Mohon tunggu...
Muhammaad Yusuf Dzaky Maulana
Muhammaad Yusuf Dzaky Maulana Mohon Tunggu... -

semoga aku bisa membahagiakan orang tuaku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ceritaku

23 Februari 2014   23:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masa kecil ku

Semua bersukaria , terdengar canda tawa anak-anak kecil mewarnai senja di halaman rumah . aku dan teman-temannya tengah asyik bermain,berlarian saling berkejaran.

Aku kecil yang lahir dua tahun yang lalu sedang memasuki masa pertumbuhan ,hampir semua orang disekitar gemas melihat tingkahnya . Banyak yang menyukai aku,terkadang tetangga dekat pun tertarik untuk mengajak bermain ke rumah mereka. Karena ia bisa di ajak ngobrol meskipun dengan bahasa yang belum sempurna.

Ketika seseorang bertanya “siapa namamu?”ia menjawab “tutup.

Padahal namanya sebenarnya Yusuf Dzaky.Apa yang diajarkan  orang tua,dengan cepat ia cerna dan pahami.

Bu nafiana tersenyum geli ketika mendengarkan aku sedang mengaji atau menyani dengan bahasa yang terdengar lucu.Kali ini ia telah mengajari putra bungsu beberapa kosa kata dalam bahasa arab.

Dengan semangat aku mengikuti apa yang diajarkan ibunya.

“Aba”tanya bu nafiana

“Aca”jawab aku

“Ainun”

“Ata”

“tanun”

Bu nafiana mengulang beberapa kali sampai aku hafal dengan sendirinya.

“Dzaky ayo mandi nak “ajak bu nafiana,”sebentar lagi ayah pulang dan ayah pasti akan senang melihatmu ganteng karena sudah mandi”

“Howe….Ayah au puwang “Aku terlihat gembira

“Sebagai seorang ayah , pak sadik sangat bahagia melihat perkembangan putra kecil yang tumbuh cerdas. Lelah yang ia rasakan saat pulang kerja aku menyambut kedatangan dengan ceria

“Ayah puwang….Ayah puwang”Aku bersorak dengan logak cadelnya menyambut kedatangan pak sadik.

“Wah,anak ayah sudah ganteng”uja pak sadik seraya memeluk aku dan menggendongnya.Lelah yang terlihat di wajah pak sadik seketika hilang melebur menjadi satu dengan keceriaan putranya.

“Ini ,ayah bawakan roti untukmu ,Nak”Pak sadik mengambil sepotong roti dari kantong plastic yang baru saja ia berikan pada istrinyas.

“Untuk ibu ana”tanya aku

“yang ini untuk ibu”Bu nafiana ikut bicara sambil menunjukan kantong plastic di tangannya.

Mereka tampak gembira menikmati suasana sore yang hampir setiap hari mewarnai kehidupan keluarga sederhana Bu nafiana dan pak sadik.

Kehidaran aku benar-benar melengkapi nikmat yang telah diberikan allah swt anugerahkan kepada hambanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun