Menjadi tulisan saya di kompasiana hari senin 19 Agustus 2024Bahkan, bukan hanya persaingan sehat, bila perlu persaingan yang dibumbui pun kecurangan dilakukan.Â
Di ruang kerja, dia yang duduk di seberang meja secara harfiah adalah rekan kerja. Padahal, sejatinya dia adalah saingan. Tak ingin jika dia dipuji atasan, apalagi memperoleh bonus. Meskipun, penghargaan diperolehnya semata karena kinerja yang bagus. Atas nama tuntutan kerja, pikiran itu muncul begitu saja.
Para petani tak mengenal konsep persaingan demikian.Â
Ketika suatu waktu Anda pergi ke pedesaan, cobalah untuk berdiri di tepi sawah, tepi kebun atau di pinggir kolam ikan. Para kapitalis serakah akan berpikir untuk mengeksploitasi, namun tidak demikian dengan para petani yang bijaksana.Â
Air yang mengalir, tanah yang menghampar serta matahari yang bersinar bukanlah objek yang harus dimanfaatkan hingga mencapai batasnya.Â
Dalam keadaan demikian, bagaimana bisa seorang petani bersaing? Hasil kerja kami ditentukan oleh alam. Lahan yang terbatas, sumberdaya pendukung yang mumpuni pun tidak bisa digenjot layaknya sebuah mesin.Â
Rumpun padi tak akan tumbuh melebihi kapasitas maksimal. Biar pun Anda memberinya banyak pupuk. Tak bisa dipaksakan. Jika dipaksakan, mereka akan mati. Merugi.
Melipatgandakan hasil tidaklah berbanding lurus dengan menambah modal. Atas dasar itulah, sesama petani tidak usah berlomba-lomba karena hasil tidaklah berarti besarnya modal yang ditanamkan.
Hal demikian semakin memperjelas jika konomi pertanian berbeda dengan ekonomi industri. Pertanian harus diperlakukan spesial. Petani tidaklah sama dengan industrialis. Cara pandang terhadap dunia sangatlah berbeda diantara keduanya. Begitupula, cara pandang terhadap profesi seorang petani berbeda dengan para penghuni kantor atau pabrik di perusahaan.
Lagipula, tidak ada jenjang karir yang akan dicapai. Sepanjang hayat, petani ya tetaplah petani tidak akan naik level menjadi manajer kemudian terus berlanjut hingga level direktur.
Tidak ada dorongan kuat bagi petani untuk memupuk kekayaan. Dengan sendirinya, tidak usah mengejar jabatan apalagi menciptakan persaingan.
Pertanian di negeri ini dikelola dengan pola usaha tradisional, cenderung non formal. Bahkan, profesi petani identik dengan pekerjaan kaum marjinal.
Kegiatan pun dilakukan secara komunal. Sesama petani biasanya memilki latar belakang yang sama. Ketika berada di tengah lahan, serasa berkumpul bersama orang-orang dengan nasib yang sama.
________________________
Sumber bacaan:
Westrate, C. Ekonomi Dunia Barat. Penerbit W. Van Hoeve. Bandung: (1952)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H