Tidak syak lagi bahwa manusia dengan segala macam kompleksitasnya adalah menjadi manifestasi penciptaan Tuhan yang sangat sempurna. Konsep manusia telah menjadi subjek bahasan yang maha besar dalam berbagai macam disiplin keilmuan.Â
Dari berbagai macam dimensi dan struktur yang menjadi elemen-elemen dasar penyusunan manusia telah menjadi sub-sub turunan yang dapat kita jumpai di berbagai macam disiplin ilmu-ilmu. Namun dalam konteks Filsafat diskursus mengenai manusia itu ditinjau dari perspektif bahwa manusia sebagai satu realitas yang utuh.Â
Manusia dilihat sebagai suatu keseluruhan yang ada (wujud). Bahwa persoalan-persoalan yang menjadi sorotan filsafat bukanlah pada hal-hal partikular atau bagian-bagian dari manusia. Filsafat tidak berbicara tentang bagaimanakah mekanisme atau cara kerja organ-organ tubuh manusia, seperti hati, paru-paru, dan lain sebagainya.Â
Namun Filsafat dalam hal ini sebagai salah satu ilmu yang mencoba menyingkap apa yang menjadi hakikat dasar (esensi) dari manusia. Sederhananya, karena ada sebagian pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia mengenai dirinya yang tidak dapat dijawab oleh sebarang ilmu kecuali filsafat dan akan menjadi fatal jika hal itu dipaksakan untuk dijawab oleh ilmu-ilmu lain.
Pertanyaan-pertanyaan Filosofis berkenaan dengan manusia yang menuntut jawaban yang rasional dan logis dapat kita jumpai dalam kehidupan manusia itu sendiri. Bahkan hal ini merupakan sifat alamiah manusia (fitrah). Bahwa manusia selalu mempertanyakan siapa Aku, dari manakah Aku, dan mau ke mana Aku.Â
Apakah manusia adalah satu realitas yang bergerak menuju satu tujuan tertentu ataukah tidak. Apakah kematian adalah akhir dari kehidupan. Sebagaimana pandangan paham materialisme bahwa kematian adalah kehancuran itu sendiri. ataukah kematian hanyalah sebagai jalan bagi manusia untuk melanjutkan kehidupan di alam yang lain. Apakah ada yang menciptakan manusia. Jika ada, seperti apakah sosok pencipta itu, mampukah manusia mengenal-Nya ataukah tidak, dan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan lainya.Â
Dari kesadaran inilah manusia sadar bahwa mengenal diri dan tujuan hidup adalah hal yang sangat esensial dan menjadi substansi dasar dari hidup ini. Dan dari kesadaran ini pula manusia paham bahwa tidak ada satu disiplin ilmu pun kecuali Filsafat yang mampu menjawabnya. Sehingga mau tidak mau, manusia mesti menerima Filsafat sebagai satu-satunya jalan untuk menuju pada hakikat dan kesejatian dirinya.
Namun hal yang perlu diperhatikan ialah, Filsafat dalam konteks ini tidak sepenuhnya mandiri dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan, melainkan ia butuh pada ilmu-ilmu tambahan guna mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, kemudian melakukan suatu studi dan analisis kritis dalam mencapai konklusi-konklusi logis lagi rasional. Sehingga dalam pembahasan ini konsep manusia tidak hanya di tinjau dalam perspektif Filsafat semata melainkan dalam sudut pandang Agama, dan juga Tasawuf yang mana "Insan Kamil" adalah menjadi poros  dan orientasi kajiannya.Â
Akan tetapi pertanyaannya, mengapa Filsafat menjadi ilmu yang sangat signifikan dan mengambil peran yang prinsipil dalam masalah ini. Alasannya ialah karena keuniversalan hukum-hukum yang ada di dalam Filsafat. Sehingga tawaran Filsafat mengenai tujuan manusia berlaku pada semua manusia tanpa terkecuali.Â
Maka dari itu sumbangsih Filsafat atas manusia adalah sangat besar karena tujuan-tujuan yang di tentukannya memiliki garansi argumentatif secara rasional dan mendapatkan legitimasi dan validasi di dalam teks suci Alquran dan pernyataan-pernyataan para Nabi.
Hal ini menjadi keniscayaan, sebab manusia adalah maujud yang kompleks maka dalam menyelami hakikat eksistensinya butuh pada kajian mendalam dan mesti melibatkan berbagai disiplin ilmu.Â
Olehnya itu, inti dari tulisan ini ialah kajian manusia dalam berbagai macam perspektif dan sudut pandang keilmuan yakni Filsafat, Agama, dan Tasawuf. Mengapa Agama dan Tasawuf menjadi bagian terpenting dalam memahami manusia, karena tinjauan utama Agama dan Tasawuf ialah pada manusia sebagai ciptaan Tuhan, bukan hanya menjadi puncak kreasi Tuhan yang kemudian menjadikan relasi vertikal dan ibadah kepada-Nya menjadi tujuan utama manusia, melainkan melihat relasi manusia, alam semesta dan lainya adalah sebagai totalitas penciptaan yang koheren dan harmonis, dengan Tuhan sebagai realitas causa primanya.Â
Karena dalam konteks Tasawuf yang menjadi inti dari Tazkyatun nafs adalah bukan pada pengkhalwatan atau bermesraan-bermesraan dengan Tuhan secara individual melainkan proses Tazkiyah itu puncaknya dan substansialnya adalah menjadikan realitas sosial dan alam semesta sebagai standarisasi atas totalitas perjalanan dirinya menuju Tuhan.Â
Alam semesta dan sosial adalah menjadi cermin bagi proses perjalanannya. Inilah urgensi dari ramainya perspektif sehingga kita tidak terjebak dalam satu paham yang akan menjadi labirin keyakinan akibat tidak membuka diri atas berbagai macam pandangan-pandangan yang ada. Esensinya bahwa perjalanan menanjak hakikat dan tujuan dasar manusia adalah menjadikan kebenaran sebagai sejatinya jalan, sehingga akan memotivasi dirinya terus berkhidmat pada kebenaran.
Lalu apa itu manusia dan apa tujuannya. Apakah manusia adalah makhluk yang sama dengan maujud-maujud yang ada diluar dirinya ataukah tidak. Apakah manusia adalah kenyataan yang terdiri dari dimensi material semata ataukah ada unsur lain yang menjadi elemen dasar dan hakikat dirinya. Ataukah apa urgensinya kita mempertanyakan hal ini. Inilah yang menjadi bulan-bulanan dan terkadang banyak mencuri dan menyita waktu kebanyakan pemikir. Namun ketika kita bercermin pada berbagai macam pandangan pemikir-pemikir yang ada, maka kita akan menemukan kepelikan akibat pertentangan-pertentangan pendapat diantara mereka.Â
Namun, bertolak dari konsepsi Agama tentang manusia, kita akan menemukan bahwa manusia adalah maujud yang terdiri dari dua dimensi yakni dimensi material dan ruhaniah dan dengan berbagai macam unsur lain yang mengikutinya. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang juga menjadi Pencipta Langit dan Bumi dan pada saat bersamaan Tuhan telah menentukan tujuan hidupnya yakni beribadah kepada-Nya.
Dari kedua dimensi manusia, pada dimensi ruhaniahnya, manusia memiliki fitrah yang dibawanya sejak lahir ke Dunia ini. Fitrah adalah unsur immaterial yang ada pada manusia. Dengan fitrah ini sebagai salah satu bagian terpenting dari manusia adalah karena dengannya manusia mampu mengenal Tuhannya.Â
Di dalam Alquran, Tuhan pernah berkata, "Apakah Aku ini Tuhan mu"..., kemudian manusia menjawab ya, Engkau Tuhan kami. Sehingga dalam perspektif Agama manusia adalah makhluk yang berTuhan dengan landasan pernyataan yang termaktub di dalam kitab suci. Sering dikatakan bahwa dialog antara Tuhan dengan manusia adalah termasuk sebuah janji primordial yang mengikat manusia dengan hukum-hukum Tuhan.Â
Lalu bagaimana kita menjelaskan konsep manusia dalam pandangan Agama. Apakah Agama hanya menjelaskan manusia sebatas pada wilayah bahwa manusia adalah realitas yang terdiri atas dua dimensi tanpa menjelaskan mana yang menjadi hakikat manusia. Atau apakah tujuan manusia hanya berputar pada wilayah penyembahan terhadap-Nya ataukah tidak. Kemudian dalam konteks sekarang bagaimana kita melihat relasi antara Agama dengan problematika umat.
Adalah benar bahwa manusia dalam perspektif Agama adalah satu makhluk dengan tujuan menyembah kepada-Nya. Dan itu telah menjadi fitrah manusia yang mencintai kesempurnaan sehingga menjadikan sarana ibadah kepada-Nya sebagai proses penyempurnaan itu sendiri.Â
Bahwa kita sadar walaupun manusia adalah makhluk yang dalam terminologi Qurani sebagai maujud yang lebih agung dari makhluk lainya namun pada saat bersamaan Quran pun mengafirmasi bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, ia butuh pada bimbingan demi mencapai kesempurnaan dirinya.Â
Sehingga dengan segala keterbatasan yang ada, manusia sadar bahwa hanya Tuhan yang mampu menjelaskan hakikat dirinya dan menentukan jalan tujuannya. Karena konsep hidup manusia itu sendiri adalah pure (murni) dari diri Tuhan sehingga yang mengetahui secara totalitas Hakikat dirinya dan tujuan hidup (keberadaan dirinya di Dunia ini) adalah Tuhan yang paling mengetahuinya.Â
Namun penjelasan Quran masih menyisakan pertanyaan bagi manusia baik dalam tataran ibadah kepada-Nya menjadi suatu kemestian maupun apa lagi dalam konteks sekarang dengan beragam Agama dan secara khusus Islam itu sendiri terpecah menjadi bagian-bagian, yang secara konsepsi keberagamaan saling kontradiksi.Â
Sehingga pertanyaan sederhana yang bisa diajukan dengan terlepas dari berbagai macam tendensi mazhab dan teologis ialah apakah dengan kontraksi-kontradiksi yang ada di dalam internal Islam manakah yang menjadi jalan yang orisinal. Ataukah secara sederhana dapat kita katakan dari berbagai macam aliran yang ada manakah yang menjadi representatif dari Islam sebagaimana Islam itu sendiri, yakni Islam yang menjadi visi dasar dari Rasulullah Saw.
Kita tidak menolak Agama sebagai suatu kebenaran yang menjelaskan hakikat diri manusia, namun dalam tataran Agama sebagai sarana bagi manusia menuju kesempurnaan dirinya, apakah adalah sebuah keniscayaan yang bisa digapai manusia dengan beragam aliran-aliran yang ada. Agama telah total dalam menjelaskan konsep kemanusiaan.Â
Bahwa Tuhan ketika menciptakan Nabi Adam, Dia sendiri memuji dirinya lantaran begitu agungnya ciptaan-Nya akan manusia ini. Nabi Adam adalah manusia pertama yang diciptakan dengan dua dimensi yakni ruhaniah dan material dan menjadi puncak dari kreasi Tuhan. Sehingga tidak sedikit kita temukan beragam perspektif yang memiliki nilai esoterik berkenaan dengan manusia.
Dalam hal ini, dapat kita jumpai bagaimana perkataan Sayidina Ali karamallahu wajhah, "Jangan engkau anggap bahwa diri mu itu kecil namun di dalam diri mu terdapat semesta yang luas". Apa yang hendak dikatakannya, bahwa manusia adalah makrokosmos itu sendiri. Manusia adalah realitas yang merepresentasikan secara total dimensi-dimensi material maupun immaterial itu sendiri. Hal ini juga dapat kita temukan dalam pernyataan-pernyataan lainya, bahwa manusia pada dimensi materialnya mewakili seluruh realitas alam material yang ada.Â
Di dalam diri manusia dapat kita temukan unsur-unsur atau elemen-elemen dasar yang menjadi penyusun alam material itu sendiri. Jadi tubuh manusia yang bendawi ini adalah perwujudan langsung dari semua benda-benda yang ada di alam ini.Â
Kemudian yang lebih prinsipil adalah pada dimensi ruhaniah manusia, ia juga mewakili secara keseluruhan alam-alam atau tingkat alam yang ada. Di dalam diri manusia pada dimensi ruhaniahnya terkumpul semua tingkatan-tingkatan jiwa. Jadi dalam hal ini Agama tidak bisa ditolak sebagai suatu kebenaran. Namun lagi dan lagi, apakah dengan beragam kontradiksi yang ada meniscayakan bahwa manusia mampu mencapai tujuannya sebagaimana yang menjadi tujuan penciptaan itu sendiri. Inilah isu penting yang mesti dijawab bagi kita yang merasa diri manusia.Â
Namun agar pembahasan tidak melebar, karena yang menjadi fokusitas tulisan ini adalah pada konsepsi manusia dalam perspektif Agama maka mungkin ini hanya sebagai bahan renungan dan kontemplasi kita dalam menyelami hakikat eksistensi manusia sebagai makhluk yang cinta akan kebenaran dan kesempurnaan.
Di atas telah saya singgung bahwa dengan penjelasan Agama, manusia masih merasakan ketidakpuasan dan belum sampai pada penjelasan yang benar-benar rasional , karena kita hanya bertolak dari pendapat-pendapat secara tekstual. Bahwa kita menerima kebenaran Agama dalam menjelaskan konsep manusia karena keyakinan kita akan Agama itu sendiri. Sehingga jawaban Agama atas pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia adalah tidak memuaskan dan masih terus menyisihkan kecurigaan-kecurigaan akan keabsahannya.Â
Maka dari itu akibat Agama tidak dapat menghilangkan dahaga manusia yang cinta akan kebenaran, maka manusia mencoba keluar dari pandangan Agama dengan tidak membuangnya melainkan mencari bukti-bukti filosofis yang rasional kemudian melihat relevansinya dengan pandangan Agama. Olehnya itu, sebagai pelarian Filsafat lah tempat penginapan yang tepat demi menimba pemahaman yang otentik mengenai konsepsi manusia dan tujuan hidupnya. Karena Filsafat dengan berangkat dari premis-premis Agama yang benar, ia mampu membangun argumentasi dengan konklusi yang logis lagi rasional.Â
Namun dalam pembahasan ini, Filsafat dengan karakternya sendiri mampu mengatasi masalah mendasar manusia. Dengan subjek Filsafat adalah wujud qua wujud maka pembahasan tentang manusia adalah masuk dalam garapan Filsafat. Lalu bagaimana Filsafat memecahkan masalah ini. Sederhananya ialah bertolak dari pandangan Ibnu Sina mengenai pengklasifikasian wujud, ia menjelaskan bahwa secara rasional wujud itu terbagi menjadi dua; yakni, wujud wajib dan wujud mumkin, kemudian wujud wajib itu sendiri terbagi menjadi dua lagi; yakni, wujud wajib karena dirinya sendiri dan wujud wajib karena yang lain.Â
Kemudian mula-mula ia mendefinisikan wujud mumkin sebagai sesuatu yang bukan ada (wujud) dan bukan juga ketiadaan. Lalu dimanakah posisi manusia itu, tentu manusia adalah wujud mumkin itu sendiri sebagai sesuatu yang bukan wujud dan bukan pula ketiadaan. Karena itu untuk mewujud ia butuh pada yang lain. Konklusinya manusia adalah wujud wajib yang ada karena yang lain, yakni ada bukan dengan sendirinya.
Setelah sampai pada konklusi demikian, bagaimana kita menjelaskan relasi konsepsi manusia dalam perspektif Filsafat, Agama, dan Tasawuf. Dari penjelasan Agama dan Filsafat, kita menemukan bahwa ada korelasi yang kental antara keduanya, yakni baik secara dalil aqli maupun naqli kita menemukan bahwa manusia adalah suatu maujud yang ada karena yang lain atau ada karena Tuhan menciptakannya.Â
Lantas jika demikian bagaimana relasinya dengan pandangan Tasawuf. Inti dasar dari pandangan Tasawuf adalah berkaitan dengan Insan Kamil. Dimana yang dimaksudkan dengan Insan Kamil ialah sebagai mediator antara realitas material dengan immaterial atau sebagai penghubung antara manusia dengan Tuhannya. Bahwa baik Agama maupun Filsafat keduanya tidak saling kontradiksi dalam pandangannya. Sehingga kita secara niscaya mengafirmasi manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan dimensi ruhaniah sebagai hakikat dirinya yang terus-menerus bergerak menuju kesempurnaan yakni kedekatan dengan Tuhan.Â
Olehnya itu dalam konteks relasinya dengan Tasawuf adalah bagaimana manusia dalam mencapai kedudukan Insan Kamil. Pertanyaan-pertanyaan berputar pada poros itu. Apakah ada Insan Kamil atau tidak. Jika ada apakah Insan Kamil sebagai suatu proses ikhtiari ataukah sebuah determinasi. Namun tak syak lagi bahwa kita mengakui Nabi Muhammad Saw adalah Insan Kamil, manusia sempurna nan suci. Sehingga ia layak dalam mengemban amanah besar sebagai pemimpin umat manusia.Â
Bahkan Quran mengatakan, jika bukan karena Nabi Muhammad, maka Tuhan tidak akan menciptakan alam semesta. Nabi Muhammad adalah representasi yang total dari Tuhan. Ia adalah kekasih Tuhan itu sendiri dan di hadapannya Tuhan adalah kekasihnya.Â
Dalam perspektif Tasawuf  Nabi Muhammad dan Tuhan adalah dua realitas yang hanya memiliki diferensia hanya pada wilayah, Tuhan sebagai Khalik sedang Nabi Muhammad adalah sebagai Makhluk, selain itu keduanya sama.
Lalu, apakah setelah pasca wafat Nabi, tidak ada lagi figur Insan Kamil ataukah Insan Kamil adalah sebagai suatu keniscayaan yang mesti ada pada setiap periodisasi zaman. Akal kita mengafirmasi bahwa keberadaan Insan Kamil adalah sesuatu yang sangat sakral dan mesti ada pada setiap zaman dari kehidupan umat manusia. Karena jika tidak, maka akan ada keterpenggalan zaman yang kosong akan figur yang menjadi tali penghubung antara manusia dan Tuhan.Â
Kemudian itu relasinya dengan Agama ialah karena baik Filsafat maupun Agama mengafirmasi manusia sebagai ciptaan Tuhan dan memiliki tujuan, maka sebagai Tuhan yang bijaksana maka Dia menentukan mekanisme atau jalan untuk menuju itu. Sehingga dalam proses penyempurnaan diri untuk meraih kedudukan Insan Kamil manusia butuh pada Agama sebagai petunjuk dan Insan Kamil atau figur sempurna yang dalam hal ini mengambil peran sebagai petunjuk sekaligus menjadi standarisasi dari perjalanan setiap manusia.Â
Maka dari itu telah sampailah kita pada ketenangan akibat telah terjawabnya setiap kegelisahan-kegelisahan selama ini. Dimana yang menjadi hakikat manusia adalah pada dimensi ruhaniahnya dengan Insan Kamil sebagai tujuan manusia.Â
Sehingga dari penjelasan ini, terkonstruksi sebuah pandangan dunia yang Ilahiah dengan menjadi Agama dan segala hukum-hukumnya sebagai sarana dalam menggapai kesempurnaan diri dengan tidak melepaskan Filsafat sebagai basis analisis kita atas setiap permasalahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H