Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Puasa Sungguh Melatih Mental

8 April 2024   07:47 Diperbarui: 8 April 2024   07:53 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini langit cenderung cerah nan biru. Tentu udara pun panas. Hal lumrah apabila kita hidup di Indonsia. Persoalannya, ini bulan puasa. 

Ah, jika Anda bekerja di dalam ruangan berpendingin udara, tentu hanya urusan menahan kantuk yang menjadi kendala. Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang bekerja di luar ruangan?

***

Saya harus menyabit rumput untuk pakan domba-domba yang diternak. Hanya beberaa ekor saja. Maka dari itu, tidak membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan sekarung rumput. Sekitar 2-3 jam, urusan mengumpulkan rumput pun sudah selesai. 

Namun, sekarung rumput tidak akan terkumpul andaikan saya tidak segera memulai untuk melangkahkan kaki. Pandangan mata tertuju pada langit biru, kulit pun merasakan terik panas matahari. Dan, tenggorokan yang haus tak bisa dilawan. 

Kecuali, pikiran kita melawan.

Ya, memang benar kata Napoleon Hill, sebagai manusia kita harus bisa mengolah pikiran. Apa yang terjadi di sekitar kita, diawali dari pikiran. 

Ketika puasa, manusia seakan ditantang untuk bergelut dengan pikirannya sendiri. Sebuah situasi sulit disajikan sebagai ujian hingga dia akan berhasil menjadi pemenang apabila waktunya tiba. 

Terkesan sebagai sebuah permainan pikiran. Apa yang terindera maka akan dirasa berbeda bagi setiap individu. Satu kutub dalam mental manusia mengajak untuk menyerah, rebahan dan pasrah. Satu kutub lain mengajak untuk menyerang, bergerak dan bertindak.

Andaikan pikiran saya menolak untuk bertindak maka saat cuaca panas kaki dan tangan tidak akan bergerak. Kalau saya "membesar-besarkan" situasi yang tengah puasa, maka rasa malas akan menggerayangi. Pikiran hanya berisi imajinasi tentang kesulitan. Minim sekali gambaran jika kehidupan itu "mudah saja".

Kehidupan tidak sesulit yang dibayangkan.

Jika pikiran sudah menganggap "mudah", maka kenyataan yang dianggap sulit hanya tersisa "setengahnya" saja. Pikiran sudah selesai merintangi setengah kesulitan tersebut. 

Langkah selanjutnya, tentu menggenapkan apa yang telah kita canangkan sejak awal. Setelah dibekali ruang dan waktu, ternyata manusia hanya butuh pikiran untuk mengetahui pola kehidupannya. Kemudian menyadari perannya sembari terus menyelami takdirnya di dunia. 

***

Kembali kepada kegiatan menyabit rumput, anggap saja saya sudah berada di tengah areal pesawahan yang panas, tanpa bekal air minum _karena puasa_ maka mau tak mau saya harus bergerak. Bekerja sebagaimana biasanya tanpa disertai keluhan yang melemahkan mental. Walaupun bagi sebagian orang hal demikian akan dianggap sebagai kesusahan bahkan kesia-siaan.

Dan, ternyata banyak hal menjadi penghiburan. Misalnya, burung kuntul yang beterbangan. Dia hinggap di pematang, menyapa kami yang tengah berkegiatan. Warna putih bulunya begitu kontras dengan hamparan hijau tanaman di sana. Saya beradu pandang dengan si burung seakan berkata, "jangan khawatir. Anda tidak sendiri di dunia ini."

-----

Bahan bacaan:

Napoleon Hill, Think and Grow Rich (terjemahan), Gramedia, Jakarta: 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun