Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih Pengganti Tanpa Rasa Benci

13 Februari 2024   06:14 Diperbarui: 13 Februari 2024   06:26 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buat saya, pergantian kekuasaan merupakan kodrat alam yang tidak bisa terelakkan. Entah kekuasaan dalam skala lokal, nasional bahkan internasional. 

Seekor singa yang kuat di padang savana akan berangsur tua dan melemah. Maka dia harus digantikan oleh seekor singa jantan yang lebih kuat. Begitulah makna yang saya tangkap dari kisah Simba versi Disney atau Kimba versi Jepang. 

Siapa pun yang menggantikan pucuk pimpinan maka dia dianggap paling sanggup memimpin. Dialah sosok yang dianggap layak oleh khalayak. 

Pihak yang menilai kelayakan bukan seorang cendikiawan yang mapan dalam keilmuan. Mereka yang tidak mengerti ilmu politik pun tentu saja berhak memilih, tanpa kecuali. Cara menilai kelayakan tentu tanpa tendensi, meskipun hal demikian langka terjadi.

Dalam hal ini saya berpikir jika mengganti seseorang tidak boleh digiring karena alasan kebencian. Menggiring opini agar warga membenci seorang calon pemimpin saya anggap sebagai tindakan yang tidak bijak. Kebencian bukanlah motif yang bagus untuk mendasari seseorang memilih salah satu calon dan mengabaikan yang lain. 

Budaya membenci calon pemimpin bukanlah budaya yang baik untuk ditiru. Mereka yang terbiasa banyak bicara tentang konsep kepemimpinan yang baik bukan berarti harus menghembuskan kebencian kepada pemimpin yang dianggap buruk. Toh, pada akhirnya kepemimpinan merupakan tanggungjawab bersama. 

Saya merasa jika kehidupan bersama dalam suatu kelompok merupakan cara yang klasik untuk bertahan hidup. Kalau tidak ingin disebut primitif, kegiatan memilih pemimpin hanyalah cara alamiah bagi keberlangsungan peradaban. Bukan keberlangsungan kekuasaan. 

Penguasa dan kekuasaan hanyalah salah satu elemen wajib dari demi terlaksananya sebuah peradaban. Mungkin kita sering berpikir jika pemimpin adalah pelaksana bagi peradaban. Menurut pandangan saya, peradaban merupakan milik suatu bangsa bukan milik penguasa. 

Bahkan, dalam suatu kelompok warga yang mendasarkan peralihan kekuasaan semata pada keturunan pun pada dasarnya merawat bangsanya. Bukan merawat kekuasaannya. Disadari atau tidak, manusia di dunia tetap akan menilai keluhuran dan keunggulan sekelompok manusia semata pada ciri khas bangsa tersebut. 

Bukan keunggulan penguasanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun