Bunuh Diri Bersama
(Tulisan singkat tentang hal singkat)
KITA
Waktu macam apakah ini? Mengapa tubuh sendiri ditusuk-tusuk? Mengapa orang lain disiksa? Sejak kapan genosida bisa secara alami?. Tulisan ini bukan bercerita tentang kriminalitas yang sering kita lihat dan sadari tapi tentang yang sering kita lihat dan tidak kita sadari. Tentang sesuatu hal yang sering dianggap alami, tentang perihal yang sering dinggap basi, tentang suatu hal yang sering dinggap bunga rampai delusi. Tentang apakah itu? Tentang "Kita" dan "Kita".
Kita sering gagal menyadari bahwa manusia (Kita) adalah alam (Kita) itu sendiri. Kita sama, namun dalam ukuran yang lebih mini. Alam mempunyai tumbuhan, air yang mengalir, tanah dan lain hal yang tak terhingga, alam bekerja sesuai dengan sistemnya, hal yang telah ditetapkan. Manusia pun begitu tercipta berbagai hal, bagian-bagian yang bekerja, rambut-rambut yang mirip seperti tumbuhan dan hal lain didalam tubuh yang bekerja dengan sistemnya, mirip dengan alam, yang telah ditetapkan. Keduanya bekerja, mecipta HARMONI.
Namun sayang seribu sayang hawa nafsu manusia yang buas, beringas, seakan melibas Harmoni yang akan dicipta. Manusia merusak kerja alam, lalu menuduh alam sendiri yang melakukannya.Â
Tapi aneh, manusia lupa bahwa ia bagian dari alam. Seolah setiap bencana yang tercipta adalah gejala alami, tanpa bantuan tangan sucinya. Manusia lupa bahwa jika alur kehidupan alam dirusak, alam juga bisa sakit, mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh, mencoba menyembuhkan diri, bencana alami? Dinggapnya. Manusia mengkultuskan dirinya karena mengaku sebagai puncak dari rantai makanan.
Ratusan tahun atau lebih, deforestasi, pemanasan global atau hal serupa dicipta manusia seakan melukai tubuhnya sendiri, memperpendek umurnya sendiri, keturunannya, melukai orang lain, membunuh orang lain, GENOSIDA? Mungkin lebih besar lagi, mecipta akhir bagi bumi, mempercepat kiamat. Yang pada akhirnya bunuh diri Bersama. Namun ini adalah cerita lama dan kita diam semua.
Para pemilik angka, dibantu penguasa, menghunus uangnya, menebas segala yang ada, banjir, tanah longsor, kekeringan dan segala yang ada, menangis orang-orang di desa, bisakah berhenti segera?. Berpindah-pindah angka itu, menghipnotis orang-orang desa, menghipnotis para pembuat aturan, begitu juga dengan kita. Apakah ternyata tak penting bagi penguasa, generasi selanjutnya ada atau tidak? Apakah yang penting agar ia tetaplah raja? Diakhir kisah "KITA" apalagi yang butuh kata? Saatnya bekerja, kaum muda.
AKU
Aku sadar bahwa kisah "KITA" tak ada data. Aku rasa tak perlu, karena sudah terlalu banyak data yang terpampang di sosial media tentang manusia-manusia yang berencana mencipta bencana, tentang manusia yang sudah tidak bisa memakai topeng yang lebih baik, kecuali wajahnya sendiri, tentang "KITA" yang sudah tidak lagi bermakna.
Jujur saja, semua yang ada dipikiranku tentang hal ini, tak dapat kusampaikan dalam tulisan ini, karena waktu yang tak memberi waktu tunggu. Begitu juga dengan kerusakan alam yang terus terjadi, tak ada waktu tunggu. Manusia harus segera bersatu bukan hanya dengan sesamanya tapi juga dengan segala unsur kehidupan yang ada.Â
Karena yang namanya waktu tidak berjalan diatas jalan yang dibuat oleh manusia, manusialah yang harus berjalan dijalan waktu. Namun bagaimana bisa bersatu dengan segala unsur kehidupan yang ada, bersatu dengan sesamanya saja seakan dongeng zaman bahula. Ya, zaman bahula, karena zaman sekarang telah dipenuhi oleh dongeng kehancuran manusia. Dongeng bagi siapa?
Langka semakin langka tumbuhan-tumbuhan yang kita anggap biasa disekitar kita, begitu juga dengan hewan-hewan. Aku menganga melihat orang-orang menganga, lalu ia bertanya "mengapa yang dulu biasa pernah ada sudah sirna, saudara?". Kujawab apa? Sudah hilangkah perbedaan antara orang-orang sadar dengan orang-orang yang pura-pura tidak sadar.Â
Mengusir yang ada tapi lupa, bingung sendiri. Lupa bahwa akhlak bukan hanya tentang bagaimana berhubungan dengan sesama manusia, tapi juga bagaimana manusia berhubungan dengan tuhannya, juga bagaimana manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, juga bagaimana manusia berhubungan dengan ALAM.
Hal kecil saja disekitar kita, lihatlah bagaimana orang-orang mengejar angka agar bisa hidup panjang dengan merusak alam. Tapi tak sadar ia sedang berusaha memperpendek usianya, juga usia manusia. Mungkin saja ini kontradiksi yang dikontradiksikan oleh pikiranku yang pendek. Ada hewan purba disuatu negara, dikurung, dibuatkan tempat bagai surga katanya, demi angka yang datang dari luar, dari mancanegara. Yaa, memang surga, karena surga hanya dapat diproleh setelah kematian. Dan memang semua yang hidup pasti akan mati, tapi mempercepat kematian bukanlah peran manusia.
Aku pun menyadari hal yang lebih kecil lagi disekitarku dan terjadi sekarang ini, bahwa tanaman-tanaman yang sering tumbuh disekitar rumahku, tanaman-tanaman yang sering tumbuh dipinggir kali, yang tidak dipandang namun terpandang, begitu mahalnya, begitu langkanya, bahkan harganya ratusan sampai jutaan rupiah. Karena berharga, maling pun siaga.Â
Terkejut aku melihat bermunculan maling tumbuhan yang menyasar rumah-rumah warga. Sudah mulai begitu berharga dan langka hal-hal yang dulunya dianggap biasa. Semakin sengsara manusia, memikirkan bagaimana menjaga sesuatu-seuatu yang dianggap berharga ini agar terjaga.Â
Mungkin saja nanti rumput-rumput menjadi barang mewah, mungkin saja nanti tumbuh-tumbuhan liar disekitar kita begitu berharga. Bagiku era transisi itu sudah mulai, mungkin saja agak lama, mungkin tidak. Karena waktu tak berjeda. Bersiap, bergerak, bekerja merubah yang ada atau mati sia-sia. Aku rasa manusia diciptakan bukan atas ketidaksengajaanya sendiri. Pilih saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H