perdagangan (cashcrops), menyebabkan banyak petani yang menjual hasil buminya itu ke padang pengumpul didesa, kemudian dijual pada pedagang pengepul dikota Kecamatan. Menurut Nyorong (2011) sejak Zaman Belanda, kopi sudah dikenal di Tanah Duri. Kopi tipika banyak ditemukan di pasar kalosi. Sementara kopi tipika di Bone-Bone, juga ada yang di datangkan dari desa Latimojong dan desa Bungin. Aroma kopi tipika sangat dikenal, karena aromanya berbeda dengan kopi lainnya. Keunggulan kopi tipika lainya, karena dalam pemeliharaanya, kopi tipika tidak menggunakan pupuk, dan berbagai macam pestisida.
Dalam tahun 1982 Pemerintah Kabupaten Enrekang melalui Dines Perkebunan mengenalkan tanaman kopi Arabica untuk menggantikan kopi tipika yang dikenal dari dahulu secara turun-temurun. Sejak tahun 1982 itulah kopi tipika secara perlahan-lahan digantikan oleh kopi Arabica. Tanaman kopi Arabica dikenal oleh warga Bone-Bone saat proyek perkebunan tahun 1982. Hanya saja jenis kopi ini memerlukan perawatan yang cermat yang dalm pertumbuhannya membutuhkan pupuk. Sebagai organik seperti pupuk Urea, SP36,Za, KCI. Tanaman-tanaman proyek ini, yang dipelihara dengan pupuk dan berbagai jenis pestisida, menyebabkan jenis kopi yang baru saja dikenal oleh masyarakat Bone-Bone waktu itu ternyata mengalami pertumbuhan lebih cepat. Bukan saja pertumbuhannya yang lebih cepat tetapi juga menghasilkan buah yang lebih banyak, dan produksi kopipun meningkat dari biasanya.
Kini, di desa Bone-Bone masih terdapat beberapa pohon kopi tipika namun jumlahnya sudah sangat sedikit, sehingga petani kopi tidak lagi menjualnya melainkan untuk dikonsumsi sendiri dalam keluarga.
Semenjak produksi kopi Arabica lebih berhasil, menyebabkan terjadinya perubahan mobilitas penduduk. Dalam hal ini, penduduk desa tidak lagi menjual beras kepasar Rante Lemo desa Latimojong, sebuah desa tetangga yang berjarak ±7 dari desa Bone-Bone. Justru sebaliknya, penduduk desa Latimojonglah yang sering ke desa Bone-Bone membawa kopi dan hasil bumi lainya untuk ditukar dengan beras.
Penduduk desa Bone-Bone yang hidup dan bermukim di tiga dusun, yaitu Buntu Billa, Bungin-Bungin dan Pendokesan. Ditiga kampung itulah penduduk mendirikan rumah-rumah panggung di lereng-lereng bukit yang tingkat kemiringannya sekitar 60-70 derajat. Hal ini menyebabkan letak antara satu rumah dengan rumah lainya hamper-hampir tidak sejajar pada areal tanah datar, yang dikikis sebelum mereka mendirikan rumah. Walaupun rumah-rumah tersebut didirikan di lereng-lereng bukit, tetapi rumah penduduk desa Bone-Bone memiliki ukuran luas yang memadai dengan ramuan ruamh dari jenis kayu yang baik, bahkan beberapa diantaranya menggunakan kayu ulin. Atap rumah berupa atap seng dengan dinding dari bilah-bilah papan, walaupun sebagian belum dipasang permanen, tetapi tetap terlihat rapi.
Rumah panggung penduduk desa Bone-Bone adalah rumah panggung yang dibangun dengan tiang-tiang bersegi empat yang telah diketam halus. Lantai rumah berupa bilah papan dipasang pada ketinggian ±2 meter dari Tanah, sehingga untuk naik ke badan rumah, diperlukan sebuah tangga. Bentuk rumah panggung penduduk desa Bone-Bone bercorak rumah Bugis, sehingga juga memiliki beranda pada bagian depan dan dapur bagian belakang, tetapi semua bersambung dengan badan rumah. Sesuatu yang berbeda dengan rumah Bugis, pada halaman rumah penduduk desa Bone-Bone didirikan sebuah rumah-rumah berukuran kecil yang disebuk landak. Bangunan berbentuk rumah kecil dengan tiang kayu bundar. Penggunaan tiang kayu bundar merupakan kearifan lokal penduduk desa, karena tikus-tikus akan mengalami kesulitan memanjat pada kayu-kayu bundar setinggi ±2 meter.
Landak adalah miniatur rumah berukuran ±1,5 × 2-3 meter yang berfungsi sebagai lumbung padi. Bangunan ini didirikan di samping rumah induk. Bangunan-bangunan rumah kecil (landuk) seperti ini juga terlihat di desa Salukanan dan desa Kendenan yang dilewati dalam perjalanan dari desa Malua ke desa Bone-Bone.
Penduduk desa Bone-Bone, tinggal dikaki gunung Latimojong, relatif terpencil dan jauh dari akses informasi yang biasanya menjadi sarana pembaharuan. Ternyata dalam kenyataanya, penduduk desa Bone-Bone relatif terbuka terhadap pembaharuan. Kopi tipika sebagai tanaman tradisional, mereka tinggalkan dan kemudian menerima tanaman kopi Arabica, tanaman perdagangan ini menjadikan mereka kemudian mampu meningkatkan kesejahteraanya. Bahkan mereka tergolong sebagai kelompok masyarakat desa yang terbuka, dan menjadi pekerja keras.
Ciri masyarakat terbuka dan pekerja keras, boleh jadi karena mereka tergolong sebagai penganut agama Islam yang baik, sehingga memahami kerja keras sebagai”jihad”dalam upaya meningkatkan kesejahteraan keluarga. Demikian pula, mereka tergolong sebagai masyarakat terbuka, terutama untuk tujuan kemasalahatan ummat, maka mereka mau saja menerima pembaharuan. Walaupun tergolong sebagai masyarakat Duri yang memiliki bahasa daerah sendiri, yakni bahasa Duri, tetapi pada umumnya mereka dapat berbahasa Indonesia. Kemampuan berbahasa Indonesia ini pula yang memudahkan mereka menerima para pendatang, dan berkomunikasi, tentu saja berkenaan dengan hal-hal yang sifatnya membangun.
Pada masa lalu, kawasan Bone-Bone termasuk salah satu basis pertahanan gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Abd. Kahar Muzakkar. Suatu kelompok pemberontak tahun 1950-an yang bertujuan untuk mendirikan sebuah Negara Islam. Bagaimanapun gerombolan DI/TII ini, secara langsung maupun tidak langsung menjadi spirit bagi masyarakat Islam di desa Bone-Bone menjalankan kehidupan beragama.
Tingkat keagamaan masyarakat desa Bone-Bone mereka tunjukan dalam bentuk kepatuhan mereka menjalankan syariat agama Islam. Pada hari jum’at, para laki-laki tidak akan berkegiatan jauh dari rumah. Hal ini mereka lakukan agar mereka tidak ketinggalan menjalankan ibadah Sholat Jum’at. Menjelang waktu sholat, para laki-laki sudah berduyu-duyun ke masjid, walaupun tanda-tanda sholat seperti pengajian yang biasa diperdengarkan melalui pengeras suara sebelum adzan tidak terdengar. Didesa Bone-Bone, tidak menjadi kebiasaan memperdengarkan bacaan Al-Quran beberapa lama sebelum adzan. Namun demikian, masyarakat tetap berduyun-duyun ke mesjid.
Pada setiap jum’at itu pula, ibu-ibu sebelumnya melakukan kegiatan dengan menghadiri tadarus Al-Quran, atau melakukan pengajian dan mendengar ceramah agama yang dibawakan oleh mubaliq yang biasa datang ke Bone-Bone. Hal ini mereka lakukan sekitar jam 10. 00-11. 00 pagi, sebelum para laki-laki tiba di masjid untuk melakukan Sholat Jum’at.
Sholat Jum’at diawali dengan adzan, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan khutbah jum’at oleh seorang khatib. Setelah itu, baru kemudian dilanjutkan dengan sholat dua rakaat, sebagaimana juga dilakukan pada daerah lain. Hanya saja, setelah salam dan pembacaan doa oleh imam, para jamaah belum beranjak dari tempat duduknya, karena kepala desa biasanya akan memberikan wejangan berkenan dengan pembangunan desa dan kegiatan keagamaan.
Pada hari sabtu, warga Bone-Bone masih terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Sejak lama hari sabtu dianggap sebagai hari pemerintah yang harus diisi dengan kegiatan gotongroyong. Terutama untuk memperbaiki jalan desa, perbaikan saluran air, perbaikan mesjid dan sebagainya. Mana kala kaum laki-laki sedang bekerja, para ibu-ibu melakukan kegiatan tersendiri, yakni mempersiapkan makanan ringan untuk dikonsumsi oleh para pekerja laki-laki.
Keterbukaan warga Bone-Bone, juga ditunjukkan oleh besarnya motivasi para orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya mereka pada jenjang yang lebih tinggi. Karena itu, walaupun SLTP berada di desa lain, semangat anak-anak di desa Bone-Bone untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat SLTP dan SLTA di kota Kecamatan. Bahkan beberapa diantara lulusan SLTA yang berasal dari Bone-Bone, yang berhasil melanjutkan pendidikannya ketingkat Pendidikan Tinggi, terutama ke Universitas Islam Negeri di Makassar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun