Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bocah Kosong pun Bisa Jadi Selebriti

17 Januari 2024   17:14 Diperbarui: 17 Januari 2024   17:16 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vior, Chateez dan Mayden _Para bocah kosong_ sedang mewawancara dr Boyke (sumber: Dailymotion)

Baiklah, dalam tulisan ini mari sebut Si Bocah Kosong sebagai objek perbincangan kita. Siapa dia, tentu saja bukan bocah tetangga yang tidak dikenal banyak orang. Bukan pula anak dan keponakan kita yang tidak punya akun media sosial dengan jutaan pengikut. 

Tetapi, Si Bocah Kosong yang dimaksud begitu disukai banyak orang. Acara yang disajikan oleh mereka mendapat sambutan "baik" dari warganet. Saluran Youtube mereka telah jutaan kali ditonton. Kalau anda penasaran siapa mereka, silakan cari dengan tagar #bocahkosong. 

***

Ketika menonton saluran bincang-bincang di YouTube, saya heran dengan host yang menyajikan acara tersebut. Berbeda dengan acara bincang-bincang di TV, host tersebut tampak "tidak menguasai panggung". Dia tampak kebingungan memandu topik yang sedang dibicarakan. Pertanyaan yang terlontar tampak tidak elegan, buat saya malah merusak alur perbincangan yang sudah dimulai. 

Hanya saja, kelakuan si host "magang" tersebut masih dibimbing oleh host lainnya yang lebih punya peran mengarahkan. Setidaknya, acara obrolan tidak terlanjur melebar walaupun konsekuensinya durasi menjadi lebih lama. 

Nah, siapa yang menonton mereka? Itulah pertanyaan selanjutnya. 

Bukan sebuah pertanyaan tebak-tebakkan, tetapi pertanyaan "keheranan" pada fenomena ini. Memang bukan fenomena besar, bahkan bila dianggap tidak penting pun tidak apa-apa. Anggap saja semuanya hanya bentuk dari cara kita mengisi waktu kosong. 

Ketika menonton acara bincang-bincang tentu saja saya sudah nyaman dipandu oleh host yang elegan, cerdas serta punya daya pikat. Sederet nama bisa anda sebutkan, tentu saja. Pembawaan mereka membentuk kelas penonton tersendiri walaupun tidak semua pemirsa menyukai. 

Media massa dihuni oleh sekelompok warga yang terkesan menyerang selera warga. Kelompok ini sengaja mendesain acara bincang-bincang agar sesuai dengan selera yang antimainstream. Membentuk ceruk kecil diantara pemirsa yang begitu banyak. 

Ketika banyak ibu-ibu menyukai sinetron yang terkesan monoton, maka acara bincang-bincang menempatkan diri sebagai tontonan dengan kelas selera yang berbeda. Hanya saja, kelas selera ini pun ternyata mendapat tentangan dari para penonton yang kosong. 

Mungkin para penonton kosong inilah yang terpikat dengan para bocah kosong. 

Apakah ini bentuk sindiran halus kepada media arus utama yang selalu memberikan tempat istimewa bagi mereka yang berada di puncak piramida sosial. Biasanya, acara bincang-bincang hanya bagi mereka dengan kadar intelektual yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. 

Atau, Si Bocah Kosong memang menawarkan opsi bagi penonton yang merasa kosong. Keterwakilan penonton pada sosoknya bisa memikat bahkan perlahan mengagumi. Bisa saja jika awalnya memaklumi situasi yang serupa. Berkesimpulan, "jika kepolosan dan ketidak tahuan merupakan fenomena yang dialami banyak orang, termasuk host pada acara bincang-bincang".

Di tongkrongan pun, karakter bocah kosong ini mudah dijumpai. Mereka jadi bulan-bulanan cemoohan tapi mereka dirindukan. Kepolosan mereka menjadi hiburan, diledek tanpa merasa sakit hati, malah itulah cara dia mendekatkan diri dengan kawan-kawannya. 

Diantara anda bisa saja ada yang tidak suka dengan gaya Si Bocah Kosong. Itu hak anda. Jika berpikir tontonan demikian hanya sampah ya sudahlah. Terserah. 

Setiap orang punya minat tersendiri. Karena alasan demikian media sosial bisa lebih selektif dalam memilih pemirsanya. 

Jika anda menganggap Si Bocah Kosong tak layak menjadi selebritis serta harus berpengetahuan, mungkin zaman sudah berubah. Tidak semua orang berpikir sama. Mereka pun punya alasan kuat jika pengetahuan semata cukup dicari saja di Google. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun