Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bersih-bersih Rumah sebagai Wujud Spiritualitas, Anda Merasakannya?

11 Juni 2024   06:30 Diperbarui: 11 Juni 2024   13:04 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau pagi, tangan kurus saya mengambil sapu untuk membersihkan debu di rumah. Tidak ada yang menyuruh untuk melakukannya. Justru, dorongan dari dalam diri agar segera melakukan hal tersebut ketika memulai hari.

Dan, hal demikian hanya dilakukan oleh saya sendiri. Diantara lima anggota keluarga yang ada di rumah, hanya saya sendiri yang suka melakukan kegiatan bersih-bersih. Padahal, hal "tabu" anak lelaki suka menyapu lantai dan pekarangan setiap pagi.

Ya, di kampung saya sudah ada konsensus jika tugas bersih-bersih diserahkan kepada anak gadis. Para lelaki bertugas mengerjakan pekerjaan berat seperti mencangkul dan menggiring ternak ke pengembalaan. Jika ada lelaki yang mengerjakan tugas anak perempuan maka dianggap tidak jantan.

Permasalahannya, kini kampung saya bukan lagi dihuni oleh peternak dan petani yang suka menggunakan  anggota fisik dalam bekerja. Sudah jarang sekali pekerjaan yang menggunakan banyak tenaga. Zaman sudah banyak berubah.

Citra lelaki yang perkasa dengan lengan yang penuh tenaga, mulai terkikis. Para lelaki di kampung kami bukan lagi pekerja berat sebagaimana generasi pendahulu. Jika lelaki menganggur, maka tampak sekali kesan tidak berdaya (bahkan tidak berguna).

***

Mungkin karena para lelaki masih berpegang pada tradisi berburu dan meramu, makanya urusan rumah tangga tidaklah menjadi perhatian. 

Padahal, kegiatan bersih-bersih akan diberi pahala besar bagi yang melakukannya. Setidaknya, itulah yang tertulis dalam kitab suci agama kami. Sebuah perintah langsung dari Yang Maha Pemberi.

Tetapi, kenapa kami tidak tergerak untuk mengumpulkan pahala dari membersihkan sampah? Bukankah itu pun bentuk ibadah?

Mungkin kami masih terikat tradisi dan gengsi. Tidak bisa membedakan mana sekedar citra di mata warga dan citra di mata Tuhannya. Saya pun curiga jika selama ini kita beribadah semata karena ingin memperkuat citra ....

Lalu, jika bukan karena itu, tidak menjadikan kegiatan bersih-bersih sebagai bentuk ibadah? Bukankah inti dari ibadah adalah memupuk spiritualitas sekaligus mengisi kekosongan aspek spiritual yang selama ini dilupakan.

Fokus perhatian manusia tatkala mencari pelipur lara jiwa senantiasa meneropong kepada hari setelah mati. Dimensi ibadah kita masih tentang bagaimana menghadapi masa kebangkitan setelah kematian. Mencari penghidupan untuk persiapan kehidupan di lain dunia. Padahal, hari ini kita sedang menghuni dunia-Nya.

Saya pikir semua orang akan sepakat jika kecerdasan spiritual sesuatu yang harus ditumbuhkan bukan dilumpuhkan. Caranya bisa berbeda pada setiap individu. Dan, kegiatan bersih-bersih hanyalah satu dari sekian banyak cara.

Lantas, kenapa Anda tidak memilih cara itu?

***

Bukan sesuatu yang serba dipaksakan, namun ini sebuah kebutuhan. Jika anda masih merasa hal ini semata kegiatan harian maka wajar tidak ada semangat untuk melakukannya. Namun, jika Anda merasa jika ini bagian dari cara untuk memupuk spiritualitas maka rutinitas pun akan berbekas.

Ketika selesai menyapu lantai, ada perasaan lega karena telah menyelesaikan satu urusan. Mata terhibur karena menuntaskan kebutuhan akan kenyamanan. Sesuatu yang bersifat asasi selain mencari sesuap nasi.

Kegiatan bersih-bersih ini wujud bersyukur sekaligus upaya untuk mengatur kehidupan menjadi lebih baik. Memang benar kita harus melakukan hal besar, bila perlu mengubah dunia! Hanya saja, bukankah perubahan besar itu berawal dari perubahan-perubahan kecil?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun