Mohon tunggu...
Muhammad Zaid Haritsahrizal
Muhammad Zaid Haritsahrizal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/Universitas Pendidikan Indonesia

Hobi: Membaca buku Sejarah: Saya memiliki ketertarikan dalam mempelajari sejarah sejak kecil, terutama dengan membaca buku sejarah Menonton video dokumenter sejarah: Selain buku sejarah, saya pun tertarik untuk menonton video dokumenter agar menambah wawasan tentang sejarah Bermain game: Waktu luang saya sering diisi dengan bermain game, baik itu game single-player maupun game multi-player Adapun konten yang menjadi favorit saya adalah film (manga/anime), maupun konten yang berkaitan dengan hobi saya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Agama Islam di Tengah Arus Subversi Ideologi: Menjaga Integritas Nilai di Sekolah

21 Oktober 2024   18:00 Diperbarui: 21 Oktober 2024   18:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yuri Bezmenov, mantan agen KGB yang membelot ke barat pada abad ke-20, pernah diwawancarai oleh salah satu media Amerika Serikat. Dalam wawancaranya, Bezmenov menyampaikan terkait upaya Soviet dalam meruntuhkan barat melalui strategi khusus. Strategi itu dinamakan sebagai Active Measure atau Ideological Subversion (Subversi Ideologi). Adapun tahapan dalam strategi tersebut yaitu Demoralization (Demoralisasi), proses ini membutuhkan waktu sekitar 15-20 tahun untuk mendemoralisasi suatu negara. Tahap selanjutnya yaitu Destabilization (Destabilisasi), yakni ketidakstabilan suatu negara sebagai dampak dari demoralisasi, proses ini membutuhkan waktu sekitar 2-5 tahun. Setelah itu, masuklah kepada tahap Crisis (Krisis), dan Normalization (Normalisasi).

Di antara empat tahap tersebut, tahap Demoralization (demoralisasi) dianggap sangat krusial dalam meruntuhkan nilai, etika dan moral dalam diri individu, karena dalam tahapan ini seseorang akan dimasukkan paham yang bertentangan masuk ke otaknya, dan tidak diseimbangkan dengan nilai yang dimiliki orang tersebut. Alhasil, muncullah generasi-generasi "setengah matang" yang masuk ke dalam posisi-posisi yang krusial, seperti dalam ranah pemerintahan, pegawai negeri sipil, media massa, bahkan sampai kepada ranah sistem pendidikan. Akibatnya, orang-orang yang "setengah matang" ini (dalam tahap demoralisasi) sulit untuk diubah pemikirannya.

Dari pembahasan di atas, sangat jelas bahwa dampak dari demoralization (demoralisasi) sangat berbahaya bagi pendidikan di negeri ini. Mengapa? Karena demoralisasi dapat merusak fondasi nilai, etika dan moral yang menjadi landasan pendidikan. Akibatnya, pendidikan gagal mencetak generasi yang seharusnya mengedepankan nilai dan moral dalam hidupnya. Sebagai contoh, apabila guru mengajarkan peserta didik terkait larangan untuk melakukan dosa seperti mencuri, berzina, dsb. sementara peserta didik tersebut telah terpapar oleh demoralisasi, peserta didik tersebut mengabaikan ajaran yang disampaikan oleh guru. Dalam kata lain, bahkan jika guru memberikan informasi yang jelas kepada peserta didiknya bahwa mencuri, berzina, dsb itu dilarang, maka guru tersebut tidak akan bisa mengubah persepsi peserta didik tersebut karena sudah terpapar oleh demoralisasi.

Di era globalisasi ini, informasi digital tersebar luas melalui media sosial, dan arus informasi ini dengan cepat mempengaruhi cara berpikir, sikap, serta pandangan masyarakat, terutama generasi muda. Informasi tersebut banyak membawa paham ataupun ideologi yang berpotensi bertentangan dengan ajaran agama, nilai etika, dan moral, seperti liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan ideologi-ideologi lain yang bersifat sekuler. Ideologi-ideologi ini sering kali menekankan kebebasan tanpa batas, materialisme, serta relativisme moral, yang dapat mengaburkan nilai-nilai etika, moral dan yang diajarkan. Fenomena ini dikhawatirkan dapat mempercepat proses demoralisasi, terutama di kalangan generasi muda yang lebih rentan terhadap pengaruh negatif dari dunia digital. Hingga saat ini, Pendidikan Agama Islam (PAI) terus menghadapi tantangan dari arus ideologi dan nilai-nilai asing tersebut, karena ideologi sekuler ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, serta pentingnya menjaga moralitas dan spiritualitas. Tantangan ini mengharuskan PAI untuk lebih adaptif dan efektif dalam menjaga integritas nilai-nilai Islam di tengah derasnya pengaruh ideologi asing.

Apabila proses ini terus dibiarkan, lambat laun generasi muda akan terbawa arus subversi ideologi, dimana mereka akan mengalami demoralisasi akibat lemahnya nilai etika dan moral. Akibatnya, generasi yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang 'setengah matang'. Ketika mereka dewasa dan memasuki bidang-bidang krusial dalam negeri, seperti pemerintahan, media massa, pendidikan, dan lainnya, dampaknya akan sangat fatal. Situasi ini akan berkembang menuju tahap selanjutnya, yaitu destabilisasi, krisis, hingga mencapai normalisasi, di mana hal-hal yang sebelumnya bertentangan dengan nilai etika dan moral akan dianggap sebagai hal yang biasa.

Bukti nyata lemahnya nilai-nilai agama, moral, dan etika di kalangan muda saat ini sudah banyak terlihat. Sebagai contoh, beberapa siswa menunjukkan sikap tidak sopan, bahkan melakukan tindakan amoral terhadap guru mereka, seperti mengabaikan, membentak, atau bahkan memukul gurunya. Contoh lain adalah meningkatnya kasus begal yang dilakukan oleh anak-anak muda, yang jelas merugikan masyarakat sekitar. Selain itu, kasus perzinaan, pelecehan seksual, dan tindakan serupa juga semakin marak terjadi.

Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran penting dalam mencegah berkembangnya subversi ideologi, terutama di kalangan generasi muda saat ini. PAI bukan hanya berfungsi sebagai mata pelajaran, tetapi juga sebagai sarana untuk mengimplementasikan nilai-nilai agama, etika, dan moral dalam diri anak-anak muda. Selain itu, PAI juga merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang berlandaskan pada Pancasila, dengan tujuan mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

PAI sejatinya mengajarkan generasi muda tentang pentingnya etika, tanggung jawab sosial, dan nilai-nilai agama untuk menangkal dampak negatif dari subversi ideologi. Di sini, peran guru di sekolah sangat penting dalam membimbing peserta didik agar dapat menumbuhkan akhlak mulia, memperkuat hubungan manusia dengan Allah (habluminallah), hubungan antarsesama manusia (habluminannas), dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri (habluminnafsi), serta menanamkan sikap persaudaraan dan persatuan. Dengan demikian, sekolah diharapkan mampu mencetak peserta didik yang tidak hanya berkompeten secara akademis, tetapi juga memiliki karakter yang sesuai dengan tujuan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jika sekolah sukses menjalankan perannya, pendidikan dapat dianggap berhasil dalam mempertahankan negeri ini dari ancaman subversi ideologi dengan melahirkan generasi muda yang berakhlak mulia.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa mewujudkan generasi yang terhindar dari pengaruh subversi ideologi bukanlah tugas yang mudah bagi pendidikan di negeri ini, terutama bagi Pendidikan Agama Islam (PAI). Sekolah perlu bekerja sama dengan orang tua dan guru PAI untuk bersinergi dalam mempertahankan integritas nilai-nilai agama dan moral dari tekanan paham atau ideologi yang tidak sesuai.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah melalui pendekatan pembelajaran PAI yang relevan, seperti mengaitkan ajaran Islam dengan tantangan zaman, meningkatkan kesadaran kritis terhadap dampak paham-paham asing dan menyesatkan, serta mendorong perkembangan spiritualitas yang sesuai dengan kehidupan peserta didik saat ini. Selain itu, pelibatan orang tua dalam pembinaan pendidikan moral anak juga menjadi langkah penting.

Orang tua perlu menjadi teladan yang baik bagi anak dalam menjalankan nilai-nilai agama dan moral dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga harus mengawasi dan membatasi penggunaan gadget anak, serta mengajak anak berkomunikasi aktif agar anak merasa nyaman berbagi masalah atau pertanyaan. Selain itu, orang tua dapat mengenalkan anak pada lingkungan positif, seperti komunitas masjid, untuk mempelajari agama dan membentuk karakter spiritual. Langkah-langkah ini akan memperkuat pendidikan moral anak dan membantu mereka terhindar dari pengaruh ideologi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun