Mohon tunggu...
Muhammad Zaiin
Muhammad Zaiin Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA AL HIKMAH INSTITUTE MAKASSAR

Manusia bebas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nilai Kebaikan dan Keburukan

2 Juli 2021   08:33 Diperbarui: 2 Juli 2021   08:34 1851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

4.Agama

Tentu lahirnya pandangan-pandangan demikian memberikan sebuah gambaran awal yang mengindikasikan penerimaan terhadap wujud real dari kebaikan dan keburukan. Walaupun itu hanya merupakan implikasi dan akibat dari tindakan itu sendiri. Dengan analogi sederhana mengenai persoalan ini dapat kita ilustrasikan dengan konsep cahaya dan kegelapan. Terkadang kita sering terjebak dalam kesalahan dengan menilai kegelapan sebagai realitas yang objektif di luar diri kita, padahal yang objektif dan real hanyalah cahaya. Sedangkan kegelapan itu sendiri ialah suatu keadaan tanpa cahaya atau disebabkan ketiadaan cahaya sebagai yang memiliki wujud real. Bahwa persoalan baik dan buruk serta yang mana diantara keduanya yang menjadi sesuatu yang hakikat atau kenyataan real adalah permasalahan yang penting untuk diketahui. Karena faktanya kita sering menilai seseorang atau sekelompok orang dengan tidak melakukan verifikasi terhadap motif dari perbuatannya. Kita terkadang terburu-buru menjustifikasi kesalahan dan keburukan pada orang lain namun pada saat bersamaan kita tidak memiliki alasan yang jelas dalam penilaian tersebut. Kita sering dipengaruhi kondisi lingkungan, keluarga, organisasi, mazhab dan bahkan terkadang perbedaan Agama sering kita jadikan legitimasi atas stigma-stigma buruk kita. Bahkan kita dengan tidak segan-segan mengkafirkan dan menganggap buruk orang yang tidak seideologi, mazhab dan Agama dengan kita. Inilah dasar mentalitas dari manusia zaman ini. Akibat terjebak dalam fanatisme buta dan arus ego Mazhab sehingga sangat ringan lidah dalam mengkafirkan dan menganggap buruk orang-orang yang berada diluar dirinya, kelompoknya dan lain sebagainya.

Namun inti permasalahan ini adalah mengenai Keadilan Tuhan. Apakah Tuhan menciptakan keburukan ataukah tidak. Apakah Tuhan menghendaki keburukan itu sendiri ataukah tidak. Jika Tuhan menghendakinya, lantas bagaimana dengan konsep Maha Sempurna Tuhan. Jika tidak, lantas dari mana konsep keburukan itu, dan mengapa perbuatan buruk mesti ada konsekuensinya, sedang ia bukanlah sesuatu yang real. Bukankah penghakiman itu hanya akan berlaku pada sesuatu yang ada. Bijaksanakah Tuhan jika ia menghukum orang-orang yang berbuat buruk sedangkan keburukan itu tidak ada. Jadi dengan pendekatan cahaya dan kegelapan, kita mencoba mengkonstruksi suatu pandangan orisinal dengan tidak menanggalkan Tuhan dari Maha Kemahasempuranaan-Nya. Bahkan berangkat dari Kemahasempuranaan Tuhan itulah kita menemukan kebenaran bahwa yang real itu adalah kebaikan sedangkan keburukan hanyalah suatu keadaan yang tidak ada kebaikan di dalamnya. Ini adalah konklusi logis, bahwa tidak mungkin Tuhan menciptakan keburukan dan menghendakinya. Bahwa manusialah dengan kehendak bebasnya sebagai makhluk yang ikhtiari dalam pilihan-pilihannya lah terkadang terjebak dalam hal-hal demikian.

Lalu, jika kebaikan lah yang nyata lalu apa standarisasi suatu perbuatan dapat diprediksikan sebagai baik. Pada intinya dari berbagai ragam perspektif di atas, yang menjadikan dasar tindakan manusia yang kemudian berkonsekuensi pada nilai-nilai kebaikan dan kesempurnaan, tidaklah berpijak pada pandangan yang berlandaskan kebudayaan dan manfaat, karena itu hanya akan mengantarkan manusia pada kekaburan makna kebaikan itu sendiri. Bahwa landasan kebudayaan dan manfaat hanya akan mengantarkan manusia pada kebaikan-kebaikan yang sifatnya relatif. Hal ini benar adanya karena di setiap budaya dan tradisi tertentu memiliki standarisasi akan kebaikan dan keburukan yang berbeda. Mungkin saja suatu tindakan dalam tradisi lain menjadi hal yang baik namun di dalam sebagian tradisi adalah dipandang sebagai suatu keburukan. Kemudian itu, jika tolak ukur kebaikan dan keburukan itu bergantung pada manfaat, maka hal ini akan berakibat fatal, karena setiap subjek atau individu memiliki ukuran tersendiri mengenai konsep manfaat.

Bahwa manusia ditinjau dari perspektif ia sebagai makhluk individual memiliki berbagai macam keinginan atau libido yang tidak terbatas. Dan corak dari setiap keinginan yang ada pada manusia adalah berbeda satu sama lainya, sehingga jika hal inilah yang menjadi pegangan kita dalam memverifikasi suatu tindakan itu dikatakan baik atau buruk adalah bentuk dari suatu kecacatan berpikir. Manusia akan hidup dalam peperangan terus menerus jika setiap individu mesti mengaktualisasikan keinginannya dengan beragam motif yang ada. Sehingga itu, kita mesti butuh pada suatu standarisasi yang sifatnya universal dengan landasan yang logis dan rasional.

Olehnya itu, kebaikan hanya akan bermakna sebagaimana kebaikan ketika adanya komparasi kerja akal dan nilai-nilai agama yang hakikatnya mengantarkan manusia pada kesempurnaan. Dalam pandangan para Filsuf Muslim, kebaikan dan keburukan hanya akan bermakna jika tindakan itu lahir dari kesadaran akal manusia, sehingga jika keluar dari syarat tersebut yakni (kesadaran akliah) maka suatu tindakan tidak dapat dinilai sebagai baik atau buruk. Tetapi dari sini kita sadar bahwa walaupun akal secara independen dapat mengafirmasi dan menegasi suatu tindakan sebagai sesuatu yang baik ataupun buruk, tetapi tidaklah eksplisit dengan bagian-bagiannya. Maka dari itu untuk menuntun manusia sampai pada kesempurnaannya secara totalitas dengan tidak terjebak dalam kesalahan pengaktualan potensi-potensi fitrahnya maka manusia membutuhkan Agama, sebagai sarana, instrumen dan mekanisme untuk meraih kesempurnaan diri.

Akal dan Agama adalah dua komponen utama bagi manusia dalam mengarungi samudera Dunia ini. Keduanya adalah sebagai dasar bagi manusia dalam memahami seluk beluk hidup ini. Sehingga dalam konteks mengenai nilai baik dan buruk itu sendiri pembahasannya tidak terlepas dari kedua hal ini. Akal sebagai instrumen manusia dalam menangkap informasi dan melakukan analisis-analisis atas berbagai macam problematika kehidupan ini. Sehingga statement "Agama adalah akal, tidak beragama bagi yang tidak berakal" adalah benar adanya. Bahkan jika kita hanya berpegang pada salah satunya maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan. Kembali pada permasalahan baik dan buruk, kita sendiri punya pijakan di dalam teks-teks Agama dan bahkan secara rasional pun kita mengafirmasi itu.

Maka dari itu konklusi dari pembahasan ini ialah, yang dimaksud dengan tindakan adalah aktualisasi dari pengetahuan. Dan penilaian itu hanya akan berlaku dalam rana tindakan. Kita hanya dapat menghakimi baik dan buruk hanya dalam tataran praktis manusia. Dan yang menjadi dasar masalah ini ialah kebaikan maupun keburukan itu hanya dapat dinilai jika ia lahir dari kesadaran akal manusia. Hal inilah menjadi sebab mengapa orang gila itu bebas, yakni tidak terikat dengan hukum-hukum dan aturan Agama. Olehnya itu, nilai kebaikan dan keburukan adalah konsekuensi logis dari keadaan sadar manusia dalam melakukan sesuatu. Sehingga kita tidak lagi terlihat seperti kekanak-kanakan yang memberikan penilaian namun tidak mengerti betul permasalahan yang ada. Sebagai penutup dari tulisan ini, bahwa kebaikan dan keburukan adalah isu yang cukup sentral dari manusia itu sendiri, sehingga memahaminya adalah suatu kebutuhan manusia agar tidak terjebak dan terjerumus pada penilaian yang picik dan fallacy.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun